• 2 •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kabar tentang rencana lamaran Gio seharusnya bukan kejutan. Cepat atau lambat, Tessa tahu hari seperti ini akan datang. Dia bahkan sudah menyiapkan hatinya jauh-jauh hari, tapi kenapa sakitnya masih saja tidak bisa dikompromi? Dia bahkan tidak bisa menahan airmatanya tumpah saat sedang membuatkan kopi yang baru untuk Bastian dan Gio.

Mencoba untuk menghibur diri sendiri, Tessa mengeluarkan scratch book-nya dan mulai menulis pada halaman baru.

Meski masih menyisakan sesak, dada Tessa terasa lebih ringan setelah berhasil menumpahkan kesedihannya. Curhat selalu membantu.

Tessa kembali ke meja makan yang sedang diduduki Bastian dan Gio dengan kopi yang baru. Semua cangkir yang sukses menjadi pecahan beling sudah tidak nampak lagi, sepertinya pelayan sudah membersihkannya selagi Tessa menyiapkan minuman yang baru.

"Saya minta maaf atas keteledoran saya, Pak," kata Tessa setelah menyuguhkan kopi.

Bastian melirik sekilas, tidak biasanya asistennya yang sempurna itu melakukan kesalahan. Tapi melihat tampang Tessa yang normal, seperti selalu, dia memutuskan untuk tidak ambil pusing. "It's okay. Lagian, saya sedang berbahagia, saya lagi malas marah-marah."

"Terima kasih, Pak."

"Makasihnya ke Gio aja. Karena kabar tentang pernikahannya yang bikin saya bahagia."

Tessa merasa kesulitan saat harus menyunggingkan senyum dan mengucapkan, "Selamat, Pak," pada Gio. Tapi syukurlah dia bisa mengatasinya dengan baik. Gio maupun Bastian tidak menyadari bahunya yang melorot karena kecewa.

Tessa tidak akan pernah lupa bagaimana dia bisa melewati masa-masa sulit sejak bekerja bersama Bastian. Usia Tessa yang masih menginjak angka 19 waktu itu masih tergolong sangat muda untuk mendampingi Bastian yang baru lulus kuliah dan langsung dipercaya ayahnya untuk membantu mengurusi perusahaan.

Tessa menjadi pilihan yang paling pas untuk mendampingi Bastian waktu itu. Bastian muda yang pemberontak, hanya bisa sedikit lunak menghadapi perempuan yang bau kencur.

Bastian juga tidak akan berbuat macam-macam seperti yang selalu dilakukannya pada asisten sebelumnya, karena tampang Tessa yang sangat lugu. Viktor, ayah Bastian, cukup tahu kalau anaknya yang berandalan itu tidak akan menyentuh perawan polos nan lugu seperti asisten baru yang ditunjuknya itu.

Menjadi poin ekstra, Tessa terbukti pintar dari nilai-nilai akademisnya di sekolahan, tidak akan sulit untuk mengikuti ritme kerja Bastian. Setidaknya begitu yang dipikirkan Viktor sebelumnya.

Nyatanya, Tessa kualahan. Bastian memang pintar. Semacam pintar yang dikaruniai Tuhan sebagai salah satu kelebihan yang didapatnya tanpa usaha keras. Dia mudah meloby siapa saja, dia punya insting kuat tentang pasar, dan dia punya banyak ide brilliant dalam mengembangkan usahanya. Tessa yang masih sangat hijau dalam dunia property benar-benar tersesat setiap kali harus mengikuti cara kerja bosnya itu.

Syukurlah ada Gio--yang di mana ada Bastian selalu ada dia--selalu siap membantu. Gio selalu menjadi penolong Tessa. Tidak jarang, pekerjaannya justru dikerjakan oleh pria berkacamata itu. Seperti misalnya membuatkan janji dengan orang-orang penting, memilihkan hadiah untuk pejabat-pejabat penting, bahkan membuat daftar kegiatan Bastian untuk memudahkan Tessa membuat persiapan sebelum ditanyai. Tapi itu dulu, saat tahun pertama Tessa menjabat sebagai asisten Bastian. Cepat belajar dan tahan banting membuatnya bisa menjadi salah satu pekerja andalan pada akhirnya. Hingga sekarang, tanpa terasa Tessa bahkan sudah memasuki tahun ke-lima bekerja bersama Bastian.

Tessa harus mengaku kalau bantuan-bantuan tanpa pamrih itu pulalah yang membuatnya jatuh hati pada pemilik senyum yang menawan itu. Sejak awal dia tahu kalau gebetannya itu bukan pria single. Tidak sama seperti Bastian yang selalu gonta-ganti pacar seperti gonta-ganti menu makanan, Gio justru sangat setia. Sepanjang Tessa menjabat sebagai asisten Bastian, Gio sudah menjalin hubungan dengan Lara dan tidak pernah tampak jelalatan. Itu pulalah yang membuatnya yakin kalau tidak semua pria berengsek seperti bosnya.

"Gue masih mau lamar besok, Bas. Bukannya nikah besok," tukas Gio, membuyarkan pikiran Tessa.

"Tapi itu udah cukup untuk buat gue bahagia, paling enggak lo bentar lagi ngerasain surga dunia. Enam tahun lo sama Lara cuma grepe-grepe doang, pacaran apa food tester?"

Bicara tentang makanan, Tessa tiba-tiba menyadari kalau piring Bastian di atas meja masih penuh. Bentuknya memang tidak seperti potongan salmon lagi karena sudah ditusuk-tusuk hingga tak berbentuk, tapi Tessa cukup paham kalau itu sama artinya dengan bosnya belum makan sama sekali.

Cepat, Tessa menarik cangkir sebelum jemari Bastian meraih benda berisi cairan hitam pekat itu.

"Bapak belum makan?" tanya Tessa.

Bastian melirik piringnya jengkel. "Udah kok, dua suap. Dan sekarang saya cuma perlu kopi."

"Apa perlu saya minta chef buatkan menu baru? Sup asparagus mungkin, kesukaan Bapak?" desak Tessa.

Bastian mengembus napas frustrasi sebelum menyahut, "Enggak, Tessa. Saya nggak selera makan. Saya cuma butuh kopi."

"Maaf, Pak. Bapak punya masalah dengan lambung, kalau Bapak lupa. Terlalu banyak minum kopi sebelum mengisi perut sama sekali nggak baik untuk lambung Bapak. Biar saya siapkan teh hijau saja. Sekaligus untuk membantu Bapak tidur lebih lelap malam ini."

"Tessa! Saya cuma butuh kopi sekarang!" Bastian nyaris berteriak.

Syukurlah Tessa sudah cukup kenal Bastian, teriakan-teriakannya tidak semengerikan dulu. Dia cukup paham kalau pria itu tidak bermaksud kasar, hanya kebiasaan. Jadi Tessa bisa dengan mudah menyungging senyum. "Tentu, Pak. Besok pagi."

"Sekarang, Tessa!"

"Iya, sekarang teh hijau, Pak!"

"Tesssaaaaa!!!" teriakan Bastian sama sekali tidak bertuan, karena Tessa sudah melipir ke dapur dengan membawa serta kopi yang sebelumnya disiapkan untuk Bastian. Bukannya berniat mengatur kehidupan sang atasan, dia hanya tidak ingin tidur malamnya terganggu kalau Bastian harus mengeluh sakit perut di malam hari. Kadang dia heran, kenapa pria itu tidak menelepon ibunya saja di saat sakit?

Sementara teriakan Bastian belum mereda, Gio yang menyaksikan ketidakberdayaan sahabatnya di tangan asistennya sendiri tertawa terpingkal-pingkal. Tawa Gio semakin pecah saat Bastian melemparinya dengan napkin yang dipungut dari atas meja.

"Kadang gue berharap Lara bisa sedikiiiiitttt aja lebih peka kayak Tessa," kata Gio di akhir tawanya.

"Dia itu bukan peka. Otoriter! Gue heran kenapa gue harus selalu nurut sama dia?" heran Bastian.


Ikut2an bikin cast ah~~
Biar makin semangat...


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro