Amplop Aneh dari Kulit Kayu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku terbangun. Belulangku sakit semua. Aku rasa ada beberapa yang patah--terutama tulang ekorku, tapi anehnya aku masih bisa duduk dengan benar. Ada memar biru di siku dan tengkukku.

Hal pertama yang kulihat saat aku bangun adalah langit. Aku belum pernah melihat langit seperti ini, bahkan ketika Nyonya penjaga mengajak kami berpergian ke kota tetangga untuk membeli kain beludru.Terlalu cerah untuk dikatakan sebagai langit malam hari, terlalu polos untuk dikatakan sebagai langit musim gugur--cuaca di kaki gunung akhir-akhir ini berawan, terutama di empat bulan terakhir sebelum menutup tahun.

Aku mendongak sedang satu tanganku meraba tanah yang kududuki. Ada yang salah dengan tempat ini selain langitnya yang abnormal itu. Tanah di bawahku tidak berlumpur, lembap, dan basah.

Kering. Tanah di sini kering dan berumput hijau-kuning.

Kepalaku pusing dan aku tidak bisa berpikir jernih. Tapi, yang aku tahu, aku tidak mungkin pingsan di hutan dalam waktu yang sangat lama hingga tanahnya berubah, langitnya berganti, dan pohon-pohonnya hilang semua.

Aku terbangun di tempat yang tidak seharusnya!

Oh, Tuhan, apakah sekarang aku berada di surga? Aku akan sangat tersanjung jika aku mati dan diangkat menuju tempat penuh permen kapas dan gula-gula itu.

Walau aku tidak banyak membantu di panti, selalu mencuri cicip adonan kue kering di dapur, dan mati dalam keadaan melarikan diri dari panti, aku akan pura-pura tidak terkejut asalkan aku bisa masuk ke dalam surga.

Aku baru saja ingin melompat bahagia sebelum perkataan Nyonya penjaga di salah satu malam mengganggu pikiranku.

Nyonya penjaga pernah mengatakan bahwa setiap orang yang masuk ke surga akan diangkat semua rasa sakitnya tapi kenapa ... kepalaku masih pusing? Memar di siku dan bagian badanku yang lainnya juga belum hilang.

Apakah ini artinya aku belum masuk surga?

Setelah dipikir-pikir, sepertinya tempat ini memang bukan surga. Seingatku, Nyonya penjaga tidak pernah mengatakan bahwa di depan surga ada gerbang besi berkarat setinggi sepuluh kaki terpancang dengan posisi ganjil.

"Selamat datang di Scallian!"

Suara apa ... itu?

"Di sini, kami memiliki beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para pelancong--atau penyintas yang memasuki kota ini. Kota ini bukan milikmu atau nenek moyangmu. Jadi, jangan terlalu penasaran mengenai seluk beluk kota ini ...."

"Kami menganjurkan agar bisa memberi satu atau dua patah basa-basi saat berpapasan jalan dengan para penjaga gerbang. Siapa tahu suasana hati mereka bisa berubah setelah hancur lebur sejak seribu tahun yang lalu. Perhatikan langkahmu! Tapi yang lebih penting, perhatikan juga kepalamu! Burung-burung peliharaan Nona Griffith terkenal rakus dan haus akan darah para pendatang. Jangan terlalu sering mengunjungi kediaman wanita tua itu jika tidak mau berurusan dengan peliharaan-peliharaan miliknya."

Mataku kunang-kunang. Aku tidak bisa berpikir jernih dan aku merasakan ketakutan terhadap hal yang tidak pasti--perasaan ini sama ketika aku mendengar bahwa Pak Robert aneh dari pusat kota yang selalu membeli benih bunga poppy merah dari panti ketika musim semi diberitakan akan mendapat giliran hukuman penggal. Tuduhannya menyembunyikan istrinya yang dituding sebagai ahli sihir. Setelah diusut, ternyata istrinya saja sudah mati tiga tahun yang lalu.

"Jangan berlari sambil berteriak di pusat kota! Para ogre dan pedagang gelap bawah kota tidak menyukai hal tersebut. Kami hanya menerima koin Scallian yang berasal dari sisik naga sebagai alat pembayaran di kota ini. Ah, tapi kau juga bisa menukarkan jiwamu jika memang terpaksa. Pria-pria yang berada di kawasan pertokoan roh akan menerimamu dengan senang hati di sana ...."

"Peraturan baru akan menyusul jika kau memutuskan untuk menetap lebih lama di kota ini. Tapi sebelumnya, selamat bersenang-senang!"

Suara itu berhenti. Ia jelas sudah menyelesaikan beberapa baris kata sambutannya yang terlihat lebih seperti ancaman itu. Ada jeda cukup lama sebelum suara itu tertawa tanpa sebab seperti para tukang jagal di pusat kota setelah menegak tiga botol alkohol.

Aku pernah mendengar selentingan-selentingan tentang dunia-dunia seperti ini.

Sudah banyak orang yang bercerita tentang dunia bawah tanah, kota dalam air, maupun kerajaan yang terapung di antara awan menggulung sore hari dengan jenis peliharaan terbanyak dari para penduduknya adalah gajah bersayap elang seukuran Rudolf. Kisah-kisah itu bahkan sudah sering dituliskan dalam berbagai literatur, diceritakan secara turun temurun, bahkan hingga menjadi legenda dan cerita-cerita lama yang sering diceritakan sebagai dongeng pengantar tidur.

Aku jelas meragukan ini--dan segala ucapan suara tak bernama itu dari awal. Tapi, bagaimana pun juga, aku pikir lebih baik untuk tidak membantah. Aku masih belum tahu ini tempat apa dan jika aku menimbulkan lebih banyak masalah di kunjungan pertamaku, aku ragu apakah aku masih bisa kembali ke panti hidup-hidup.

Aku masih berada dalam posisi duduk dan menatap kosong ke gerbang besar yang ada jauh di depanku. Aku tidak memikirkan lagi bagaimana penampilanku saat ini--besar kemungkinan aku terlihat seperti orang yang baru saja dipukuli, memar biru di banyak bagian, dengan memakai baju lusuh seperti potongan kulit tikus tua.

"Kau masih hidup, bukan?" komentar suara itu kepadaku--aku tidak bisa menyimpulkan apakah suara itu benar-benar merujuk ucapannya kepadaku, tapi hanya aku seorang yang ada di tempat ini.

Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Hatiku berdentang-dentang seperti karet besar yang dilintingkan. Suara itu berat dan aku takut kalau-kalau ia adalah salah satu dari tujuh setan besar, atau yang lebih parahnya lagi, salah satu dari sekian banyak malaikat pencabut nyawa seperti yang sering Nyonya penjaga ceritakan.

Bukannya menjawab, aku malah diam saja. Suara tanpa raga itu nampaknya kesal karena tidak kugubris. Ia menanyakan pertanyaan yang sama untuk yang kedua kalinya dan kali ini, aku menjawabnya dengan anggukan kepala.

Di sebelahku, tepat di atas rumput berbentuk seperti jarum, tergeletak sebuah surat tidak lazim setelah aku menjawab dua buah pertanyaan dari suara tadi--yang sebenarnya hanya satu pertanyaan.

Aku mengangkatnya. Amplopnya tebal dan berat, terbuat dari kulit kayu muda sebagai pengganti kertas. Di depannya, tertulis nama lengkapku, ditulis dengan tinta berwarna emas dan berlekuk-lekuk--aku sempat kebingungan membacanya. Mungkin si penulis surat adalah salah satu seniman yang selalu melebih-lebihkan segala tindak-tanduk kehidupannya, bahkan dalam urusan tulisan tangan sekali pun.

Aku membalik amplop itu dengan tangan gemetaran. Di sana, ada segel emas bertuliskan huruf S besar dengan satu naga utuh yang melingkarinya.

Tidak ada seorang pun dalam hidupku yang pernah menulis surat kepadaku. Lagipula, siapa yang akan menyuratiku? Aku tidak memiliki teman, keluarga, atau pun kerabat selain anak-anak panti dan Nyonya penjaga. Aku juga tidak pernah membuat janji dengan orang-orang yang ada di kota, menjadi anggota perpustakaan, atau menjadi anak dari pelayar yang menghabiskan setengah waktu hidupnya di atas kapal laut.

Wajahku yang awalnya merah seperti jubah kebanggaan Napoleon berubah menjadi hijau dengan cepat setelah membaca isi surat itu.

Aku ditawan.

Tbc.

Note: Gak tau kenapa di chapter ini susah banget mikirin kata-katanya:') Tapi ya, semoga aja masih bisa diterima:')

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro