4. Heartbeat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jumat sore, sepulang kerja, Dave menjemputku di Savanna. Dia semangat sekali membawaku ke salon. Dave memberikan arahan pada stylist untuk menata rambutku yang dua tahun ini kubiarkan liar sampai sepanjang pinggang. Setiap harinya rambut ikal ini cuma kugelung messy bun ala Savanna. Dave yang sering menyisir dan merawat rambutku. Yah, dalam hal ini Dave memang jauh lebih jago.

Sejak pacaran dengannya, aku jadi punya keahlian merawat diri. Dave mengajariku merawat wajah dan rambut. Dia juga mengajakku ke gym. Sekalipun sebagian besar waktuku cuma kuhabiskan untuk memperhatikan dia olahraga sambil ngemil, tapi lumayan juga. Sejak ikut nge-gym, aku jadi punya otot-otot kecil lucu di lengan, paha, dan betis.

Nah, ini hasil rambutku setelah dari salon:

Memang sih terasa bedanya. Rambutku juga jadi wangi sekali.

Tahu apa yang kurasakan setiap pulang dari salon? Ngantuk. Aku tidur pulas sampai ngeces dalam perjalanan ke kos. Aku masih gontai saat naik ke kamar kosku. Kamar Dave ada di lantai dua. Aku harus memanjat tangga sial ini satu lantai lagi untuk sampai di kamarku.

"Mbak Ana!"

Aku menoleh. Ibu kos berjalan tergopoh-gopoh ke arahku. "Bentar, Mbak," katanya sambil terengah.

Apa lagi, sih? Aku kan sudah bayar kos. Ibu gendut berisik ini bakalan ribut cuma kalau ada yang nunggak bayaran.

"Kenapa, Bu?"

"Mbak, kemarin Mas Dave tidur di kamar Mbak, ya?"

Astaga! Masalah ini?! Yang benar saja! Kim yang tinggal di lantai bawah itu tidur dengan serenteng laki-laki dia diam saja.

"Iya, Bu. Dave lihat pintu saya nggak dikunci. Jadi dia masuk dan kunci pintu dari dalam."

Dia memperbaiki letak rambut pirangnya ke belakang. Beberapa keringat menetes di pelipisnya. "Gini ya, Mbak." Dia menghela napas dengan anggun. "Kos ini punya aturan. Biar kata penghuninya cewek-cowok, tapi nggak boleh ada macam-macam. Nanti bisa digrebek RT."

"Iya, bu. Saya paham. Saya sudah bilang ke Dave."

Sabar, Ana. Sabar.

"Lagian, ngapain sih mbak jadi cewek kok murah amat mau aja diapa-apain sebelum nikah."

Penghuni kamar lain keluar. Wajar sih. Orang ini kalau ngomong seperti pakai karbit, meledak dan keras. Orang hamil tua juga pasti bakal langsung kontraksi kalau dengar suaranya.

Mbak Lina, penghuni kamar sebelah mengangkat alis kepadaku seolah bertanya, 'apa sih?' Yang cuma kujawab dengan bahu terangkat.

Ini kos elit yang harganya lebih mahal dari kos mana pun di sekitar sini. Dari awal memang kami membayar privasi. Kami tidak suka dicampuri seperti ini. Tapi entah kenapa ibu kos selalu rese kalau urusan soal Dave, apalagi pas dulu Dave masih suka keluyuran tanpa baju seolah tidak sadar kalau perut roti sobeknya bisa membuat nenek-nenek khilaf.

"Saya nggak ngapa-ngapain kok, Bu. Tanya aja tuh sama Dave."

"Mbak, saya kasih tahu yaaa... laki-laki itu tergantung sama perempuannya. Kalau mbak jual mahal ya pasti bakalan hormat juga dia."

Kuhela napas panjang, mencoba menahan amarah. Keparat mana sih yang ngadu segala?

"Jadi, kalau mbaknya memang bisa jaga kehormatan, Mas Dave juga pasti ..."

"Pasti apa, Bu?" Dave yang baru naik langsung menyandarkan bahu di pintuku, menatap ibu kos dengan senyum mematikannya. Si Ibu kos yang mulanya emosi langsung lumer seketika.

Tetanggaku memutar mata dan kembali masuk ke kamarnya sendiri.

"Eh, Mas Dave sudah pulang." Dia tersenyum manja.

"Aku mau ajak Ana jalan. Suara Ibu kedengaran sampai bawah, loh. Ibu habis makan sambel goreng toa?"

Harusnya sih kalau orang normal bakalan langsung digampar sampai berdarah berani ngomong begitu. Tapi, siapalah manusia di muka bumi ini yang sanggup menyakiti cowok nyaris sempurna seperti dia? Nyamuk aja nggak tega mau gigit mukanya.

Wajah ibu kos jadi merah. "Duh, maaf yah. Saya pergi dulu, Mas Dave. Mari, Mbak Ana," katanya sambil berjalan menuju tangga.

Dave tersenyum sombong kepadaku seolah dialah penyelamat hidupku. "Jahat banget dia," katanya sambil menyandarkan kepala di bahuku. "Jangan diambil hati, Sayang."

"Dave, kalau sudah bosen sama cewek kurus ini, ke kamarku yah," kata Mbak Maya dari kamar ujung yang melewati kamarku. Dia menepuk pantat Dave sambil tertawa genit. "Cuekin aja tu Mak Lampir. Dia horny banget liat cowok lo," katanya kepadaku.

Aku tertawa hambar sambil membuka pintu. Ini bukan kejadian luar biasa, sih. Aku sudah terbiasa dengan perilaku menyimpang penghuni kos dan ibu kosku pada Dave. Makanya Dave selalu sembunyi di kamarku. Kalau di kamarnya sendiri, ada saja cewek atau cowok yang mengetuk pintu minta perhatian.

"Buruan ganti baju!" Dave mengamati dirinya sendiri di cermin. "Aku begini aja."

Aku memandanginya. Kemeja denim dengan aksen belel dan celana jins biru tua tidak mengurangi sedikitpun ketampanan Dave. Sebenarnya, baju malah merusak keagungan fisiknya. Kulitnya sudah lebih dari cukup untuk menampilkan keindahan.

"Tenang, Sayang. Orang ganteng nggak dosa kok mau pakai baju apa aja ke acara apapun." Aku tertawa sambil mengibaskan gaun yang dibelikan Dave.

Tahu tidak, intervensi Dave terhadap penampilanku juga sampai ke baju dalam. Sejak kenal dia, celana dalamku juga jadi modis. Dia memengaruhi caraku memilih pakaian. Bukan hanya masalah harga, tapi juga kegunaan. Memakai pakaian dalam yang bagus membuat kepercayaan diri meningkat. Sebenarnya aku tidak terlalu percaya. Tapi, kurasa ada benarnya. Sekalipun pakaian dalam itu tertutupi, kalau pakai pakaian dalam yang bagus, ada rasa berharga dalam diriku dibandingkam meneruskan kekejaman pakaian dalam buluk dulu.

"Ana, karena bajunya bagus banget, tampangmu juga yang bahagia, dong. Kamu kayak orang belum gajian aja." Dave memegangi pinggangku.

Kata Karin pinggang cewek harus ramping karena di situlah cowok meletakkan tangannya saat memeluk, berjalan, berfoto, sampai dansa. Aku kehilangan banyak berat badan pasca Drey. Pinggangku jadi seramping gitar. Tapi ...

"Dave, I don't think it's a good idea." Aku mulai cemas membayangkan apa yang dipikirkan orang di acara itu. Dave malah tersengum lebar. Tangannya masuk ke kantong celana.

"Harusnya aku yang khawatir. Aku takut kamu bakal dicuri cowok lain. Harusnya aku yang merasa insecure."

Aku tertawa.

Tanganku dalam genggamannya. Dia menyelipkan sesuatu di jariku. "Kalau begini baru sempurna."

Cincin bermata tunggal yang hanya diberikannya untukku, bukan cincin yang akan dimintanya untuk diberikan ke cewek lain.

Hanya untukky.

Astaga! Bajingan mana yang meminta lagi cincin yang sudah diberikan?

Cuma satu bajingan sih yang kukenal melakukan itu.

"I. Love. You." Dia tersenyum lebar. "Ingat itu, Savanna. Aku pasti akan menjagamu. Aku bakal menghajar siapa saja yang berani mengganggumu. Dengar itu, perkedel basi?" Dia menirukan Karin sambil tertawa. "Jangan menangis! Astaga, jangan menangis! Maskaramu itu mahal, Ana." Dia memelukku.

"Aku nggak tahu gimana jadinya hidupku tanpa kamu, Dave. Terima kasih. Terima kasih." Aku menciumi telapak tangannya. Dia meraba bibirku. Sejenak aku merasa dia laki-laki yang luar biasa dewasa. Di balik senyum kekanakannya itu, Dave melakukan banyak hal untukku. Hanya untukku.

Kamu benar-benar tidak tahu betapa mungkin aku sudah hancur sekarang kalau kamu tidak ada, Dave. Kamu tidak tahu betapa aku harus berterima kasih kepadamu.

"Kita pergi sekarang, yuk. Bercintanya nanti saja..."

"Pervert!" kataku sambil mengerutkan wajah.

Dia tertawa saat membimbingku ke luar kamar. Dia juga yang mengunci pintuku dan menyelipkan kuncinya ke dalam tas tanganku.

Ibu kos sedang ngobrol dengan tetangga Dave saat kami turun. Dia mengedipkan mata kepada Dave tanpa melihatku sama sekali.

"Apa sih yang kurang dari dia?" tanyaku sambil menyelipkan jari di telapak jangan Dave. "Dia single, cantik, dadanya besar, dan suaranya bisa membangunkan kerbau budek." Aku mengikik geli.

Dia mencebik. "Kalau kami nge-seks nanti baru foreplay orang sekampung sudah datang. Suaranya kayak gitu."

Aku ngakak sejadinya. "Sial, bisa-bisanya kamu ngomong gitu!"

Di mobil, kami menyanyikan semua lagu yang diputar di radio. Sejak dekat dengan Dave aku jadi mengenal Nicky Minaj, Shawn Mendez, dan banyak artis kekinian. Dave suka semua musik karena terbiasa bekerja dengan diiringi musik. Dia lebih suka rap. Baik black rap atau white rap sering dia dengarkan kalau sedang mengerjakan tugas kantor. Dia bilang ocehan penyanyi rap itu membuatnya lebih mudah berkonsentrasi.

Dia bisa nge-rap menirukan Wiz kalifa, Machine gun Kelly atau Eminem, junjungannya. Aku suka caranya bergoyang saat ngerap. Aku suka gayanya menggigit bibir saat menggodaku. Dia melakukan apa saja untuk membuatku tersenyum, bahkan saat aku tidak ingin tersenyum.

Acara makan malam itu bukan acara resmi. Acara itu diadakan untuk menyambut Dave yang baru masuk ke lingkaran dalam eksekutif di perusahaannya. Jadi, yang datang hanya beberapa orang saja. Katanya, CEO barunya orang yang gaul abis. Jadi sering sekali ngajak tim untuk hangout. Kurasa sih ini cara untuk mengambil hati dan loyalitas pekerja.

Business is business, they will love you when they need you and throw you out when they no longer need you.

Acaranya diadakan di ruang VIP cafe mewah yang cukup cozy. Dave minta difoto bersama flamingo plastik pajangan, lalu memajang foto itu di Instagram story-nya dengan caption "when my girlfriend doesn't want to hang out with me."

Aku tertawa. Dia merangkul bahuku dan menghujaniku dengan ciuman di kepala yang membuatku senang.

"I love you," bisiknya sambil berjalan. Lalu, dia mengucapkan "I love you" berkali-kali lagi seperti mantra di telingaku.

Kekhawatiran mulai datang saat kami masuk ke bagian dalam cafe. Warna lampu remang dengan dekorasi modern membuatku merasa tidak nyaman. Tempat ibu terlalu mewah dan terlalu ... bukan aku.

"Dave, gimana kalau mereka nggak suka aku?" Kucengkeram lengannya yang besar. "Dave, mereka orang asing."

Mereka atau salah satu dari mereka bisa saja mengenaliku sebagai ceweknya Drey dulu. Mereka bisa saja ada di Syailendra Ballroom. Mereka bisa saja orang yang pernah menertawaiku.

Mereka juga bisa jadi orang yang akan menertawaiku sekarang. Dave dan aku sangat berbeda. Lihat Dave dengan segala kesempurnaannya dan aku yang cuma seperti tikus memakai baju mahal.

"Ana, kita sudah sampai. Jangan bilang kamu berubah pikiran." Dave merengek.

"Aku ... takut."

Dave berhenti. Dia menatapku. Dua tangannya di bahuku. "Do you love me?"

"I do."

"Do you trust me?"

Hah? Apa dia bilang?

"Ana, do you trust me?"

Drey?

Salah. Ini Dave.

Aku menggeleng dan mengerjap. Setelah bernapas berat, aku menatapnya. "Ya, Dave. Aku percaya kepadamu." Sangat.

Dia bukan Drey. Dia tidak akan mengecewakanku. Dia laki-laki yang menjagaku dan membuatku tersenyum dua tahun ini. Dia laki-laki yang mencintaiku dengan sepenuh hati. Dia laki-laki yang kusayangi.

Laki-laki yang kupercaya.

Dave mengecup keningku dengan lembut. "Aku nggak akan biarkan siapapun menyakitimu, Ana. Nggak akan," bisiknya dengan ketegasan yang tidak biasa.

"Duh! So sweet-nyaaa..."

Kami sama-sama terkejut dan menoleh.

Seorang cewek dengan kemeja putih yang kancingnya terbuka sampai belahan dada besarnya terlihat tersenyum lebar di sebelah kami. Cowok berkulit gelap yang tinggi di belakangnya juga tersenyum.

Kapan mereka datang?

"Lori! Berdosanya kamu ngintip orang pacaran." Dave menyalami mereka. Aku berusaha memasang senyum formal yang seimbang garisnya kiri dan kanan begitu.

"Lori." Dia menyalamiku. Tangannya hangat dan lembut, sangat pas dengan wajah cerianya dan rambut kriwilnya yang negro banget. Keren. "Aku nggak ngintip. Aku nonton," katanya sambil tertawa.

"Ana." Suaraku seperti dari tempat yang sangat jauh. Aku berdeham dan mengulang, "Ana."

"Bono," ucap cowok berkulit gelap dan tegap di belakangnya. Senyumnya cerah. Dia pakai kemeja putih yang sama dengan Lori.

"Ana." Dia belum juga melepas genggaman tangannya.

Lori menepuk tangan Bono. "Eh, dosa lagi lo, Bon. Bukan muhrim lo main jamah aja." Lori mengingatkanku pada Karin, tapi versi hippie.

Ternyata mereka nggak pacaran.

Bono nyengir. "Kali aja dia bosan sama Dave."

Dave tertawa. "Dia butuh the real gentleman, Bro." Mereka semua tertawa. Cuma aku yang menahan senyum karena wajahku jadi panas.

Dave merangkul bahuku lagi saat kami masuk ke ruangan. "Dan kamu memang cewek paling cantik di sini, Ana," bisiknya dari belakangku. "Sumpah. Nggak akan ada yang jahat sama kamu. Mereka semua temanku."

Dave menarik kursi untukku, lalu mencium kepalaku setelah aku duduk. Dia memperkenalkanku dengan orang lain yang sudah duduk di kursi meja bulat besar ini
Aku tidak bisa langsung mengingat nama dan wajah mereka. Aku cuma tersenyum dan menyebutkan namaku berulang setiap ada yang menjabat tanganku.

Semuanya ada delapan orang. Ceweknya hanya Lori yang manager HRD dan Debby yang mewakili bagian legal. Debby juga seperti Dave, anak baru. Debby duduk di sebelah kananku dan Lori di depanku agak ke kiri. Kursi persis di depanku masih kosong. Kursi di sebelah Dave juga kosong.

"Sebentar, ya." Dave menggosok bahuku sebelum pergi.

Ah, dasar pengkhianat! Baru sampai dia sudah meninggalkanku. Dia ke ruangan lain yang agak terlindung, kelihatannya dia ngobrol dengan dua laki-laki di dalam situ. Sekalipun lawan bicaranya terlindung pohon imitasi, aku bisa melihat jelas wajah Dave yang tersenyum ceria saat bicara dengan mereka. Seorang dari mereka menepuk bahu Dave dan memberikan cengkraman ala laki-laki. Dari sini saja terlihat wajah Dave yang memerah.

Aku jadi penasaran, apa yang mereka bicarakan, ya? Obrolan laki-laki? Urusan bisnis yang membosankan?

Pramusaji datang untuk bertanya minuman yang kupesan. Saat aku menyebutkan air putih, Debby tersedak minumannya sendiri.

"Kamu cuma minum air putih?" tanya Debby bingung. "Pesan aja. Jangan malu-malu." Dia tersenyum lebar sambil mengacungkan gelas berkakinya yang berisi minuman warna kuning yang mengingatkanku pada warna pipis bangun tidur lengkap dengan gelembung udara kecil juga.

Aku membalas senyumnya demi kesopanan. "Aku sukanya air putih, mbak."

Dia mengibaskan tangan. "Udah, panggil nama aja. Kita semua di sini panggil nama biar pada lupa umur." Dia mencondongkan tubuh ke arahku. "Kamu lagi program atau memang nggak pernah minum?"

"Program? Aku belum nikah. Masa hamil?"

Dia terkikik. "Bukan. Rehab gitu atau gimana?"

Aku menggeleng seperti orang tolol karena tidak begitu paham arah pembicaraannya. Menurutku, rehab itu dekat dengan narkoba. Apa tampangku terlalu kurus dan pucat seperti pecandu narkoba?

Debby memanggil Lori. "Pantesan Dave nggak pernah mau ikutan kita, ya. Ceweknya lurus banget gini. Doyannya air putih, Man."

Lori terbahak. "Pantes Dave nganggap kita hina. Di rumah dia punya virgin mary."

"Beruntung banget tu bocah," kata Bono yang langsung dilempar serbet oleh Lori. "Eh, gue juga mau loh kalau kayak gini, sih. Ana, mas ini jomlo, loh. Sumpah. Kalau Dave nakal, sama mas aja."

Lori dan Debby terbahak. Wajahku panas sekali. Tanganku mengepal di bawah meja. Kupertahankan senyumku agar tetap mengembang. Duh, Dave mana sih?

Apa dia nggak tahu kalau aku nggak bisa ngobrol santai gini sama orang baru? Ketiakku kayaknya sudah basah, nih.

"Astaga, mana sih tu orang?" Lori menggelung rambutnya dengan ikat rambut hitam di puncak kepala. Sekarang dia terlihat seperti ditumbuhi kaktus warna cokelat tua.

Cowok yang sedang mengucek mata menjawab, "Merokok." Cowok itu sekarang membersihkan kacamatanya dengan ujung dasi yang terpasang longgar. Bukannya bisa bikin lecet, ya?

"Merokok? Dia kira gue nggak pengin juga? Gue lapar, sumpah." Lori berbalik dan berjalan ke arah mereka.

"Sabar, Lori. Baru jam segini. Lo buru-buru amat," kata Debby tanpa memindahkan matanya dari HP.

Lori menahan tubuhnya di pintu dengan sebelah tangan dan menjentikkan jari dengan tangan yang lain. "Gantlemen, please. Don't kill us like this."

Terdengar suara balasan dari laki-laki yang disusul tawa.

Dave menoleh kepadaku dan buru-buru menghampiriku. "Sori, Ana." Dave mengecup kepalaku persis saat aku melihat orang itu berjalan masuk.

Sampai mati aku tidak akan pernah salah mengenalinya.

Drey.

Dia membelalak sebentar sebelum kemudian menguasai diri. Dia berjalan santai ke tempat duduknya di depanku. Tepat di depanku.

Aku kehabisan napas.

Kuremas rok sampai telapak tanganku terasa perih. Jari-jari di dalam sepatuku mengerut. Aku seperti mengerut. Dunia seperti mengerut.

"Ana, ini Drey. Aku pernah cerita kan kalau aku kenal sama Drey?"

Hah? Kapan? Memangnya kapan dia pernah bilang gitu?

Aku menunduk, menatap serbet putih yang dibentuk seperti angsa dan satu serbet lagi yang lebih kecil di sebelahnya. Setiap aku membuka mulut, gigiku bergemeletuk. Aku ingin lari.

Tuhan, selamatkan aku dari sini!

Drey mengulurkan tangannya. Aku melihat dari ujung mata. Aku tidak berani mendongak. Aku tidak berani menatapnya atau menatap Dave atau siapapun di meja ini. Aku ingin lari pulang. Kenapa punggunggku kaku begini?

Aku tidak sanggup bergerak. Aku tetap menunduk menatap serbet di meja. Kalau sampai kubuka bibirku, mereka semua pasti akan melihatnya gemetar. Mungkin juga aku bisa muntah. Kalau sampai kuulurkan tanganku, mereka pasti akan melihatnya gemetar. Seluruh tubuhku gemetar. Jantungku sudah menari twerk di dalam rongga dada. Goyangannya cepat dan lincah sekali.

"Ana?" Dave berbisik di telingaku.

Aku berpaling pada Dave.

Dia menggenggam tanganku. "Are you ok?" bisiknya lagi.

"Lo bikin dia ketakutan, Drey." Itu suara Lori yang diiringi gelak tawa semua orang di ruangan itu. "Sudah gue bilang kan itu brewok dihabisin dulu kenapa, sih? Kasihan tuh Ana sampai kayak gitu."

"Mending lo miara kucing kayak Harry, tuh." Ini suara Debby. Suaranya dekat. "Ana nggak apa-apa?" tanya Debby lagi dengan suara yang lebih pelan.

"Bukannya kamu suka?" Itu suara Drey. Aku tahu karena setiap suara itu terdengar, jantungku jadi lebih sakit.

Apa aku akan meninggal kena serangan jantung seperti Ayah? Apa aku akan meninggal di sini?

Aku mendengarnya tertawa. Dave juga tertawa. Mereka semua tertawa. Bahkan saat semua orang tertawa bersamaan, aku bisa membedakan suaranya. Aku mengenali suaranya.

Setelah bertahun-tahun, aku masih mengenali suaranya.

Hampir tiga tahun, Ana.

Kuremas tangan Dave. "Aku mau pulang," desisku tajam.

***

Whoooaaaaaaa...

M-mereka ketemuuu...

Hastagah!!!

Jangan marahi saya, yah. Dave sudah bilang di part sebelumnya kalau "belakangan ini" dia kenal sama Drey. Di part kedua, Dave juga bilang "Perusahaannya ganti manajemen karena dibeli sama (terputus karena telepon)". Seharusnya ada yang paham nih. Wkwkwkwkwk...

Apa yang terjadi setelah ini?

Apa Ana bakalan lari-lari India pulang ke rumah?

Apa dia kejang-kejang di tempat?

Kita tunggu part selanjutnya.

Jangan lupa vote, comment, dan share cerita ini di medsos kalian yaaa...

Love,

Honey Dee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro