BAB - 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


___

Katanya, Arya tidak pantas untuk masuk ke kelas XII IPA 1 yang unggulan itu mengingat nilai-nilainya yang jauh dari kata sempurna. Dia adalah satu di antara 4 pemilik nilai terburuk di bidang IPA seangkatan yang sengaja dimasukkan oleh para guru ke kelas XII IPA 1 yang isinya adalah siswa-siswi terpilih. Tujuan para guru menerapkan sistem ini karena diharapkan Arya bisa berbaur dengan yang lain hingga bisa tertular kepintarannya. Pun dengan siswa-siswi lain yang bisa membantunya untuk lebih meningkat lagi.

Arya lebih banyak main di kelas dan membuat rusuh. Tertidur di bangku paling belakang saat pelajaran berlangsung. Menjawab pertanyaan guru dengan jawaban nyeleneh jika dia tiba-tiba ditanya.

Senin pagi, pelajaran pertama masih berlangsung. Arya izin 5 menit ke toilet dan tak pernah pulang hingga pelajaran berganti. Cowok itu pergi ke warung dekat sekolah dan sebelumnya melewati tembok belakang yang berkawat dengan lihai karena sudah terbiasa. Paling parah hanya ada bekas robekan di kemeja putih sekolahnya karena tak sengaja tertarik kawat berduri itu.

Saat menyeberang jalan, dia harus mencari jalan jauh agar satpam sekolah tidak melihatnya. Jika ketahuan, maka itu bukanlah kali pertama dia kedapatan bolos. Namun, Arya akan selalu berhasil menghilang dari pandangan satpam dan tiba di warung kopi menikmati rokok di sana bersama keenam temannya—jika mereka lengkap. Dia dan sahabat-sahabatnya yang lain akan lengkap berkumpul di warung ini hanya jika pulang sekolah. Mengingat salah satu sahabatnya itu merupakan ketua OSIS. Saat tiba di warung itu, satu-satunya yang tidak terlihat hanyalah Agam, Ketua OSIS sekolahnya yang terakhir Arya lihat sedang fokus dengan pelajaran yang dijelaskan oleh Bu Maya.

Dilihat dari tas hitamnya yang sangat ringan itu seolah tak ada apa-apa di dalamnya, Ghali tak pernah menginjak sekolah sejak pagi. Ada juga Adrian, Harry, Zaky, dan Vino yang menyudut sembari mengisap rokoknya.

"Tumben lo yang paling akhir," ejek Harry.

"Gue nyari waktu yang tepat. Susah banget di sana." Arya menggeleng-geleng. "Anak-anak IPA 1 nggak asyik semua. Rasanya gue pengin pindah kelas, tapi ya udah lah. Kapan lagi masuk kelas itu?"

"Agam juga sama kayak mereka?" tanya Harry lagi.

"Mampus. Nggak usah nanya kayak gimana. Beneran sosok teladan yang sesungguhnya." Arya tertawa. Dia mengambil sebatang rokok yang disodorkan Harry. "Belum tahu aja kelakuannya di luar sekolah."

Zaky baru saja mengambil minum dan langsung memukul kepala belakang Arya. "Ngegibah temen sendiri lo."

"Fakta lapangan, man." Arya mengambil ponselnya di saku, lalu ditatapnya teman-temannya bergantian. "Si Ayam jadi ke sini nggak, sih?"

"Nggak lo tanya emang?" tanya Zaky.

"Mana sempet."

"Paling istirahat baru ada." Ghali beranjak setelah mematikan rokoknya di asbak aluminium di meja itu. Semua langsung menatapnya. "Mau ke kelas."

Adrian menaikkan alisnya. "Tumben?"

"Hem. Duluan." Ghali mengangkat tangannya, lalu pergi dari sana. Namun, langkah sahabatnya itu tiba-tiba terhenti saat seekor makhluk berbulu mengeong di depan kakinya. Ghali menunduk dan mengambil anak kucing yang umurnya sepertinya baru beberapa hari. Anak kucing itu terus mengeong hingga hanya suaranya saja yang mengisi keheningan yang ada. Ghali pergi dari sana sembari membawa anak kucing berwarna hitam putih itu.

Setelah keheningan karena keterpanaan mereka dengan suara kucing yang terdengar imut, Harry yang duduk bersandar di tembok segera buka suara. "Lo masih gangguin si Alya Alya itu, Ar?"

"Yo'i." Arya segera meralat. "Enggak. Enggak. Enggak. Udah beberapa hari ini nggak gue ganggu. Sengaja. Biar kalau gue tiba-tiba muncul dia kaget lagi kayak waktu itu. Lucu soalnya." Arya tersenyum geli.

"Ekspresi lo kayak om-om yang lagi siap-siap ngegodain cewek nggak berdosa lewat di depan lo," kata Harry.

"Dia kan calon om-om genit," tambah Vino dengan cengiran lebar.

"Amit-amit gue disamain." Arya berdiri dari duduknya, mengubah posisi duduk menghadap ke ibu warung. "Kopi yang manisnya kayak Ibu, dong. Satu."

Vino melemparkan bekas rokok yang sudah habis ke arah Arya yang langsung menghindar. "Lo ngegodain cewek nggak pandang bulu. Nggak pandang umur. Heran gue."

"Yang katanya lo panggil 'Sayang' waktu MOS itu?" Zaky menggeleng takjub. "Ya ilah. Nggak kapok juga. Ingat lo punya adik cewek. Karma entar."

"Jangan ngedoain makanya." Arya lalu teralihkan oleh sebuah pesan yang masuk. Setelah membacanya, dia tersenyum miring.

***

Kelas sedang hening saat Bu Sri menjelaskan materi Bahasa Indonesia. Perempuan paruh baya berkacamata itu berjalan di depan meja di barisan pertama dengan gerakan-gerakan luwes, membuat hampir semua murid di kelas itu mengamati dengan saksama. Termasuk Alya yang sedang memutar-mutar pulpen di tangannya dengan tatapan fokus ke apa saja yang Bu Sri jelaskan.

"SAYANG!"

Teriakan itu sudah pasti bukan dari Bu Sri, apalagi dari dalam kelas. Seketika Bu Sri berhenti bicara dan melihat ke jendela yang terbuka. Pintu kelas tertutup rapat, tetapi suara itu jelas terdengar karena jendela yang terbuka.

Alya menutup wajahnya dan menggeleng-geleng setelah mengenali suara itu.

Bu Sri melangkah ke pintu dan membukanya. Tak ada siapa-siapa. Beliau menutupnya lagi dan menatap seisi kelas. "Ada yang dengar tadi teriak, kan?"

"Ada, Bu. Kak Arya, tuh. Paling. Suaranya mirip banget, Bu," kata salah seorang siswi yang duduk tepat di belakang Alya. Alya hanya bisa mengusap wajahnya.

"Ada-ada saja kelakuan." Bu Sri berjalan kembali ke tengah kelas. "Arya yang kelas dua belas itu?"

"Iya, Bu!" teriak hampir semua murid.

Raut wajah Bu Sri berubah jengkel. Alya menggigit bibirnya. Jangan sampai terbawa ke dalam masalah.

"SAYANG!" teriakan itu kembali terdengar, membuat seluruh yang ada di kelas langsung menoleh bersamaan kecuali Alya yang hanya bisa meringis jengkel.

Bu Sri membuka pintu dan sosok yang sejak tadi bersembunyi muncul tepat di depan pintu kelas sembari tersenyum. "Assalamu'alaikum Bu Sri."

"Kamu, ya! Ternyata masih aja buat masalah. Kembali ke kelas kamu sana."

Alya menatap Arya dengan tatapan tak bersahabat. Sementara Arya tersenyum lebar dengan jari kelingking yang mengarah ke bibir dan telunjuk yang mengarah ke telinga. Cowok itu mengedipkan sebelah alisnya yang langsung membuat Alya pusing. Arya kabur sebelum Bu Sri mengomel panjang lebar. Bu Sri masuk ke kelas setelah menutup pintu rapat-rapat.

"Siapa yang anak badung itu panggil Sayang di sini?" tanya Bu Sri. Alya meneguk ludahnya. Bu Sri menatap para siswi. "Sayang. Jantung hatiku. Pacarnya Arya, ya? Hayo siapa ngako!"

"ALYA BUUU!" Tiba-tiba saja, seisi kelas berteriak menuduhnya.

"KOK GUE!" Alya melambai-lambaikan tangannya. "Bukan, Bu! Kalian ini sama aja nyebelinnya," kata Alya tak terima sembari menatap teman-temannya yang terus bersorak, terutama Saphira yang bertepuk tangan dengan girang. Alya menoleh ke belakangnya dan mengangkat tinjunya kepada teman-temannya secara diam-diam agar Bu Sri tak melihat.

***

Baru kali ini, keluar dari kelas terasa horor bagi Alya. Bayang-bayang wajah Arya terus mengganggu pikirannya. Dari sekian banyak siswi di sekolah ini, kenapa harus dia yang menjadi sasaran cowok itu? Alya tidak mengenal Arya sebelumnya. Pertemuan pertama mereka bahkan saat Arya memanggilnya Sayang saat MOS. Jadi, untuk apa Arya masih terus muncul di depannya?

Atau karena permen karet itu makanya Arya semakin balas dendam?

Atau karena dia telah mengejek Arya kecoa dan membuat Arya semakin getol mengusilinya?

Alya meremas rambutnya saat berjalan di tengah-tengah koridor. Sesekali matanya melirik sekeliling untuk waspada.

"Tahu nggak Kak Agam KETOS sekolah kita? Denger-denger, dia baru aja deket sama temen kelas kita yang namanya Diba."

Alya menoleh ke belakangnya dan terkejut melihat Saphira ternyata mengikutinya ke toilet. "Ngapain lo ngikutin gue?"

"Biar barengan ke kantin nanti," kata Saphira pendek. Alya masuk ke bilik toilet dan hanya duduk merenung di dalam sana untuk menenangkan pikirannya. Dia menumpukan sikunya ke lutut dan bertopang dagu. Saatnya menyiapkan diri jika nanti harus berhadapan dengan si monyet lagi, batinnya.

"Terus, Kak Agam dan Kak Arya tuh CS-an. Temennya Kak Arya banyak dan ganteng-ganteng. Pengin deh salah satunya. Kalau Kak Agam udah ada pacar, pengin cowok yang paling cool satunya lagi, deh." Ucapan Saphira di luar bilik diakhiri dengan cekikikan. Alya memutar bola matanya malas.

"Lo nggak lihat apa? Semuanya kelihatan playboy," kata Alya, sedikit berbohong karena dia sama sekali tidak tahu bagaimana wajah teman-teman Arya yang lain selain Agam karena Agam selalu muncul saat MOS.

"Gimana, ya...." Saphira menggantungkan kalimatnya. "Ganteng, sih."

"Lagi ngegosipin apa, nih, adik kelas?"

Alya diam saat mendengar suara langkah sepatu yang terdengar lebih dari satu. Saphira juga tidak mengatakan apa-apa di luar sana. Alya berdiri dan keluar dari bilik toilet. Dilihatnya tiga senior cewek yang sedang berkaca di cermin merapikan dandanan. Saphira berdiri di dekat dinding dengan senyuman tegang.

"Ayo, Phir." Alya mengulurkan tangannya yang segera digapai oleh Saphira. Tatapan Alya tertuju ke cermin dan bertatapan dengan salah seorang senior secara tak sengaja. Alya menarik Saphira untuk segera keluar sebelum sesuatu hal yang tidak dia inginkan terjadi.

"Itu tuh yang namanya Sayang."

Meski Alya sudah keluar dari sana, tetapi suara senior cewek itu masih terdengar jelas dan Alya tak perlu bertanya-tanya siapa yang seniornya itu maksud.

"Kayaknya lo jadi terkenal, deh, gara-gara Kak Arya."

Alya melepaskan tangannya dari Saphira, lalu berdecak.

"Lihat kakak-kakak yang tadi nggak? Modis banget! Nanti kalau gue jadi senior, pengin kayak gitu juga, deh." Saphira bicara menggebu-gebu. "Gue yakin, nih, pasti mereka tuh cewek-cewek populer di sekolah!"

Alya memasuki kantin dan berusaha tidak melihat sekelilingnya. Dia masa bodo. Yang terpenting sekarang adalah mengisi perutnya yang kosong itu dengan somay atau gorengan. Setelah duduk di tempat yang nyaman bersama Saphira di hadapannya, Saphira tiba-tiba berseru.

"Alya, Kak Arya tuh!" bisik Saphira sembari melirik meja berisi Arya dan teman-temannya.

"Pasrah, deh, gue. Perut gue udah lapar banget," kata Alya, lalu menggigit satu somay. Matanya sibuk mencari keberadaan cowok itu dan melihat Arya berada di antara meja yang di kelilingi oleh beberapa senior cowok lain. Arya sedang tertawa lepas, entah menertawakan apa. Cowok itu menoleh dan mata mereka bertemu. Alya langsung mengalihkan pandangan dengan terkejut.

Alya pikir, Arya akan mendatanginya. Kemudian mengganggunya lagi seperti hari-hari kemarin. Nyatanya, cowok itu tak pernah berpindah dari tempatnya duduk. Arya juga sudah asyik mengobrol dengan teman-temannya yang lain. Lalu, seorang siswi tiba-tiba datang mendekati Arya. Alya sedikit terkejut karena siswi itu adalah siswi yang di toilet tadi.

Alya jadi bertanya-tanya, apakah siswi itu adalah pacar Arya?

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro