Pohon Oak Inggris

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Asal cahaya itu dari salah satu batang pohon oak inggris jantan yang batangnya sebagian sudah rapuh digerogoti kawanan rayap hutan. Cahaya itu menggantung di bawah kanopi merah-jingga yang entah bagaimana masih bisa bertahan di akhir bulan November.

Nyonya penjaga sepertinya sudah semakin dekat dan tidak ada pilihan lain selain memanjat pohon berlingkar tahun itu. Seruling itu juga ada di sana dan aku rasa, wanita itu tidak akan menyadari batang hidungku jika aku memanjat ke atas sana.

Aku melompati kumpulan semak mulberry yang berjajar seperti serdadu berkaki pendek dan menginjak beberapa daun kering--yang agaknya kurang pas jika tetap disebut kering mengingat betapa layunya benda kuning kemerahan itu setelah dibasahi air hujan.

Dengan susah payah aku mulai mencengkeram batang pohon oak di depanku. Berkerut kasar, coklat tua, dan menggembung. Aku tidak akan sangat terkejut jika ada hewan lain yang menjadikan pohon ini sebagai kediaman mereka. Aku terus memanjat, memegangi ranting demi ranting hingga akhirnya aku mencapai ketinggian yang aku inginkan--atau setidaknya bisa lolos dari penglihatan Nyonya penjaga.

Setelah dipikir-pikir, pohon yang kupanjat adalah salah satu pohon tertinggi yang ada di hutan ini--dan juga yang tertua. Nyonya penjaga pernah mengatakan bahwa usia pohon ini dua kali usia panti. Entah dari mana ia bisa mendapatkan informasi tersebut, namun aku tidak keberatan untuk mendengarkan kisahnya dibandingkan jika harus membersihkan gedung utama.

Aku tidak tahu mengapa seruling ini berada di pohon ini. Tadi siang, aku menemukannya tergeletak begitu saja di lantai hutan. Sekarang, seruling terkutuk itu malah berada di atas pohon oak inggris tertua yang daunnya basah dijatuhi air hujan.

Tak apalah, yang penting aku bisa sekalian bersembunyi di sini. Langkah kaki Nyonya penjaga yang menginjak tanah hutan berlumpur terdengar kian dekat. Aku menarik kaki yang sebelumnya kubiarkan menjulur dari salah satu cabang dan memeluknya.

Tidak lucu jika aku tertangkap hanya karena sepasang kaki yang menggantung di atas cabang pohon.

Aku menahan napasku ketika wanita itu berada tepat di depanku, di area luar semak-semak yang masih memiliki jalur kecil untuk para pemburu. Wanita Kaukasia itu menoleh ke segala arah dan berakhir kesal karena tidak menemukanku.

Kurasa, karena kekesalannya sudah berada di ambang batas, ia memutuskan untuk kembali ke panti--atau memeriksa jalur kiri yang belum ia jamah. Entahlah. Tapi yang pasti, sekarang aku sudah aman karena siluetnya sudah menghilang ditelan rapatan pepohonan heterogen.

Akhirnya aku bisa bernapas lega. Syukurlah. Aku mencuri pandang ke tempat di mana seruling biru tadi berada. Kalau-kalau seruling itu menghilang lagi secara ajaib seperti tadi siang, aku tidak tahu lagi apa yang akan aku lakukan keesokan harinya.

Tidak perlu menunggu besok. Malam ini saja aku mungkin sudah menjatuhkan diri ke dalam ceruk pemburu dan bergabung bersama besi tua berkarat, belulang, dan serangga-serangga menjijikan--mayoritasnya cacing dan belatung. Ada juga tikus tanah, tapi tidak dihitung sebagai serangga.

Untunglah, benda tidak lazim itu masih ada di sana. Aku memungutnya dan mengamati bentuk benda itu.

Seruling ini terbuat dari kayu. Sudah jelas jika melihat betapa entengnya benda ini. Ada ukiran bercorak ganjil di sana--sepertinya itu ukiran kepala naga dan ada lekukan-lekukan aneh yang mengelilinginya, seperti awan yang bergumul di atas gumuk pasir.

Sebenarnya tidak ada yang aneh dari seruling ini. Aku pernah melihat ukiran yang lebih menggelikan daripada itu--para pemahat takhta kerajaan membuktikan kinerja mereka dengan membuat ukiran orang-orang yang sedang menari mengelilingi kepala babi hutan bertanduk tiga di dekat api unggun. Serius, ukiran itu konyol sekali hingga membuat kelompok tukang kayu itu terancam kehilangan kepala mereka jika saja raja bodoh dan gila harta itu tidak percaya dengan dalih mereka yang menghubung-hubungkan dengan 'tradisi'.

Tapi, yang pasti, aku baru menemukan seruling ini sebuah yang bisa memancarkan cahaya seperti perhiasan mutiara para istri bangsawan Britania yang berkilauan di bawah sinar matahari.

Aku sudah memutar, memperhatikan segala sisi, meraba, hingga meneropong melalui keenam lubang yang ada di seruling tersebut. Nihil, aku tidak menemukan saklar atau pemicu apa pun yang bisa membuat cahaya biru dari seruling ini menghilang.

Jadi ... ya, begitulah.

Suara seruling ini masih terus berputar di telingaku. Tidak ada tanda-tanda bahwa seruling ini akan berhenti memainkan senandung sialan yang mengganggu waktu tidurku sejak kemarin malam. Apa yang harus kulakukan?

Aku belum bisa kembali ke panti saat ini. Nyonya penjaga pasti akan menyambutku dengan senyuman sedingin badai salju di bulan Desember--bukan apa-apa, tapi aku yakin sekali bahwa wanita bertulang wajah pirus itu pasti akan berdiri di daun pintu gedung utama dengan penggiling roti di tangan kanan dan sendok kayu yang biasa digunakannya untuk membuat salad sayur di tangan yang satunya.

Aku akan menjadi adonan roti gandum jika pulang ke panti saat ini. Aku harus tetap bersembunyi di gugusan pepohonan ini--yang sebenarnya terlihat seperti kumpulan orang Irlandia di perayaan topi hijau dari atas tempat ini.

Setetes air hujan jatuh tepat di hidungku. Bajuku sudah basah. Celanaku juga. Aku kedinginan dan mendapat penyesalan ganda.

Pertama, aku menyesal karena sudah keluar dari gedung panti. Bukannya tidur, aku malah berkeliaran di tengah hutan seperti orang gila.

Dan yang kedua, aku menyesal karena sudah percaya bahwa dengan menemukan seruling ini, maka suara yang sama mengganggunya seperti teriakan siren itu akan menghilang. Nyatanya aku salah dan aku terancam tidak akan bisa menikmati paha kalkun bakar yang biasa dikirimkan oleh Paman Edward dari peternakan di malam Natal.

Terkutuklah seruling ini dengan segala keanehannya!

Di sini dingin sekali. Aku menggigil. Menggosok-gosok tangan tidak menimbulkan impak besar untuk menghilangkan aura beku ini--jujur, aku tidak tahu apakah aku masih bisa keluar dari hutan ini hidup-hidup jika nekat berdiam di dalamnya semalaman. Ini belum musim dingin, tapi aku sudah bisa merasakan darahku mati rasa.

Aku tidak tahan lagi. Aku akan keluar dari hutan ini dan kembali ke panti. Aku tidak peduli lagi dengan tatapan membunuh dari Nyonya penjaga atau ejekan dari Hisk karena sudah mengulangi perbuatan bodoh yang sama untuk kedua kalinya. Yang harus aku lakukan malam ini hanya satu. Merayap ke dalam selimut dan tidur setelah mandi air hangat.

Seruling biru ganjil itu masih bersinar. Celana dan bajuku tidak memiliki saku--jahitannya saja asal-asalan, bagaimana bisa memiliki saku. Jadilah, aku akan membawa seruling itu dengan tangan telanjang. Siapa tahu Nyonya penjaga mau memaafkan dosaku jika aku membawa bukti dan alasan yang kuat kenapa aku bisa keluar dari panti malam-malam begini.

Baru saja aku menjulurkan salah satu kakiku untuk menuruni pohon oak tua ini, aku tersadar satu hal. Satu hal penting yang dengan bodohnya bisa aku lupakan dari awal.

Pohon ini akan menjadi kering, rapuh, dan mudah patah jika basah terkena air. Itu adalah pengetahuan umum yang diajarkan di sekolah-sekolah. Aku sudah terlalu telat untuk menyadarinya. Karena tidak hati-hati, aku terjatuh dari ketinggian yang bisa membunuh seekor anak domba.

Bersamaan dengan itu pula, aku kehilangan kesadaran dan tidak tahu lagi apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi, mari lihat sisi baiknya. Suara itu menghilang.

Akhirnya ....

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro