• 21 •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lukman membenamkan handuk di dalam baskom berisi air hangat. Memerasnya. Lalu menempelkan kain lembab itu di atas kening Bastian.

"Lo kok bisa demam gini sih, Mas?" decak Lukman.

"HEH!!!" hardik Bastian. Meski lemah, ternyata suaranya masih bisa tinggi. "Udah gue bilang kan, jangan panggil gue 'Mas' lagi!"

"Ya gimana, dari kecil gue emang selalu sebut lo dengan panggilan 'Mas' kok!" protes Lukman.

"Nggak mau tahu, pokoknya lo ubah panggilan itu sekarang! Lagian, gue kan atasan lo, nggak pantes aja lo bersikap sok deket gitu sama gue! Nggak enak sama karyawan yang lain."

"Dan lo baru protes sekarang? Setelah tiga bulan gue bekerja dan konsisten menyebut lo dengan 'Mas'?"

Bastian mendengkus. "Lo kayaknya beneran pengin gue pecat, ya!"

"Pecat aja, Mas! Pecat! Di mana lagi lo bisa dapetin asisten yang bisa se-baik gue, yang rela ngurusin lo pas lagi sakit begini!"

Digertak begitu, Bastian malah ciut. Bukan karena tidak berani melawan, hanya saja kepalanya kembali diisi kembali dengan ingatan tentang cara Tessa mengurusnya. Sebal rasanya saat sedang sakit begini bukan wanita itu yang merawatnya. Yang ada malah Lukman, sepupu yang sejak kecil selalu menjadi rekan se-timnya dalam membuat onar.

"Gue kayaknya tahu deh, lo kenapa...," Lukman mengusap-usap dagunya yang licin, membuat gaya seolah sedang berpikir keras, sebelum menunduk dan berbisik di telinga Bastian. "Lo perlu cewek, ya?"

Telak! Wajah Bastian kontan memerah. Demamnya pasti naik lagi.

Beruntung, dia diselamatkan oleh kehadiran Mila. Dengan histeris dan tersedu-sedu, sang ibu menghampiri ranjang dan mengiba, "Bas ... anak ganteng Mama ... kok bisa sampai sakit begini sih?" Kepada Lukman yang berdiri di sisi ranjang, Mila bertanya dengan panik, "Udah telepon dokter Frans belum, Man?"

"Nggak perlu, Tante. Bukan Dokter Frans yang Mas Bastian butuhin," jawab Lukman asal.

"Jadi, dia perlunya apa? Ya, kamu kasih dong! Jangan dibiarin sakit begini!" Mila menepuk lengan Lukman kesal.

"Dia butuhnya cewek, Tante. Coba aja Tante tanyain sendiri anaknya mau yang kayak gimana, biar Lukman cariin!"

"HEH! Jangan sembarangan gitu, ya, Man! Mau, kelakuan kamu Tante lapor sama Papa-mu! Nanti nama kamu beneran dihapus, tahu, dari kartu keluarga!" seloroh Mila.

Sejatinya, menjadi asisten Bastian adalah hukuman bagi Lukman. Dia terindikasi sebagai mahasiswa nakal yang gemar berfoya-foya dan bermain wanita saat kuliah di Singapura dulu. Karena itu sang ayah mengukumnya dengan berhenti memberi dukungan materi. Biar si anak belajar hidup mandiri, katanya.

Demi menyelamatkan masa depan Lukman, Ratna-ibunda Lukman, yang merupakan adik kandung dari Mila--meminta bantuan sang Kakak untuk memasukkan puteranya ke perusahaan melalui Bastian. Untuk itulah, Mila selalu berusaha membujuk Bastian untuk merekrut Lukman.

Terlepas dari perangainya di luaran sana, Lukman ternyata bisa diandalkan soal pekerjaan.

"Nggak usah banyak bacot, Man! Lo benerin aja dulu sikap lo, biar gue nggak makin parah sakitnya!" ketus Bastian.

"Emangnya sikap Lukman gimana, Bas? Dia bikin ulah lagi?" was-was Mila.

"Dia sama sekali nggak professional, Ma. Dibilangin jangan sebut-sebut Bas dengan panggilan 'Mas' aja susah bener! Kan Bas jadi nggak enak sama karyawan yang lain!" keluh Bastian. "Pokoknya Mama bilangin deh tuh anak, biar berenti panggil Bastian dengan sebutan 'Mas'!"

"Ya, jadi dia harus gimana, Bas? Kamu kan emang mas-nya!" bela Mila.

Bastian mengerang kesal. "Bastian nggak mau dengar panggilan 'Mas' dari oranglain lagi, pokoknya!"

Mila mengernyitkan kening. Mengamati kelakuan anaknya yang tiba-tiba aneh bin ajaib. "Kamu ... nggak berhasil bawa Tessa balik?"

Bastian mendengkus. Lalu menggeleng.

Mila mengangguk. "Iya, Man. Kamu bener. Dia nggak perlu dokter."

"Nah kan! Jadi gimana nih, Tante mau menantu model gimana, biar Lukman cariin buat Mas Bastian! Lukman punya stok berbagai macam tipe nih, Tan!" seru Lukman percaya diri.

Kalimat itu justru mendapatkan respons berupa pelototan mata dari Mila. "Kamu nggak denger tadi Bastian bilang apa? Dia nggak mau sebutan 'mas' dari oranglain lagi. Termasuk kamu. Panggil Bastian dengan sebutan 'Pak', mulai sekarang. Belajar professional dong, Man!"

Kepada Bastian yang mendadak bengong di atas ranjang, Mila berbisik, "Jadi, Tessa udah sebut kamu dengan panggilan 'Mas' sekarang?"

***

Dua hari sudah Bastian menghilang dari permukaan tanah Pekanbaru, namun ternyata tidak serta-merta memberi ketenangan di dalam hidup Tessa. Benar kata Freya, di mana-mana, yang namanya kerja, ada saja tantangannya. Seperti yang dialaminya saat ini.

Entah dari mana asal muasalnya, Tessa mendengar rumor kalau dia adalah "wanita-nya boss". Dua hari ini pula, dia memang mendapat perlakuan khusus dari Abdi, sang GM. Perlakuan yang entah kenapa harus diterimanya, padahal dia tidak punya koneksi di tempat ini. Perlakuan yang pada akhirnya membuat rekan sejawat sirik dan tanpa alasan memusuhinya. Sungguh, Tessa tidak suka keadaan ini. Penat rasanya!

Baru saja Tessa ingin mengusir kegundahannya seusai jam kerja di kamar ganti, ponselnya berdering nyaring. Nama Mila muncul di layar.

"Mas-mu demam tinggi, Sa," sahut Nyonya besar itu setelah Tessa mengucapkan salam pembuka.

"Mas ... saya?" bingung Tessa. Kenapa sih, dia tidak bisa lepas dari bayang-bayang Bastian dan keluarganya? Dan, apa katanya? Mas-mu? Seolah-olah kata Mas itu adalah panggilan khusus atas hubungan spesial Tessa dan Bastian saja! Sudah Tessa duga, berhubungan dengan Bastian pasti selalu membawa petaka!

"Iya, nih. Bastian, Sa! Mas-mu!" Mila menegaskan. Membuat Tessa tersedak ludahnya sendiri, hingga terbatuk-batuk.

"Pas balik dari Pekanbaru kan dia langsung ngantor, tuh. Kamu tahu sendiri kan, gimana ceritanya kalau agendanya udah berhubungan dengan anggaran. Alot dah, pastinya. Bastian sampai nggak pulang-pulang. Nah, giliran hari ini pulang ke apartemen, dianya malah demam tinggi," cerita Bu Mila.

"Oh," Tessa berusaha merespons, tapi malah bingung sendiri harus berkata apa. Dia benar-benar takut salah bicara. "Hmm ... semoga putera Ibu lekas sembuh, ya!"

"Kamu nggak mau nengokin, Sa?"

Seolah-olah Pekanbaru-Jakarta bisa dilewati dengan taksi online saja? Tapi, Tessa mengungkapkan dengan kalimat, "Hmm ... saya bantu doakan saja ya, Bu. Biar Pak Bas cepat sembuh."

"Kok Bapak sih, Sa! Bastian lho ini, Mas-mu!"

"Iya, Bu."

"Iya, gimana maksudnya?"

"Iya, semoga Mas Bas lekas sembuh."

Tessa menjauhkan ponsel dari telinganya saat mendengar suara histeris Mila yang disertai dengan cekikikan. "Aaakkhhh!!! Hahahaha ... Bener, Man! Tessa sama Bastian beneran udah pakai panggilan sayang! Kamu jangan panggil Bastian dengan sebutan 'Mas' lagi, ya!"

"Bu! Bu Mila! Izinkan saya menjelaskan, Bu! Ibu sepertinya salah paham! Bu!" Semua panggilan Tessa tak disahut, karena sepertinya sosok di seberang ponsel bahkan tidak menyadari sambungan masih terhubung, saking senangnya melanjutkan cerita dan angan-angannya bersama entah siapapun orang di seberang sana.

Tessa menyerah.

Diputuskannya panggilan.

Kenapa sih dia harus dikelilingi dengan begitu banyak drama?

**

"Kakak tahu cara paling ampuh untuk menghentikan gossip?"

Tessa sengaja menceritakan segala keluh kesahnya kepada Freya begitu sampai di rumah. Dan pertanyaan itu yang didapatnya sebagai respons.

Well, Tessa tidak menceritakan semuanya, sih, hanya tentang dirinya yang disebut-sebut sebagai 'wanita-nya boss' saja, karena menurutnya gossip itu perlu diluruskan secepatnya. Sementara keluh kesah tentang Bastian biar disimpannya sendiri, dulu. Dia tidak ingin perkembangan hubungannya yang aneh dengan mantan atasannya itu malah sampai di telinga ibunya akibat mulut bocor sang adik.

"Gimana, Ya?" antusias Tessa.

"Dengan Kakak menunjukkan fakta. Kalau kakak bukan wanita-nya bos, ya, kakak tunjukin dong kakak ini wanita-nya siapa."

Dengan kurang ajarnya, yang terlintas dalam pikiran Tessa malah sisa-sisa percakapannya dengan Bu Mila saat dengan terpaksa dia mengakui Bastian sebagai Mas-nya. Kenapa harus Bastian sih? Tessa sama sekali tidak sudi menjadi wanita-nya Bastian!

"Belakangan kan, Kakak aktif banget tuh main Madam Rose! Kayaknya udah ada yang klik deh, kenapa enggak Kakak ajakin kopi darat? Kali aja cocok," usul Freya.

Awalnya Tessa sempat ragu. Dia sama sekali tidak pernah memikirkan Tian-satu-satunya teman di aplikasi Madam Rose-lebih daripada yang telah mereka jalani selama ini. Teman. Tapi pada akhirnya Tessa mendapati dirinya mengirimkan pesan itu pria itu.

"Hai, Tian."

"Hai, Tessa. Senang mendapat pesan darimu lagi."

"Kapan kita bisa bertemu?"

**

Bastian segera bangun dari tidurnya. Balasan pesan dari Tessa melalui aplikasi Madam Rose membuatnya tidak tenang. Kenapa Tessa ingin bertemu dengan Tian, sosok yang tidak pernah dilihatnya? Kenapa bukannya malah terkesan pada semua yang sudah dilakukannya sebagai Bastian?

"Apa yang membuatmu tiba-tiba ingin bertemu?" balas Bastian.

"Maaf sebelumnya. Tapi menurut adik saya, kamu mungkin bisa menjadi solusi untuk masalah yang sedang saya hadapi."

"Kamu sedang dalam masalah? Masalah apa?"

"Entah darimana asalnya, saya digosipkan sebagai wanita-nya boss. Dan itu membuat saya nggak nyaman. Menurut adik saya, saya bisa mematahkan gossip itu dengan memperkenalkan kamu sebagai pacar saya. Sekali lagi, maaf. Pasti ide ini terdengar konyol, buatmu?"

"Tessa ... percayalah ... saya sangat ingin menemuimu. Tapi nggak sekarang. Karena saya nggak mau mengubah semua yang udah kita jalani sampai saat ini. Untuk masalah kamu, tenang saja, besok nggak akan ada yang berani menggosipkan kamu lagi. Percaya pada saya!"

"Hahaha. Kamu bicara seolah-olah kamu bisa membuat keajaiban saja!"

Bastian menghela napas panjang saat membaca balasan pesan Tessa.

"Sayangnya saya nggak bisa membuat keajaiban, Sa. Karena kalau saya bisa membuat keajaiban, hal pertama yang akan saya lakukan adalah membuatmu berada di sini, di sisi saya," gumamnya sendiri.

Kembali meletakkan penggung tangannya di kening, Bastian bisa merasakan panas tubuhnya mulai meningkat lagi. Sepertinya demamnya benar-benar naik sekarang. Tapi daripada mengurus dirinya sendiri, dia lebih suka mengurus Tessa. Meski tidak memiliki kekuatan super untuk membuat keajaiban, Bastian bisa mengabulkan permohonan Tessa dengan mudah. Cukup dengan menghubungi Abdi saja.

"Tessa nggak suka digosipin. Saya nggak mau dia mengeluh karena digosipin lagi, jadi tolong kamu urus mulut-mulut ember bocor di sana, jangan sampai ngomongin Tessa lagi!" Bastian segera memberi peringatan saat panggilan tersambung.

"Jadi maksudnya, Pak Bastian bukan pacarnya Mbak Tessa, ya?" Abdi mengonfirmasi dari seberang sana.

"Bukan gitu juga, maksudnya!" kesal Bastian. "Hubungan saya dan Tessa memang spesial, tapi bukan untuk konsumsi publik. Paham?"

"Oh, Bapak dan Mbak Tessa belum mau go public, ya? Oke, Pak. Saya paham."

Bukan gitu juga! Saya-nya mau-mau aja go public, masalahnya, Tessa-nya nggak mau sama saya! Ah! Kenapa pula Bastian jadi semakin kesal sendiri.

Sebentar-sebentar! Suhu tubuh Bastian sepertinya naik lagi sekarang!

Ah, sebaiknya dia memutuskan panggilan ini sebelum menjadi lebih gila lagi. "Pokoknya saya nggak mau Tessa mengeluh soal pekerjaannya di hotel! Perlakukan dia sebaik mungkin, dan pastikan nggak ada laki-laki yang menggodanya. Paham?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro