5. His Words

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mendengar permintaanku, bukannya menurut dan mengajakku pulang, Dave malah merapatkan duduknya denganku. Dia merangkul rapat bahuku.

Apa kamu bisa merasakan aku gemetar, Dave? Apa kamu bisa merasakan aku ingin lari dari sini? Kita pulang saja, Dave.

Dia berbisik, "mereka bukan menertawakanmu. Mereka tertawa bersamamu. Mereka temanmu."

Teman? Aku tidak akan bisa berteman dengan orang itu.

"Ada masalah?" Itu suara Lori. Aku masih menatap Dave, berharap bayi itu mengerti apa yang kurasakan.

Dave mengambil napas. "Ana punya masalah sosial. Dia ..."

Kucengkeram paha Dave sampai dia mengaduh.

Jangan bilang!

"Ana, nggak apa-apa. Mereka temanmu juga." Dave mengecup kepalaku lagi. Dia membelai rambutku seperti menenangkan Ryn. "Dia selalu gugup kalau melihat banyak orang. Dia ..."

Aku mencengkeram pahanya lagi. Dia mengerang, tapi tetap meneruskan, "dia pernah mengalami hari yang buruk. Semacam ... trauma. Dia pernah ... eh, dipermalukan di depan umum oleh pacarnya."

Aku mendongak padanya. Dave, really? Kamu cerita semua di depan bedebah itu?

"Pacar?!" Lori berdecak. "Astaga! What a son of a bitch!"

Dave menyelipkan jarinya di antara jariku. "Yeah ... Sejak itu dia lebih suka sendirian," lanjut Dave sambil terus mengelus kepalaku.

Seseorang berdeham. Itu dia. Aku hapal suara deham seraknya. Selain itu, semua orang diam.

"Trauma. Gue ngerti rasanya. Gue juga pernah kaya gitu." Itu suara Lori.

Aku masih belum sanggup menatap orang di depanku.

"Gue pernah ditakuti ular mainan sampai pingsan. Sejak itu gue takut sama ular. Semua yang berhubungan sama ular, nggak peduli gambar, mainan atau di TV, gue bakalan gemetar. Trauma itu disimpan di otak dan disalurkan ke seluruh tubuh kayak listrik. Gue sudah ke psikolog dan ..." dia membuat suara bersiul. "She said cuma gue yang bisa menghilangkan trauma itu dan gue menolak ikut sesi terapinya. Menurut gue nggak penting aja sih kalau gue buang duit buat terapi fobia ular. Di sini hampir nggak ada ular, kan?"

"I have one." Itu suaranya. "I don't think you can handle mine."

Semua orang tertawa. Dave juga. Suara Dave dekat dan renyah. Dia juga tertawa, lalu aku merasa sesuatu di dalam diriku berdarah.

Debby ikut menggenggam tanganku. "Ana, mungkin kami di sini rusak semua. Tapi, kami nggak akan nyakiti kamu. Kami temanmu."

Dia yang akan menyakiti aku. Dia sudah menyakitiku selama ini.

Dave melepaskan pelukannya. Debby ganti memelukku. Berbeda dengan pelukan Dave, pelukan sesama cewek membuatku merasa sesuatu yang berbeda. Dia orang asing. Kami baru kenal dan dia dengan baik hati memberiku kekuatan lewat pelukannya.

Dadaku terasa hangat lagi.

"Group hug!" Lori menghampiri kami dan memelukku juga. Dia bergoyang-goyang saat memeluk kami. Nyaman sekali.

Air mataku mengalir turun.

"Gue boleh ikutan, Dave?" tanya seorang laki-laki yang entah siapa, tapi aku yakin bukan dia.

Aku dan Debby duduk lagi. Lori kembali duduk ke tempatnya. Dia sempat membisikkan sesuatu ke Drey. Mungkin soal makanan karena mereka menunjuk ke bagian lain ruangan dan Drey mengangkat bahu.

"Terima kasih," ucapku dengan suara pelan. Aku merasa jauh lebih baik dan lebih konyol. Ini berlebihan. Aku berlebihan. Drey menang banyak.

Tertawalah, Drey. Tertawalah karena telah berhasil menghancurkan aku.

Dave merapat sampai kami sepertinya duduk di satu kursi. "Feel better?"

"Ciumlah, Dave!" Debby tertawa. "Peka dikit jadi cowok. Kalau lihat cewek begitu langsung kasih ciuman biar adem. Geez, kenapa sih nggak ada satu aja cowok yang paham?"

Orang-orang tertawa berbarengan.

Dave menciumku. Dia memegang belakang kepalaku. Ciuman manis Dave membuatku jauh merasa lebih baik dan lebih beruntung dari dia.

Yah, dia yang itu.

"Sudah, Dave." Seorang laki-laki tertawa. "Kita ke sini mau makan, bukan mau nonton reality sex-mu."

Yang lain ikut tertawa.

Dave melepaskan ciumannya. Dia menggigit bibir sambil tersenyum lebar. Dikecupnya lagi bibirku sebentar sebelum pramusaji meletakkan piring di depannya.

"So ... guys, camkan ini baik-baik, kapanpun kalian lihat cewek galau, peluk terus cium. Kalian nggak perlu ngomong apapun. Just grab her in your arms. Ngerti?" Debby berpidato dengan ekspresi sok tahu.

"Kemarin gue lihat cewek galau terus gue peluk. Eh, gue ditabok," kata cowok di dekatnya. Yang lain tertawa.

"Pastikan dulu tu cewek doyan sama lo," kata Lori sambil tertawa.

Aku melirik orang itu.

Dia hanya tersenyum sambil terus menatapku. Di samping matanya ada garis senyum tegas. Dulu garis-garis itu tidak ada. Apa tiga tahun adalah waktu yang sangat lama? Apa tiga tahun ini hidupnya jadi sangat berat?

Yang tidak berubah adalah dia tetap menatapku seperti tidak ada yang lebih penting daripada aku.

Seperti dulu?

Apa yang dipikirkannya melihatku dicium Dave? Sudah tidak ada rasa lagi? Semua sudah mati?

"Masih kuliah?" tanya orang itu saat pramusaji meletakkan piring di depannya.

Aku sibuk menimbang apa sebenarnya ekspresinya. Wajahnya tenang dan datar, seperti tidak mengenalku. Yah, dia memang tidak mengenalku. Itu berarti aku tidak mengenalnya juga. Tidak ada apapun di antara kami.

"Sudah lulus," jawabku datar. Tanganku masih bergandengan dengan Dave. Dia sampai harus makan dan minum dengan tangan kiri.

"Cumlaude," kata Dave setelah mengunyah makanannya. "She's amazing."

"Kamu juga, kan?" ucapku sambil tersenyum kepadanya.

Ayolah, Dave. Bicarakan dirimu sendiri atau siapa gitu. Jangan bicara tentangku. Jangan beri tahu dia apapun tentangku. Tolonglah!

Dave tidak menghiraukan pujianku. Dia malah terus bercerita. "Dia mahasiswa terbaik. Dia sempat mendapat gelar mahasiswa teladan selama dua tahun berturut-turut dan karya tulis ilmiahnya mendapat juara satu tingkat Asia." Dave bercerita seperti bapak-bapak yang membanggakan anaknya.

"Brilian sekali," kata Bono sambil mengunyah. "Kenapa nggak kerja? Ngelamar ke mana aja pasti diterima, kan?"

"Dia sudah bekerja. Dia menjalankan coffee shop Savanna yang sekarang sudah punya dua cabang di Jakarta. Coba saja cari di Google map." Dave minum sebentar sebelum melanjutkan lagi, "aku melihat gadis yang sangat berbeda."

"Kamu nggak salah pilih," kata Lori.

"Dia yang memilihku." Dave tersenyum lebar. "Seharusnya, dia bisa jadian sama cowok lain. Tapi, dia memilihku. Aku beruntung."

Sepanjang cerita Dave, dia terus menatapku. Sesekali dia menatap orang lain yang menimpali Dave. Tapi, dia terus menerus menatapku tanpa takut mendapat pertanyaan atau cemburu Dave.

"Pantas aja kamu gila gitu. Ana, di kantor yang diomongin tuh kamu terus. Dia sudah minta space di ruangan baru buat majang fotomu." Seorang laki-laki di sebelah Drey bercerita sambil mengayunkan garpu.

"Eh wait! Berarti yang kemarin angkat telepon itu Ana ya, Dave?" Lori meletakkan sendoknya.

"Kemarin?" tanyaku bingung.

Lori menggeleng. "Bukan kemarin, sih. Duh, hari apa yah? Pas tengah malam kita mau ngajak Dave minum. Drey telepon Dave dari mobil. Suara lo kenceng banget bilang 'Dave lagi nganuan, dia belum keluar.'"

Semua orang tertawa. Dave tersedak. Wajahku membara. Drey menatapku tanpa senyum.

"Bukan!" Dave masih terbatuk. "Aku tidur di kamar Ana. Aku malas banget angkat telepon, jadi Ana yang angkat. Dia lagi kesel. Dia kira cewek. Soalnya waktu itu belum sempat simpan nomor Drey."

Aku menelan ludah.

Jadi waktu itu aku seharusnya bisa mendengar suaranya?

"Tidur? Yang benar aja! Kalau aku sekamar sama cewek secakep ini, nggak bakal deh aku tidur." Cowok di sebelah kanan Lori tertawa, lalu membuat ekspresi cabul untuk Dave.

"Sudahlah, Dave. Kami ngerti, kok. Jangan kaya anak kecil." Cowok di sebelah Debby yang sudah terlihat cukup berumur ikut ngomong dengan mulut penuh. Debby langsung menepuk pelan punggungnya, mungkin untuk menyuruhkan menelan makanannya dulu.

"Nggak apa-apa ya, Ana? Dave yang paling muda di sini. Dia jadi bahan bulan-bulanan kami. Sekarang, kamu yang paling muda." Debby membuat gerakan menggorok leher sambil tertawa.

Aku memberanikan diri untuk bertanya, "Memangnya, belum ada yang berkeluarga?"

Cowok di dekat Drey berdecak. "Keluarga dan karir itu nggak bisa disatukan, Ana. Kamu harus pilih salah satu. Kami masih muda dan ... bebas. Apalagi dengan bergabungnya the great man di sini. Ini kesempatan yang luar biasa."

Drey tersenyum lebar. Dia melihat kepadaku. "Sudah nonton TV, kan? Sudah lihat bagaimana pernikahanku?" Dia mencoba berdialog denganku.

Bukan. Dia ingin memastikan aku tahu kabar terbaru tentangnya.

"Sudah. Saya sudah mendengar tentang Anda."

Lori menyemburkan minumannya lewat hidung. "Sori," katanya sambil menutup hidung. "Ana, kamu tuh lucu banget!" Lori tergelak.

Drey tersenyum. "Just call me Drey," katanya. "Seperti biasa."

'Seperti biasa'?

Dia mau menunjukkan kalau kami memang terbiasa memanggil nama kecil? Dia mau menunjukkan sesuatu di depan Dave?

Aku memandangi piringku sendiri, sama sekali tidak punya keinginan untuk makan. Kalau boleh, aku ingin naik ke meja dan menendang mukanya dan mwnusuk matanya dengan garpu. Itu yang sangat ingin kulakukan sekarang.

"Bagaimana kalian bertemu dulu?" Drey bertanya lagi sambil mengunyah makanannya dengan semangat. Benar-benar tidak ada apa-apa di antara kami.

Aku mengerjap saat sadar sudah menatapnya terlalu lama. Bukan menatap yang seperti dulu, tapi ... aku sadar ada rasa panas dalam hatiku setiap melihatnya. Dia bukan yang dulu lagi. Seharusnya aku tahu ini.

"Di pernikahan kakakku." Suaraku terdengar pelan, bahkan olehku sendiri.

Dia menatapku sesaat sebelum kembali menyendok makanannya dan mengunyah.

Aku melanjutkan. "Kakak iparku mengenal Dave dari sebuah liputan. Dia mengenalkanku dengan Dave. Perkenalan yang nggak banget."

Dave yang sudah menyelesaikan makannya tertawa. "Aku bodoh sekali waktu itu."

"Dia bilang, 'you're not my type.'" Aku tersenhum menimpali Dave.

Debby menjerit. "Anjay! Belagu amat! Untung kenalannya sama Ana. Kalau kenalan sama aku udah kujejelin sepatu mulutmu."

Dave menutup wajahnya. "Memang. I feel like a jerk."

Semua orang tertawa, termasuk Drey.

"Setelah dengar aku ngomong gitu, Ana bukannya nangis. Dia malah bilang dengan tegas kalau aku juga bukan tipenya. Nggak lama, dia dikenalin sama cowok lain. Dalam hatiku bilang, 'sialan! Mulutku parah banget!'"

Orang-orang tertawa lagi.

"Biasanya lo paling jernih urusan public speaking, Dave," kata Bono sebelum minum air putih. Dia tersenyum mengejek.

Dave menggeleng, lalu mengusap wajahnya. "Langsung aja aku susul dia dan tanya nomor HP-nya. Sebelum keduluan cowok lain, kan? Ana waktu itu benar-benar cantik. Sampai sekarang juga sih."

Aku memutar mata.

"Kapan itu?" tanya Drey lagi.

Kenapa sih dia mau tahu segala?

"Dua setengah ... lebih. Dua tahun delapan bulan mungkin." Dave terlihat berpikir. "Rasanya ... bersamaan dengan pernikahanmu, Drey. Uhm ... yang di hotel itu."

Aku melirik Drey. Dia menatapku. Dia terlihat berpikir. Apa dia memperkirakan sesuatu? Apa dia menimbang sesuatu?

"Tujuh bulan PDKT dan aku benar-benar merasa 'she's the girl I'm searching for'. Aku pindah ke kosnya biar bisa terus jagain dia. Jangan sampai ditikung orang, deh." Dave menenggelamkan jemarinya di rambutku.

"Kenapa nggak serumah aja? Lebih hemat, kan?" usul cowok yang duduk di sebelah Dave.

"Terus, aku dimutilasi kakaknya?" Dave tertawa sampai wajahnya merah. Dia memandangiku, lalu menyelipkan anak ramput di pelipisku ke helai rambut lain. "Sebentar lagi kami bakal tinggal serumah. Kami akan menikah."

"WHAT?!" Lori dan Debby berteriak barengan.

Dave mengangkat tanganku yang memakai cincin. Dia memamerkan tanganku ke semja orang. Aku menutup wajah dengan telapak tangan.

Sekarang dia tahu semua. Entah kenapa aku jadi merasa telanjang.

"Kapan?" tanya Debby sambil tersenyum lebar. "Selamat, Ana!" Debby menjabat tanganku. "I'm happy for you, Girl."

"Secepatnya kalau Ana sudah siap." Dave menatapku lekat seperti mau menciumku lagi.

"Soon," kataku sambil mengeratkan genggaman tanganku.

Senyum Dave terlihat seperti ingin menangis sambil memelukku.

"So sweet," seru Debby.

"Dan menghancurkan karirmu?"

Semua orang menatap Drey yang menghabiskan minuman di gelasnya. Aku tidak tahu itu apa, tapi minuman itu jelas bukan jus buah atau soda gembira. Pramusaji menuangkan minuman ke gelas kosongnya lagi.

"Maaf?" Dave mengerutkan kening pada Drey.

Drey mengubah ekspresi tegangnya menjadi senyum lebar. "Kenapa buru-buru? Kamu masih muda." Drey melipat tangannya dengan kaku di meja. "Banyak orang yang menikah dan menyesal. Konyol kalau kamu nengorbankan karir demi pernikahan."

Dave terlihat kikuk. Dia menatapku. "Aku akan mencoba, Drey. Kalau memang harus ada yang dikorbankan, itu jelas bukan Ana. Tanpa pekerjaan, aku masih bisa bertahan selama masih dengannya. Tanpa dia, aku tidak akan mungkin bisa bekerja."

"Jadi ..." Drey menatap lurus kepada Dave. Tangannya disilangkan di meja, persis bos bajingan yang ada di film-film. "Ini bisa digunakan untuk menilai loyalitasmu?"

Wajah Dave memerah. Dia terlihat bingung harus menjawab apa.

Keparat itu!

Diam-diam, Debby menggenggam tanganku di bawah meja. Dia memberiku kekuatan.

Kutarik napas panjang. Aku harus membela Dave seperti dia akan membelaku kalau aku ada di posisi ini.

"Aku percaya pada Dave," ucapku tegas. Drey menatapku. Semua orang menatapku. Punggungku terasa dingin sekali. Seluruh tubuhku gemetar. Kali ini bukan karena kenangan lama kami. Kali ini karena kemarahan yang sangat ingin kumuntahkan ke wajahnya.

"Aku percaya Dave bisa melakukan tugasnya sekalipun menikah. Menurutku, pernikahan bukanlah penghalang orang untuk berkarir. Justru kalau dia MENIKAH DENGAN ORANG YANG TEPAT, aku yakin dia bisa mendapat tambahan semangat." Kutarik napas panjang lagi. "Pernikahan tidak salah. Yang salah adalah manusianya. Kenapa menikah dengan orang yang salah?"

Aku sudah mengibarkan panji perang. Genderang sudah ditabuh. Aku tidak bisa mundur.

Semua orang diam, menatapku.

Drey mengangkat gelasnya dan tersenyum. "Salute!" ucapnya lembut.

Aku tahu itu satir. Aku tahu itu bukan untuk memberiku ucapan selamat. Dia tahu aku menghajarnya.

Ini perangku. Ana versus Drey. Siapa yang mundur, dia yang kalah.

"She knows everything. Kenapa kamu nggak melamar kerja di sini, Ana?" Ada kemarahan di matanya. Aku tahu itu. Aku pernah melihatnya dulu sekali.

Aku tersenyum dan menggeleng. "Terima kasih. Tapi, aku sudah punya pekerjaan, Sir. Aku mencintai Savanna dan hidupku. Kalau menikah dengan Dave, aku ingin mendedikasikan diriku sepenuhnya kepadanya. Dia cowok yang manja sekali. Aku ... aku lebih senang menjadi perempuan di balik kesuksesannya." Kubelai tengkuk Dave dengan sayang. Semoga saja dia tidak merasakan jari-jariku yang gemetar.

Kutembakkan anak panah tepat ke jantungnya.

"Smart-ass," desis Bono sambil tersenyum lebar. "She turns me on. Really."

Cowok di sebelah Dave menepuk bahunya. "You're so fucking lucky, Bro. Damn!"

HP Drey berbunyi. Dia menatap layar HP dengan alis berkerut.

Kutarik napas panjang sekali lagi sebelum mengatakan, "aku mau ke kamar kecil."

Dave berdiri untuk menemaniku. Aku menahannya. "I'm fine. Aku bisa sendiri, kok," ucapku sambil tersenyum, lalu bangkit dari tempat duduk. Debby sepertinya ingin mengikutiku. Mungkin dia ingin menguatkanku karena sadar ucapan Drey melukaiku. Namun, cowok di sebelahnya mengajaknya ngobrol.

Di kamar mandi, aku mengunci pintu dan mulai menangis. Kujejalkan kepalan tangan ke dalam mulut agar tidak ada yang mendengar jeritanku. Lalu, aku muntah. Kukeluarkan semua isi perutku yang sebenarnya hanya cairan kuning. Air mata, ingus, kemarahan, dan muntahan jadi satu di dalam lubang WC.

Aku berpegangan pada dinding WC agar tidak roboh. Di cermin, aku melihat gadis kurus dengan dandanan yang masih memesona. Entah kosmetik apa yang dipakaikan orang salon itu di kulitku sampai dandanan ini tahan dari semua kehancuran yang kualami.

Aku berkumur sebentar sebelum menepuk-nepuk wajah dengan tisu. Selain lipstik yang perlu dipulas ulang, tidak ada yang berubah dari dandananku.

Aku siap tempur lagi.

Dave sedang ngobrol dengan Lori dan laki-laki yang duduk di sebelah Drey. Dia mengangguk-angguk membenarkan omongan Lori yang entah apa.

Drey berdiri di ujung ruangan, mendengarkan Bono. Dia menatapku. Dia menatapku seperti dulu. Dia menatapku seolah aku yang terindah yang pernah dilihatnya.

Kalian tahu?

Aku tidak peduli. Aku tidak ingin peduli lagi kepadanya.

Aku kembali ke tempat dudukku dan minum air putih dingin sampai perutku kembung. Seseorang menyentuh leherku dari belakang. Dave. Dia mendongakkan kepalaku dan bertanya, "kamu baik-baik aja?"

"Ya," jawabku sambil tersenyum, meyakinkannya kalau aku benar baik-baik saja.

"Good." Dia mengucap pipiku dengan jempolnya. "Aku ngobrol dulu, ya?"

"Feel free, Sayang. Enjoy your time."

Dia mengecup dahiku sebelum kembali pada kawanannya yang sekarang bertambah dua orang lagi. Sedetik kemudian mereka sudah berdiskusi panas lagi. Dave sampai mengeluarkan pena dan mencoret-coret di kertas kosong untuk menunjukkan sesuatu kepada mereka.

Merasa sendirian di tempat itu, aku memutuskan untuk ke luar. Mungkin ada di ruangan yang berbeda dengan Drey bisa membuatku jadi lebih baik. Kepalaku sudah sakit sekali soalnya.

Seorang pramusaji tersenyum kepadaku. Rasanya aku jadi ingin berterima kasih kepadanya. Perhatian sekecil apapun sangat berarti untukku saat ini. Sebenarnya, aku sangat ingin pulang ke rumah, sembunyi dalam selimutku, lalu nonton film dengan Dave. Hanya itu.

Aku duduk di kursi plastik di koridor dan merasa sangat lega.

Sebenarnya, aku akan sangat berterima kasih kalau ada yang memberiku tabung oksigen. Aku sangat membutuhkannya. Namun, duduk sendirian di ruang yang berbeda dengan Drey saja sudah cukup bagus, kok. Jantungku jadi lebih tenang.

Dalam hal ini, aku bangga dengan hatiku. Tuhan memberiku hati yang sangat kuat. Sudah berkali-kali hati ini disakiti, disiksa, dikhianati, dipermainkan, dibakar, sampai dipatahkan olehnya sampai sekarang. Untungnya, hatiku masih bertahan. Kalau hati ini beli di Senen atau Glodok, mungkin sekarang sudah hancur berantakan.

Tuhan, tolong beri hatiku kekuatan sekali lagi untuk menghadapi monster ini. Tolong! Rasanya sakit sekali.

Kukira, baru saja aku menghela napas waktu dia datang. Dia mengetuk-ketuk kotak warna keperakan yang kutebak isinya rokok. Dia berdiri di hadapanku. Sebelah tangan menopang tubuhnya di tembok sambil terus mengetuk-ketuk kotak warna keperakan itu. Dia hanya begitu saja sambil memperhatikanku.

Rasanya sudah ratusan tahun lalu sejak terakhir kali dia berdiri di depanku. Rasanya sudah lama sekali.

Aku sudah muak.

Aku berhenti melihatnya dan memikirkannya. Kepalaku terasa sangat sakit. Aku berkonsentrasi pada vas logam besar di dekatnya. Bayanganku terpantul pada permukaan vas. Bayanganku terlihat lebih kecil dan kurus. Apa aku memang sekurus itu sekarang? Apa ini akibat sakau Drey selama bertahun-tahun? Sekarang dia ada di sini dan aku tidak merasa lebih baik.

Dia mengambil napas. Suara tarikan napasnya berat dan keras, seperti mencari perhatian. "How's life going, Ana?" tanyanya dengan suara seangkuh gunung es.

Aku menatap matanya. Dia yang memulai perang ini.

"I'm alive," jawabku berusaha sedingin mungkin.

Punggungku seperti dialiri es batu.

"Thief," desisnya dengan nada penuh kebencian. Sebentar kemudian, dia berkata lagi, "Witch." Dia menggeleng. "Why do you look so fucking perfect?"

"Why do you look so damn asshole?" Aku menantang matanya. "Aku tahu kamu dari dulu memang nggak punya hati, tapi nggak nyangka kamu bisa sebajingan ini."

"Really?" Dia menggosok bibir bawahnya dengan ibu jari. "Look, Witch. hatiku sudah dirampok bertahun-tahun lalu. Sekarang dia hidup bahagia dengan pacar barunya."

"Kamu mau mengintimidasi aku, Drey?" Aku berdiri, mengakhiri perang yang sudah kumenangkan. "Sorry to say, nggak guna!"

Drey menangkap tanganku dengan cepat. Tangannya sedingin mulut jahatnya. "Ana, how's life going?"

Ini pertanyaan sungguhan. Dia ingin tahu bagaimana aku tanpa dia. Dia ingin tahu bagaimana aku bisa bertahan dari kerusakan yang diperbuatnya.

"I'm alive. Better life without you." Setelah mengucapkan ini aku baru sadar kalau aku mendesis kepadanya. Aku mendesis dengan penuh kebencian. Kuharap semua kebencianku berubah jadi pisau dan menusuknya sekarang.

Dia terlihat akan mengatakan sesuatu, tapi dia melepaskan tanganku. Dave datang, menatap kami, lalu mengamati wajahku.

"Rokok?" tawar Drey setelah mengeluarkan sebatang rokok untuk diselipkan ke bibirnya.

"No, thanks." Dave tersenyum sopan.

"Really? Kamu nggak minum dan nggak merokok?"

Dave tersenyum lebar. "Aku sudah berhenti sejak lama sekali, Drey." Ada kebanggaan di dalam suaranya. Dia menatapku. "Are you ok?"

"Pulang, yuk!" ajakku berusaha terdengar biasa sekalipun di dalam dadaku ada detakan yang sangat tidak biasa.

Dia menarik tanganku. "Apapun maumu, Ana." Dia menatap Drey lagi. "Aku minta maaf, Drey. Aku ... she needs me."

Drey tidak menyalakan rokoknya. Dia hanya membiarkan rokok berwarna cokelat itu menempel di sela bibirnya begitu saja.

"Yeah," kata Drey sambil menyeringai. "Bersenang-senanglah, anak muda." Dia terkekeh. Palsu. Dia menjabat tangan Dave dengan erat. Ini palsu juga. Lalu, ia bersandar lagi di dinding dengan satu tangan, masih belum menyalakan rokoknya.

"Maaf, ya," bisik Dave yang berjalan rapat di belakangku.

"Buat apa?"

"Membuatmu menghadapi semua ini. Seharusnya kamu bisa di rumah dan nonton film yang kamu suka, bukannya megap-megap kayak orang bengek di sini."

Kutarik tangannya melingkar di perutku. Kami jadi susah jalan.

"Kalau aku nggak di sini, siapa yang mau membelamu? Siapa yang bisa melawan bosmu yang mulutnya tajam itu?"

Dia tergelak. "Sebenarnya dia orang baik, Ana. Dia menghadapi kehidupan yang buruk. Wajar kalau dia ngomong gktu. Dia baru cerai, kan? Makanya nggak ada yang ngeributin dia tadi. Biasanya, Lori itu nggak suka kalau ada perisakan gitu."

"Aku suka Lori."

Dave mengangkat tanganku dan menyelipkan telunjuknya di ketiakku. Aku menjerit. Dia menggelitiki ketiakku. Lututku sampai lemas tertawa geli.

Dia mendesakku ke dinding. Tangannya mengurungku dalam pelukannya. Kami terengah dan tertawa.

"Lori benar. Aku memang nggak salah pilih," ucapnya lembut.

Aku tersenyum. "Aku lagi mikirin tanggal nikahan kita."

"Hah?"

Kubelai wajahnya yang imut. "Aku tahu, kamu cowok yang nggak boleh dilepaskan. Aku cewek paling beruntung di dunia, Dave."

"Baru sadar?" Wajahnya merah. Dia mendekatkan wajahnya. Dia tidak menciumku. Dia membauiku. "kamu habis muntah?"

"Bauku memang kayak sampah, ya?"

Dave tersenyum. "Memang," katanya sambil menciumku. Ah, Dave. Kenapa kamu lembut sekali? Aku merasa seperti mentega setiap ada di bibirmu.

Suara berdeham. Kami menoleh. Lori tersenyum lebar. "Tahan sampai masuk mobil kenapa, sih?" Dia tertawa di sebelah Drey.

Rokoknya belum dinyalakan. Wajahnya penuh kebencian. Aku tahu. Aku pernah melihat wajah jahat itu sebelumnya.

Aku tidak peduli.

"Lapar?" Dave mengusapkan hidungnya ke telingaku sambil berjalan lagi.

"Mi ayam, yuk!"

"Mi ayam pedas?" Dave tertawa. "Kamu benar-benar stres ya tadi?"

"Banget," kataku sambil merebahkan kepala di dadanya. Kami berjalan seperti dua orang yang diikat. Tubuhku rapat di tubuhnya. Tangannya mengikat kami.

"I love you, Ana. Aku budakmu. Aku akan mengikuti apa yang kamu mau," kata Dave di telingaku. "Cuma yang mulia Ryn yang bisa menandingimu."

Aku tertawa. Dave tertawa. Orang itu terus memperhatikan kami. Orang jahat itu.

***

Tenang... tenang... Tidak ada foto di part ini. Biar khusyuk emosinya. Wkwkwkwk...

Yang sabar, yak. Gemes boleh, tapi jangan sakiti author-nya. Wkwkwkwk...

Tunggu yak episode berikutnya.

Ambil napas dulu. Tarik... embuskan... tarik lagi... embuskan lagi...

Sudah?

Sekarang, langsung pencet tombol vote dan comment dulu yaaa... jangan lupa share cerita ini di media sosial kalian, lalu mari kita berdoa agar update selanjutnya bisa segera, ya. Bisakah part ini membawa Savanna ke 15K viewer malam ini?
Please, Guys! Hanya kalian yang bisa membantu saya ❤❤❤

Terima kasih banyak...

Love you,

Honey Dee

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro