BAB - 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Di pos satpam itu, ada beberapa siswa yang sedang duduk mengobrol dengan satpam. Sebelum bel masuk berbunyi, Arya dan teman-temannya terkadang berkumpul di sana seperti apa yang mereka lakukan sekarang. Pak Satpam sedang mengelus jenggot halusnya sembari menatap catur sementara Vino sejak tadi memasang mimik yang sangat serius. Hanya ada Arya, Harry, Zaky, dan juga Vino tak lupa Pak Satpam di sana. Adrian belum datang. Agam sedang menjadi anak teladan; melaksanakan tugas piket. Sementara Ghali entah di mana sekarang. Sahabatnya yang satu itu paling susah dideteksi keberadaannya.

Harry menepuk bahu Arya dan saat Arya menatapnya, dia menggerakkan dagunya ke depan gerbang. "Alya, tuh."

Arya sudah semangat 45 saat mendengar satu nama itu. Yang terlintas di benaknya pertama kali adalah ingin mengerjai Alya lagi. Namun, senyum iblisnya hilang saat dilihatnya cowok yang mengantar Alya.

Zaky geleng-geleng, prihatin. Dia menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu. "Ya, dia udah punya cowok, Bro. Sabar. Sabar. Masih banyak stok cewek di sekolah."

"Siapa juga yang mau jadiin dia pacar? Cuma pengin gue isengin doang," balas Arya kemudian dia mendekati gerbang untuk menguping.

"Alah. Alesan mulu," balas Harry tak percaya.

"Iya, nih. Ujung-ujungnya pasti anak orang dimodusin lagi," tambah Zaky yang langsung dibalas kekehan oleh Arya.

Motor besar itu berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Alya turun dengan meloncat. Baru akan berbalik, ranselnya tiba-tiba ditarik dari belakang oleh cowok tua itu. Arya menyebutnya cowok tua karena dari parasnya saja tak mungkin cowok itu masih SMA atau awal kuliah. Intinya, umur cowok itu pasti jauh di atasnya.

Cowok yang bersama Alya itu mengulurkan tangannya satu senti meter di depan wajah Alya yang langsung ditepis oleh Alya.

"Cium tangan Papa dulu," kata cowok itu.

Arya hampir menyemburkan tawa. Mama Papa, hem? batinnya.

"Udah sana. Jangan lupa kuliah yang rajin biar cepet sarjana," kata Alya.

Cowok itu mengarahkan tangannya ke dahi, memberi gesture hormat. "Siap, Bos."

"Apa sih. Sana. Sana." Tangan Alya bergerak mengusir. Cowok itu menutup kaca helmnya, kemudian melajukan motor langsung dengan kecepatan tinggi tanpa waspada dengan kendaraan-kendaraan yang lalu lalang.

Alya memutar tubuh dan wajahnya langsung kaku saat melihat Arya berdiri di dekat gerbang. Arya memberi senyum sebagai salam pertemuan hari ini. Namun, balasan yang diterima Arya adalah diabaikan. Alya membuang muka, langsung berjalan begitu saja melewatinya.

Alya mengucapkan kata sabar berkali-kali saat tiba-tiba saja Arya berjalan mundur di hadapannya.

"Tadi siapa?" tanya Arya dengan muka serius. Alya membalasnya dengan tatapan galak. Tak ada satu pun kata yang keluar dari bibir Alya, membuat Arya justru semakin getol untuk mengeluarkan kata-kata yang bisa memancing Alya mengamuk.

Arya berjalan tepat di samping Alya. Alya tak menggubrisnya, sejak tadi memasang muka tembok. Arya dengan sigap merentangkan tangannya di depan Alya dan tak memberi jalan sedikit pun kepadanya.

"Minggir!" seru Alya. Dia mencari celah di sisi lain, tetapi Arya selalu menghalau ke mana pun Alya bergerak.

Alya menatap cowok itu sambil menghela napas.

"Pacar lo, ya?" tebak Arya sambil menaikkan alis.

Alya agak kaget. Apakah Rully lebih terlihat seperti pacar dibanding kakak? Alya malas untuk mengklarifikasi hal itu. Jadi, dia lebih memilih untuk menyuruh Arya menyingkir.

"Minggir nggak?"

"Sukanya sama cowok yang lebih tua, ya?"

"Minggir gue bilang."

"Pakai panggilan sayang segala. Mama Papa," ejek Arya, lalu tertawa. "Kenapa nggak Ayah Bunda aja?"

"Iih! Geli tahu."

Arya menahan tawanya. Dia menjatuhkan lengannya kembali. "Geli? Tapi panggilan sayang kalian Mama Papa?"

"Ya, terserah gue, dong." Alya menyipitkan mata. "Mau Mama Papa. Ayah Bunda. Kakek Nenek sekalian. Emang urusannya sama lo apa?"

"Hem...." Arya mengernyit, pura-pura berpikir. "Gimana, ya?"

Alya bersedekap. Arya ikut bersedekap. Mereka saling tatap dengan tatapan saling menantang.

"Lo masih bales dendam soal permen karet itu? Kan gue udah dihukum. Soal ngatain lo kecoa dan ngebohongin lo? Salah lo main narik-narik segala disaat gue masih harus di lapangan bareng temen-temen gue. Terus, kenapa lo masih aja balas dendam nggak ada habisnya?" Alya mengatur napasnya yang pendek-pendek.

"Gue kan udah bilang, urusan kita nggak akan berhenti sampai kapan pun."

"Siapa sih yang lebih dulu berurusan sama gue?" tanya Alya, semakin gemas melihat Arya yang tak peduli dengan segala ucapannya. "Dengerin gue!"

Arya menunduk patuh. "Iya, kanjeng ratu," kata Arya dengan nada mengejek. Rambutnya langsung dijambak. "Njir sadis." Arya menegakkan tubuh dan mengusap kepalanya sambil menyipitkan mata.

Alya berdecak sebal. "Oke, kalau itu mau lo."

"Padahal gue nggak pernah ngomong mau gue apa?" tanya Arya sok bingung.

"Sabar, Alya. Sabar." Alya menunduk. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar, lalu ditatapnya Arya dengan muka judes. "Maksud gue, terserah lo mau ngapain aja."

"Serius, nih?"

"Terserah. Terserah. Terserah!" seru Alya kesal. Dia mendorong kencang bahu Arya kemudian berusaha kabur dari hadapan Arya.

"Kalau gitu...." Arya menjuntaikan satu kakinya di depan kaki Alya dengan sengaja dan saat Alya hampir mencium lantai Arya langsung menahan tubuh cewek itu refleks. Spontan. Sama spontannya seperti saat dia tak memikirkan dampak buruk yang akan terjadi jika Alya benar-benar mencium lantai. Pasti sakit.

"Eh, sori yang barusan gue nggak ngotak," ucap Arya serius.

Sepersekian detik Alya bengong. Arya masih memegang perutnya dan saat sadar dengan apa yang terjadi, Alya berteriak. "HUAAA!" Dia bangun dan mendorong Arya. Cewek itu membuka sepatunya, lalu menghantamkannya ke kepala Arya dengan membabi buta.

"Aduduh, aduh. Aw. Ampun, Sayang." Arya sampai berjongkok menahan serangan yang entah kenapa tak bisa dia tahan. Alya terlalu emosi.

"Ih, sengaja ya lo? Nyari kesempatan, ya? Kalau lo salah pegang gimana?" Alya masih memukul kepala Arya dengan sepatunya.

"Woi, udah. Rambut ganteng gue lo rusakin!" Teriakan Arya berhasil menghentikan Alya.

"Tahu rasa lo. Semoga tadi gue injek tai kucing biar rambut ganteng lo makin ganteng plus wangi." Alya kemudian meninggalkan tempat itu, memakai sepatu sambil melangkah.

***

Disaat guru sedang menjelaskan materi biologi, Arya malah sedang mengisengi rambut seorang yang duduk di bangku depannya.

"Bu! Arya daritadi nggak dengerin Bu Dini ngomong!" teriak siswi itu kesal.

Arya langsung mengangkat kedua tangannya seperti sedang ditodongkan pistol saat tatapan Bu Dini mengarah tajam ke arahnya.

"Buat ulah lagi ya kamu?" tanya Bu Dini marah. Arya menggeleng. Bu Dini tampak pasrah kemudian melanjutkan bicaranya. "Biji melakukan imbibisi atau penyerapan air sampai ukuran bijinya bertambah dan menjadi lunak. Nanti—"

"Biji lembek karena nyerap air, ya, Bu?" potong Arya, membuat sebagian yang paham maksud dari isi otak Arya langsung menahan tawa.

Bu Dini tampak geram. "Biji tumbuhan, ya. Bukan biji kamu."

Suara tawa terdengar di kelas itu. Bu Dini langsung memolototi seisi kelas. Semuanya langsung diam. Arya cuma menyengir. Bu Dini berjalan ke arahnya dan menarik ujung rambut dekat telinganya dengan kuat, Arya langsung mengaduh kesakitan. Saat tarikan Bu Dini semakin keras, Arya refleks ikut berdiri dari duduknya.

"An—"Arya hampir mengeluarkan kata kasar karena terlalu sakit jika saja dia tidak memperingati siapa yang sedang dia hadapi. "Ampun, Bu."

"Kamu. Nggak bosen apa dihukum terus!" Bu Dini semakin menjewer telinga Arya, membuat Arya semakin meringis.

"Silakan keluar dari kelas. Berdiri dan hormat di depan tiang bendera sampai pelajaran saya selesai."

***

Bu Sri memulai pelajaran dengan menjelaskan beberapa poin pada materi yang sudah dibahas pekan lalu. Setelah itu, siswa-siswi kelas X-3 dipersilakan untuk membuat kelompok dan agar lebih mudah, terdapat empat orang dalam satu kelompok di mana meja pertama akan di satukan dengan meja di belakangnya. Begitu pun selanjutnya. Lia dan Diba, dua orang yang ada di depan Alya, segera mengatur meja.

Sekarang bukan hanya Saphira lagi yang mengganggu telinganya, melainkan bertambah dua orang. Alya hanya bisa menghela napas panjang. Pasalnya, bukannya mengamati apa yang Bu Sri katakan, mereka bertiga justru bergosip. Apalagi kalau tidak jauh-jauh dari persoalan cowok?

"Gue nggak nyangka lo beneran pacaran sama Kak Agam!" bisik Saphira tertahan. Mulutnya langsung dibekap oleh Diba.

"Lagi di kelas," kata Diba kesal.

Alya memutar bola matanya sembari bertopang dagu.

"Terus, terus. Aaa gue kepo banget soal ini." Saphira memperbaiki duduknya dengan antusias. "Katanya waktu lo pingsan, ada Kak Agam dan Kak Ghali di situ? Serius dua cogan itu berebut buat bawa lo ke UKS?" bisik Saphira.

"Hush. Udah, ih. Kok jadi bahas gue, sih?" Diba melirik Alya. "Mending bahas Alya. Gue jadi kepo, deh. Kayaknya Alya dan Arya deket, tuh. Kalian berdua ada sesuatu, ya?"

Alya melotot kaget. "HEH. Enak aja. Ngapain juga gue ada sesuatu sama si monyet?"

"Dih, udah ada panggilan kesayangan. Si monyet dan Sayang." Lia tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.

"Ini gadis-gadis di depan berempat lagi bahas apa?" tanya Bu Sri halus. Alya dan yang lain langsung terdiam kaku. Lia menggeleng-geleng sembari manahan bibirnya.

"Lia dan Alya," panggil Bu Sri.

Wajah Alya dan Lia langsung tegang.

"Kalian berdua ke ruang guru. Bawa buku-buku di meja itu ke meja saya, ya," lanjut Bu Sri sambil menunjuk meja guru.

Alya dan Lia saling pandang. Kemudian dua siswi itu langsung beranjak ke meja untuk mengambil tumpukan buku milik siswa-siswi di kelasnya. Mereka keluar dari kelas itu dan Alya langsung menghela napas panjang.

"Kayaknya kita berdua lagi dikasih pelajaran," kata Alya. "Gara-gara ngobrol tuh. Lo bertiga, sih."

"Ya, habisnya pembahasannya seru, sih. Diba udah sering ngomong soal Kak Agam atau Kak Ghali yang muncul di hidupnya." Lia menoleh ke arah Alya. "Membuat gue tersadar, sepertinya hidup gue akan berpusat mendengar curhatan temen soal cowok. Dan itu seru banget! Gue nge-fans kan sama Kak Ari—"

"Ari siapa?" potong Alya.

Lia mengernyit. "Selebgram masa lo nggak tahu?"

Alya hanya mengangkat bahunya.

"Nah, gue kadang mikir andaikan Kak Agam dan enam temennya tuh aktif di IG, gue yakin mereka bisa jadi selebgram terkenal dan bukan cuma satu sekolahan yang kenal mereka, tapi satu Indonesia!"

Alya mendengkus. "Terus hubungan lo ngomong ke gue tuh apa?"

Lia tampak kikuk. Nih orang to the point amat, sih, batin Lia. "Ya nggak ada, sih. Gue cuma ngomongin apa yang ada di kepala gue. Oh, iya! Gue inget. Ngomong-ngomong, gimana ceritanya lo bisa deket sama Kak Arya?"

"Ya, mana gue tahu. Tanya orangnya." Andaikan kedua tangan Alya tidak sedang memegang tumpukan buku, sudah dari tadi dia meremas rambutnya. Kepalanya terasa berdenyut.

"Gue kesel banget sama dia. Demi apa pun!" Alya tiba-tiba bicara menggebu-gebu. "Nggak ada angin. Nggak ada hujan. Tuh orang suka banget iseng. Kenal aja enggak. Dia siapa, sih???!"

Lia terkekeh. "Cie, curhaaat."

Alya memutar bola matanya, lalu menghela napas. Keduanya berjalan di sepanjang koridor menuju ruang guru. Setelah Alya berhenti bicara, Lia yang mendominasi percakapan di antara mereka berdua. Di tengah-tengah perjalanan itu, langkah Alya memelan saat dilihatnya seseorang yang sedang berdiri di depan tiang bendera.

Hal yang paling membuat Alya menatap cowok itu adalah karena di waktu yang sama mata mereka bertemu pandang.

"Astaga panjang umur," kata Lia refleks.

"Lihat aja. Bentar lagi kecoa itu bikin ulah." Tepat saat Alya menyelesaikan ucapannya, Arya memanggil-manggil Alya dengan panggilan sayang.

"SAYANG!"

"Seratus buat lo!" seru Lia, hampir saja bertepuk tangan jika tidak ingat ada tumpukan buku di tangannya.

"Sayang, ngapain capek-capek bawa buku? Mau gue bantuin nggak?" tanya Arya, lalu tertawa. "Sayang kok nggak nengok ke sini lagi, sih? Tadi, kan, udah tatap-tatapan."

Alya menghela napas panjang. Sementara Lia hanya bisa menahan tawa. "Kak Arya lucu, ya."

"Lucu nenek moyang lo," balas Alya gemas. Telinganya semakin terasa panas saat teriakan sayang itu terus mengganggunya.

"Oh, iya. Pukulan sepatu lo ngangenin, deh. Jadi mau lagi," kata Arya, suaranya masih terdengar jelas meski dia tidak berteriak. Alya melirik Alya. Cowok itu memonyong-monyongkan bibirnya, membuat Alya kesal setengah mati dan rasanya ingin menampar bibir itu dengan buku di tangannya. "SAYANG GUE KANGEN, NIH! MINTA CIUM. MUMUMU."

"AAA NYEBELIN!" Alya menaruh buku-buku dari tangannya ke atas tumpukan buku yang Lia pegang. Dia mengambil satu buku dan membawanya pergi. Dia berjalan ke arah Arya sembari menghentak-hentakkan sepatunya.

Saat dia berhenti di depan Arya, Arya tersenyum sembari membuka satu matanya yang tadi tertutup. "Hai. Kangen, ya?"

"Kangen mata lo!" teriak Alya.

Arya memundurkan kepalanya dan menjauhkan tangannya dari dahi. "Gerimis, Yang."

Alya menggulung buku yang diambilnya secara random tadi, lalu memukulnya ke lengan Arya. "Mau lo apa, sih?"

"Lo nggak inget, ya? Tadi pagi lo bilang ke gue buat terserah gue mau ngapain lo." Arya tersenyum manis. "Padahal gue udah nggak mau ganggu lo, tapi yah...."

"Gue nggak bilang gitu juga lo tetep nyebelin." Alya menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar. "Coba kasih gue alasan kenapa lo ngeselin?"

"Kata adik gue, sih, karena udah dari sononya." Perkataan Arya langsung dibalas dengan pukulan buku di lengannya. "Aduh, enak."

"ARGGGH! NYEBELIN." Alya meremas rambutnya, lalu pergi dari sana.

"Yang, cium perpisahannya mana?" tanya Arya.

Alya berbalik dan kembali berdiri di hadapan Arya. "Apa? Mau cium perpisahan?" tanya Alya galak.

Arya menaikan satu alisnya kemudian memonyongkan bibir. Bibirnya langsung dipukul keras dengan gulungan buku.

"Nah, udah," kata Alya datar, lalu dia menjauh dari sana.

Bukannya meringis sakit atau mengaduh, Arya justru terbahak-bahak sampai memegang perutnya.

Alya tiba di depan Lia dan langsung mengambil setengah buku di tangan Lia. "Ingetin gue buat nggak lewat jalan ini kalau kita balik ke kelas," kata Alya sambil berjalan lebih dulu.

Lia tertawa. "Kan jalannya cuma ini."

"Bodo amat. Kita terbang. Teleportasi aja sekalian," balas Alya saking kesalnya. "Yang penting nggak ketemu sama orang gila tadi."

Lia semakin tertawa.

***

MENURUT kalian, Arya itu...

thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro