• 6 •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dengan kesadaran penuh, Tessa menulis kata demi kata dengan huruf kapital, demi melampiaskan kekesalannya. Tersangkanya sudah pasti Bastian.

Yang ditawari durian oleh Nyonya Prasraya adalah Tessa, tapi kenapa Bastian merasa punya hak untuk menolak? Apa hanya karena Tessa bekerja sebagai asisten, lantas dia serta merta kehilangan kebebasan untuk menikmati makanan kesukaannya sendiri?

"Ma, bau duriannya masih kecium banget! Tuh, Tessa sampai manyun begitu!" komentar Bastian saat meneliti wajah kusut Tessa.

Mendengar namanya disebut-sebut, Tessa segera menarik ujung bibirnya membentuk senyum sempurna, sebelum menyelipkan scratchbook-nya kembali ke dalam tas.

Profesionalitas, Sa! Tessa berseru mengingatkan dirinya sendiri.

"Sirik aja sih, Bas. Jarang-jarang lho Mama dibolehin dokter makan durian!" balas Mila-sang ibu-dari taman belakang. Sibuk menjilati jari-jemari yang berlumur durian. "Ini duriannya enak banget. Sayang banget mama cuma bisa makan dua butir. Sa! Kamu yakin nggak mau makan ini? Masih banyak banget lho sisanya!" Kembali nyonya besar memberi penawaran pada asisten puteranya.

Tessa melirik sekilas. Jarak antara sofa yang didudukinya dengan posisi Mila cukup jauh. Sekitar lima meter. Tapi tetap saja pemandangan daging durian yang berwarna keemasan itu berhasil membuat salivanya overprodutif. Belum lagi aromanya yang menggelitik indra penciuman. Tessa sempurna tergiur.

Baru saja Tessa ingin bangkit dari sofa, sebuah tangan besar mencekalnya.

"Kamu bukan asistennya Mama. Kamu nggak harus nyenengin dia juga!" seru sang pencekal dari sofa di sebelah Tessa. "Cukup senengin saya aja."

"Tapi, Pak-"

"Tenang aja, selama di sisi saya, nggak ada yang bisa memerintah kamu. Nggak, bahkan Mama saya sekalipun."

Yang bilang ini perintah siapa sih, geblek??? Wong akunya juga mau!!! Huaaaa... nangis boleh nggak nih???

"Mending sekarang kamu serahin aja pakaiannya Mama ke Diah, biar kita bisa cabut secepatnya." Bastian melarikan pandangannya pada box pakaian di atas meja. Alasan yang membuatnya berada di tempat ini bersama sang asisten. "Saya nggak tahan sama mau duriannya!"

"Baik, Pak." Tessa berujar pasrah.

Menjemput box pakaian dari atas meja, Tessa memanjangkan langkahnya menuju taman belakang.

Dalam hati, Tessa berharap ditawarkan durian sekali lagi. Kali ini, tidak ada Bastian lagi yang akan menghalanginya jadi dia bisa memenuhi hasratnya untuk menikmati buah menggiurkan itu. Tapi ternyata nasibnya tidak sebaik itu. Bersamaan dengan langkahnya yang mendekat, Mila segera memerintahkan pelayan untuk membawa durian kembali ke dapur.

"Ayo, cepat dibawa. Tessa nggak tahan sama baunya!" Mila mengibas-ngibaskan tangannya sebagai isyarat untuk meminta sang pelayan bergerak lebih cepat.

Tepat ketika Tessa sudah berdiri di depan Mila, Diah, sang asisten yang selalu setia mendampingi nyonya besar itu menerima pemberiannya. Seolah tahu apa yang harus dilakukan dengan box pakaian itu, Diah mengatakan, "Biar saya periksa dulu, Bu." Lalu dia pergi ke sudut rumah yang lain.

"Sori ngerepotin kamu, ya, Sa! Sebenarnya saya bisa fitting sendiri ke sana, tapi saya memang pengin banget ketemu kamu. Makanya waktu Bastian bilang kalian lagi fitting tadi, saya segera minta kalian untuk mengantarkan pakaian saya." Mila berdiri sebelum mengusap-usap telapak tangannya di sisi lengan Tessa.

"Nggak repot, kok, Bu. Lagipula, setelah ini jadwal Pak Bas kosong," sungkan Tessa.

"Oh ya? Tumben."

"Nggak sepenuhnya kosong, sih. Ada meeting virtual dengan investor. Jadi Pak Bas bisa melakukannya dari mana saja."

"Bas!!!" teriak Mila. "Kamu nggak perlu didampingi Tessa kan, meeting-nya? Kamu pakai aja tuh ruangan Papa! Mama mau ngobrol sama Tessa!"

Bastian tampak keberatan, tapi tidak ada penolakan yang keluar dari bibirnya. Maka Mila mengajak Tessa untuk duduk bersama dan memulai perbincangan ringan.

"Ibu kamu apa kabar, Sa?"

"Baik, Bu."

"Sibuk apa dia sekarang?"

"Masih seperti biasa, Bu. Menjadi bidan di klinik."

"Adik kamu, apa kabar?"

"Freya juga baik, Bu. Tahun ini udah lulus kuliah desain grafis. Dan sudah diajak untuk bekerja di percetakan di dekat rumah, Bu."

"Oh ya? Ibu kamu pasti bangga banget!"

Tessa tersenyum sumir. Dia ingin tersenyum lebih lebar, tapi ada cubitan keras di lubuk hatinya yang membuat senyumnya tertahan. Bukan hanya Freya yang ingin kuliah dan memiliki profesi sesuai passion-nya. Tessa juga ingin.

"Kamu masih pengin kuliah?" tanya Mila kala menyadari arti senyum Tessa.

Tentu saja Tessa sangat ingin kuliah. Keberadaannya di Jakarta pun, sebenarnya dilatarbelakangi karena beasiswa yang didapatkannya dari perusahaan Prasraya. Entah untung atau malang, jawaban-jawaban cerdas yang diutarakannya saat wawacancara dengan petinggi perusahaan Prasraya waktu itu justru membuatnya terjebak menjadi asisten Bastian.

Viktor yang menjadi salah satu pewawancara--yang sedang kualahan karena putera bungsunya kerap membuat affair dengan asistennya sendiri--merasa Tessa pasti bisa cepat menyesuaikan diri bila bekerja dengan Bastian. Terutama karena penampilannya yang sederhana. Tidak akan membuat puteranya yang jelalatan itu gagal fokus.

Awalnya hanya sekadar uji coba.

Siapa sangka berakhir lama.

Kondisi keluarga Tessa yang mengalami jatuh bangun beberapa tahun terakhir menjadi alasan Tessa setia bertahan menjadi asisten Bastian. Ayahnya yang selalu prima mendadak terserang stroke dan membutuhkan banyak biaya untuk pengobatan. Keadaan yang membuat Tessa membutuhkan banyak biaya demi membantu pengobatan ayahnya.

Sayangnya usaha itu tidak cukup untuk membuat sang ayah bertahan hidup. Dua tahun yang lalu, beliau telah berpulang menghadap Yang Maha Kuasa. Meninggalkan keluarga tercinta, juga hutang yang melimpah.

Keinginan untuk melanjutkan studi kembali terhambat karena Tessa harus ikut membantu menyicil hutang warisan sang ayah. Hingga saat ini, ketika ditanya apakah masih ingin kuliah, Tessa tidak berani menjawab dengan lantang. Karena meski sangat ingin, Tessa tidak yakin dia bisa.

"Anggap saja sebagai tugas belajar. Kamu boleh melanjutkan kuliah lagi, dengan perjanjian untuk tetap mengabdi di perusahaan," lanjut Mila. "Kamu tahu kan nggak ada yang bisa mengimbangi Bastian selain kamu."

Bukan tawaran baru. Mila pernah mengusulkan ide yang sama sebelumnya. Hanya saja Tessa masih mempertimbangkan. Tessa tentu tergiur akan ide tentang kuliah lagi, tapi tidak untuk mengabdi di perusahaan Prasraya. Dia tidak yakin bisa menghadapi atasannya itu seumur hidup.

"Ngobrolin apa sih?" Bastian tiba-tiba nimbrung.

"Kamu nggak jadi meeting?" tanya Mila.

"Udah selesai. Kerja sama yang mereka tawarkan kurang menarik. Aku cut aja terus."

Mila menepuk lengan Bastian gemas. "Dasar!"

"Mama bilang apa ke kamu? Kok bete gitu, mukanya?" Bastian menuding telunjuknya ke wajah Tessa, yang segera dibalas dengan gelengan sungkan.

"Maaf, Pak. Saya nggak bete kok."

"Ini lho, Bas. Mama nawarin Tessa buat kuliah lagi. Kamu inget kan, alasan dia datang ke Jakarta pertama kali dulu ya untuk kuliah. Mbok ya, kamu hire Lukman kek, anaknya Tante Rasmi, buat gantiin Tessa sementara. Sekalian biar Lukman belajar bekerja juga, dia kan udah lulus kuliah tuh."

"Ya ellah, Ma! Lukman kalau mau kerja ya kerja aja, nggak usah bawa-bawa alasan Tessa harus kuliah segala. Tessa mah nggak usah kuliah juga udah bisa ngurusin semua kerjaan. Wong dia kerjaannya cuma asisten Bastian kok," kekeh Bastian. Meremehkan.

Untuk pertama kali dalam sejarah karirnya, Tessa tidak bisa memaksakan dirinya untuk menyimpulkan senyuman. Sekuat tenaga dia menggerakkan bibir, mencoba maklum, tapi sudut hatinya memberontak keras.

Jadi selama ini semua kerja keras Tessa hanya dianggap sesepele itu oleh Bastian?

Apa katanya tadi?

CUMA ASISTEN?

Apakah pekerjaan asisten itu begitu rendah? Hingga Bastian merasa pantas menertawakannya?

"Kan, Tessa juga perlu upgrade skill nya, Bas. Biar makin mantep kerjanya." Mila masih saja ngotot.

"Tessa selalu Bas ikutkan dalam pelatihan-pelatihan dasar ilmu kesekretariatan dan belajar bahasa kok, Ma. Kalau sekadar untuk jadi asisten Bas, skill Tessa udah cukup kok. Udahlah, Tessa nggak usah disuruh kuliah lagi, nanti kalau makin banyak skill-nya dia malah kabur lagi, cari kerja di tempat lain."

"Bas, kamu tuh ya!" Mila menggeplak lengan puteranya. "Kalau bukan bikin affair, tahunya malah bikin sakit hati! Awas aja kamu kualahan sendiri kalau Tessa nggak ada!"

Dalam diamnya, Tessa mengamini akhir kalimat Nyonya Prasraya. Tessa sangat berharap bisa segera terbebas dari lilitan hutang yang membelitnya, dan berhenti mengurusi bayi besar semacam Bastian. Sungguh, Tessa sangat ingin melihat bayi besar yang satu ini merengek di hadapannya.

**

"Be my plus one, please...," pinta Gio sambil menyodorkan sebuah kotak besar dengan merek desaigner ternama pada permukaannya.

Kalimat yang sangat manis, dari pujaan hati pula. Bukankah seharusnya Tessa senang bukan kepalang? Tapi entah kenapa kepercayaan dirinya hancur seketika. Kepalanya masih saja terus mengingat-ingat potongan kalimat Bastian sore tadi.

Cuma asisten ....

Seolah-olah selama ini Tessa tidak tahu diri saja.

"Bapak nggak malu pergi ke pesta sebesar ini bersama saya?" tanya Tessa. Masih enggan menerima pemberian pria yang datang malam-malam ke kosan-nya hanya untuk mengajaknya ke acara grand launching apartemen perusahaan Prasraya yang baru.

"Kenapa harus malu? Bastian saja selalu semakin percaya diri setiap kali didampingi kamu."

Bastian harusnya dengar itu. Sahabatnya saja bisa menyadari efek kehadiran Tessa dalam kehidupannya. Bagaimana bisa atasannya itu malah merendahkannya begitu?

"Saya selalu memperhatikan bagaimana cara kamu membantu Bastian mengingat hal-hal kecil dalam interaksinya dengan orang-orang penting. Bastian kadang malah cepat lupa sama pejabat-pejabat pemerintahan yang cepet banget rolling-nya. Tapi kamu selalu berhasil menyelamatkan wajah Bastian dengan memberi petunjuk dari belakangnya. Jangan pikir saya nggak perhatiin, Sa."

Tessa akhirnya mengulurkan tangannya. Menerima pemberian Gio.

Bagaimana Tessa tidak luluh kalau Gio selalu seperhatian ini?

"Lagipula ... kamu udah janji kan, bakal bantuin saya untuk bikin Lara cemburu. Dia akan datang juga ke acara grand launching besok. Saya mau dia melihat kita bersama."

Oh, Tessa nyaris lupa fakta yang satu ini.

Ternyata bukan hanya Bastian yang memperalatnya, tapi Gio juga.

Hai, hati, baik-baik kan kamu di sana?

❤❤

Maafkan aku yang ngga tepat janji 😭😭😭
Updatenya lelet juga ternyata 😭😭😭

Percayalah plot cerita ini uda rapi banget di kepalaku,
Tp mmg ga sempat nulis krna kerjaan ktr lagi sibuk2nyaa....

Tetap dukung cerita ini dengan vote dan komen yaa...
Makacoii 💋💋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro