• 9 •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tessa memilih untuk mengunci bibirnya rapat sepanjang perjalanan menuju rumah kos sepulang pesta. Kalau tadi dia sempat kehilangan kemampuan untuk mengendalikan diri, sekarang dia kembali menjadi Tessa yang tenang dan kalem.

Segala debar jantung yang menggila untuk Gio lenyap sudah. Tak berbekas. Tessa ingat alasan utama yang membuatnya jatuh cinta pada pria yang tengah mengemudi di sampingnya itu, tidak lain karena cara pria itu memperlakukan wanita. Gio yang Tessa kenal selalu menghargai dan mengangkat derajat wanita. Berbanding terbaik dengan kelakuan bosnya.

Ciuman yang terjadi beberapa saat yang lalu, hanya membuat Tessa akhirnya harus mengambil kesimpulan kalau lelaki ternyata sama saja. Berengsek. Tak terkecuali Gio.

"Maaf, Sa...," ucap Gio hati-hati.

Permintaan maaf Gio adalah hal terburuk dari ciuman yang dilewatinya malam ini. Pasalnya, permintaan maaf hanya muncul karena adanya kesalahan. Itu artinya, mencium Tessa merupakan kesalahan bagi Gio.

Bodohnya Tessa sempat berpikir Gio berbeda.

Tololnya Tessa lupa kalau dia hanya dijadikan alat untuk membuat mantan kekasih Gio cemburu.

Tessa mengulas senyum cemerlang, berusaha menghalau dongkol yang menyesaki dada. "Maaf, Pak ... saya sepertinya nggak bisa bantu Bapak lagi."

Tepat di akhir kalimatnya, Gio memijak pedal rem. Mereka berhenti tepat di depan gerbang rumah kos tempat tinggal Tessa.

Ada keterkejutan yang tidak bisa disembunyikan Gio, tapi Tessa memilih untuk pura-pura tidak melihatnya, agar tidak perlu memberi penjelasan lebih lanjut.

"Sa!" cegah Gio dengan mencekal tangan Tessa, persis di saat tangan ramping itu meraih kenop pintu. "I'm so sorry, Sa!"

Ada banyak untaian kata yang berjejalan di ujung lidahnya. Kata yang jika ditumpahkan pasti akan membuat Gio tahu betapa kecewanya Tessa. Tapi seperti biasa, Tessa hanya akan menyimpan emosi untuk dirinya sendiri. Tidak ingin dibagi-bagi. Maka Tessa mengakhiri pertemuan malam itu dengan sebuah salam perpisahan. "Selamat malam, Pak." Lalu turun dari mobil.

**

Tessa melempar sepatu mahalnya begitu saja. Membiarkan sepasang alas kaki itu bertumpuk dengan barang mahal lainnya di atas permukaan lantai.

Tessa memang tidak pernah terlalu peduli dengan barang-barang mahal yang dimilikinya. Apalagi karena barang itu tidak pernah dibeli dengan uangnya sendiri. Kebanyakan pemberian Bastian, khusus untuk sepatu yang baru saja dikenakannya merupakan pemberian Gio. Oh, tentu saja dia tidak perlu memberikan perlakuan khusus untuk barang-barang mahal itu, karena dia sendiri tidak pernah diperlakukan khusus oleh pemberinya.

Cukup adil, kan?

Memindai sekeliling, Tessa baru sadar kalau dia sudah mengabaikan kamarnya terlalu lama. Ruang kecil yang melingkupinya saat ini tampak begitu kacau dan berantakan. Sungguh berbanding terbalik dengan semua pekerjaannya yang selalu bersih dan rapi untuk Bastian.

Tessa tahu dia seharusnya merapikan ruangan ini sebelum dia kesulitan membedakan sampah dengan barang-barang berguna. Tapi dia tidak ingin melakukannya malam ini. Karena malam ini, dia lebih suka menenangkan diri dan merenungi nasibnya sendiri.

Pekerjaan yang tak ada habisnya...

Bos yang selalu sesukanya...

Dan...

Pria idaman yang ternyata mengecewakan harapannya....

Baru saja Tessa ingin menggali lebih dalam tentang perasaannya akan Gio, sebuah denting ponsel mengganggu konsentrasinya.

BASTIAN : Sa, kamu beli di mana sih, pashmina untuk isterinya Pak Sekda? Beliau pengin beli lagi buat ibu dan mertuanya.

Tessa hanya melirik dari pop-up yang muncul di depan layar ponsel, enggan menanggapi.

BASTIAN : Sa, emangnya kapan kita pernah perpanjang kontrak kerja sama sama BrightLife? Kok mereka tiba-tiba nodong saya dengan nanyain tentang nominal premi segala?

Tessa mendesah lelah, bahkan untuk menangisi kisah cintanya saja dia tidak pernah diberi kesempatan oleh Bastian.

BASTIAN : Sa, Robert Wang itu siapa sih? CEO baru penggantinya Lukas Wang, ya? Kenapa mereka doyan banget gonta-ganti CEO??? Bikin pening aja.

BASTIAN : Sa, Mama dapat kiriman durian dari Medan, tuh. Besok kamu cari tahu ya, pengirimnya. Trus pastiin dia berhenti ngirim durian ke Mama. Bisa gawat kalau gula darah Mama malah naik lagi.

Tidak tahan dengan bunyi denting ponsel yang tak kunjung habis dari sang atasan, Tessa bergerak dengan hentakan kuat untuk mengambil scratch book-nya dan menuliskan makian dengan tulisan besar.

Napas Tessa terembus besar dan kuat, membuat anak-anak rambut di sekitar pelipisnya beterbangan dalam setiap helaannya.

Napas yang lama-kelamaan menjadi semakin tenang dan teratur, hingga akhirnya Tessa sadar, batu-batu besar yang menyesaki dadanya ternyata keluar bersamaan dengan goresan di atas kertas.

Kenyataan tentang perasaannya yang menjadi lebih baik pasca menyumpahi sang atasan malah membuat tawanya lolos begitu saja. Tessa tertawa keras dan lantang, hingga gema tawanya terdengar memenuhi udara. Alih-alih merenungi kisah cintanya yang mengenaskan, Tessa malah menghabiskan malamnya dengan menambah coretan demi coretan berisi makian baru untuk sang atasan. Dan untuk setiap caci-maki, tawanya kembali lolos.

Hatinya terasa lapang.

Setelah puas memaki Bastian, Tessa akhirnya mampu bangkit berdiri dan bertekad untuk memanjakan dirinya sendiri. Tessa memulai ritualnya dengan menyalakan lilin aroma therapy yang baunya menenangkan, lalu menghabiskan waktunya di kamar mandi dengan lulur dan menikmati buah anggur kesukaannya, dan terakhir ... dia akan tidur dengan pulas.

Persetan dengan semua pria di dunia.

Tessa terlalu malas untuk memikirkannya.

Begitu tubuhnya sudah terbaring di atas tempat tidur, Tessa memeriksa ponselnya sekali lagi. Pesan terakhir yang muncul di pop up message membuatnya kembali terdududuk, sebelum kemudian bergegas mencari kunci sepeda motor dan keluar dari kamar kos. Melupakan agenda tidur pulas yang sudah direncanakannya dengan matang.

BASTIAN : Ulu hati saya sakit banget. Kayaknya asam lambung kumat lagi.

**

"Pengrajin lokal, Pak. Belum ada brand-nya. Nanti saya kirimkan kontaknya ke sekretarisnya Pak Sekda." Dengan penuh kesabaran, Tessa menjawab pertanyaan Bastian terkait pashmina yang dihadiahkan perusahaan untuk isteri Pak Sekda.

Setelahnya, Bastian resmi mengulang kembali setiap pertanyaan yang telah ditanyakannya lewat pesan singkat, membuat telinga Tessa terasa pengar saat mendengarkannya.

"Emangnya kapan kita pernah perpanjang kontrak kerja sama sama BrightLife? Kok mereka tiba-tiba nodong saya dengan nanyain tentang nominal premi segala?"

"Robert Wang itu siapa sih? CEO baru penggantinya Lukas Wang, ya? Kenapa mereka doyan banget gonta-ganti CEO??? Bikin pening aja."

"Mama dapat kiriman durian dari Medan, tuh. Besok kamu cari tahu ya, pengirimnya. Trus pastiin dia berhenti ngirim durian ke Mama. Bisa gawat kalau gula darahnya naik lagi."

Untung saja pengendalian diri Tessa sangat bagus, hingga dia bisa menjawab semua pertanyaan Bastian dengan professional. Namun, sebelum Bastian mengoceh lebih banyak lagi, Tessa sengaja menyelipkan thermometer ke dalam mulutnya dan membiarkannya mendekam di sana untuk waktu yang cukup lama.

"Ini thermometer-nya udah bunyi, Sa," protes Bastian saat Tessa masih saja enggan mengeluarkan alat pengukur suhu itu dari mulutnya. "36,5. Nggak demam." Bastian akhirnya mengeluarkan alat yang mengganjal di mulutnya itu sendiri dan menggumamkan angka yang tertera di sana.

Dibilangin juga nggak demam, ngotot banget ukur suhu segala, cibir Tessa dalam hati sambil membereskan handuk kecil dan baskom yang terpaksa disiapkannya karena sang atasan berkeras minta dikompres.

Baru saja Tessa berjalan menuju kamar mandi untuk mengembalikan handuk kecil dan baskom yang ada di tangannya, tiba-tiba tubuhnya terhuyung, nyaris terjatuh karena didorong oleh tubuh Bastian yang besar. Baskom masih aman dalam genggamannya, namun air di dalamnya tumpah berhamburan memenuhi lantai. Membuat Tessa harus menambah daftar pekerjaan yang harus dilakukannya malam ini.

Inginnya berteriak kesal, memuntahkan amarah. Namun suaranya resmi tertelan kembali saat mendengar rintih penderitaan sang atasan dari pintu kamar mandi.

Bastian bukannya sengaja mendorong Tessa, melainkan perut yang bermasalahlah yang membuatnya harus bergegas ke toilet dan tanpa sengaja menubruk tubuh sang asisten.

Meletakkan baskom dan handuk di meja terdekat, Tessa segera menyusul ke kamar mandi. Mengabaikan bau amis yang menyengat hidung, dia mengerahkan kedua tangannya untuk memberi pijatan lembut di sekujur tengkuk dan punggung sang atasan. Sesuatu yang biasa dilakukannya saat asam lambung Bastian kumat seperti ini.

"Sa, Jangan telepon Mama ...," suara Bastian terputus oleh desakan dari dalam perutnya. Lalu melanjutkan kembali setelah desakan itu keluar dengan bertubi-tubi. "Ntar ... malah makin ... ribet...." Bastian menyelesaikan kalimatnya sembari mengatur napas yang terputus-putus.

Perasaan jijik yang membumbung tenggelam oleh iba seketika. Dengan penuh sukarela Tessa membawa sebelah tangannya untuk menekan flush, sementara tangan yang lainnya digunakan sebagai penopang untuk membantu Bastian tetap berdiri.

Setelahnya, Tessa membantu menuntun Bastian kembali ke ranjang, lalu bergegas mengambil pakaian ganti untuk sang atasan. Handuk yang seharusnya digunakan untuk mengompres, digunakan untuk melap tubuh Bastian yang basah oleh keringat. Tanpa rasa sungkan dia juga membantu mengganti baju kaus Bastian yang basah dengan yang baru.

Tidak lupa Tessa menumpuk bantal untuk membuat posisi kepala dan dada Bastian menjadi lebih tinggi di atas kasur, demi membantu menciptakan kenyamanan tidur.

"Kamu nggak telepon Mama, kan?" Tanya Bastian, memastikan. Wajahnya masih terlihat pucat. Jelas asam lambung yang dideritanya bukan candaan belaka. Namun begitu suaranya terdengar sudah lebih baik setelah mendapat perawatan seadanya dari sang asisten.

Tessa menggelengkan kepala. "Enggak, Pak," jawabnya singkat.

Alasan Tessa bergegas ke tempat ini pun, semata-mata karena dia tahu Bastian tidak akan menghubungi keluarganya. Tessa sudah cukup hafal reaksi keluarga Bastian yang selalu berlebihan. Terutama Nyonya Besar. Ibunda Bastian itu biasanya malah panik dan khawatir setiap kali terjadi sesuatu dengan putera bungsunya. Tidak jarang kepanikan dan kekhawatiran itu ditunjukkan dengan diiringi derai airmata. Sementara derai air mata adalah musuh terbesar Bastian.

Alih-alih sembuh, penyakit Bastian bisa-bisa makin kambuh kalau ada air mata.

"Kamu nggak kedinginan?" tanya Bastian setelah memerhatikan gaya busana asistennya hari ini. Sang asisten pastilah terlalu terburu-buru datang ke tempat ini hingga lupa dengan gaya busana yang biasa dikenakannya. Daster berkerah rendah seperti itu sama sekali bukan Tessa yang Bastian kenal selama ini.

Sialnya, gaya busana itu malah membuat Bastian jadi bebas memandangi leher jenjang dan tulang selangka Tessa yang seksi. Dengan ekstrak aroma bunga mawar, hasil lulur berjam-jam, pula.

Melirik pada angka yang tertera pada AC, Tessa malah balik bertanya, "Bapak kedinginan? Suhunya 16° Pak. Sesuai dengan standar suhu Bapak selama ini. Apa perlu saya naikkan suhunya?"

Bastian merapatkan matanya kuat-kuat. Mencoba merasakan asal muasal rasa panas yang menjalar di sekujur tubuhnya. "Jangan. Jangan dinaikin. Saya kepanasan."

Kembali membuka mata, Bastian disuguhkan dengan pemandangan leher jenjang dan tulang selangka sang asisten sekali lagi. Kontan membuat tubuhnya kembali terasa terbakar. Demi Tuhan, ini bukan pertama kali Bastian melihat leher jenjang dan tulang selangka lawan jenis, tapi kenapa rasanya melihat milik Tessa ada perasaan yang berbeda?

Oh iya, ini pasti karena efek asam lambung yang naik.

🍁🍁

Makasiiii banget moodboasternya kesayangannnnnn...

Beneran ampuh naikin semangat nulisss, mudah2an abis ini nggak lelet lagi yaa 😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro