Hutan Malam Hari

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku sempat melirik sekilas ke dalam ruang makan yang berada di gedung utama. Piring, sendok, garpu, dan sebagian serbet di antaranya sudah selesai dibersihkan oleh Nyonya penjaga.

Ruangan itu bau beri, krim kocok, dan remah pastri dingin yang tidak jadi dimakan. Jangankan semut. Rudolph, kucing panti gemuk yang kegiatan sehari-harinya hanya mengejar kupu-kupu dan mengacak-acak bundel laporan pemasukan Nyonya penjaga juga pasti tertarik dengan bau manis dari ruangan ini.

Ah, tapi, kalau dipikir-pikir, aku sudah cukup jarang melihat kucing malas itu akhir-akhir ini. Tapi baguslah, itu berarti tidak ada lagi yang bisa mengganggu kami ketika sedang menanam benih lobak di kebun.

Wanita tersebut juga tidak sedang berada di kursi nyamannya, yang bisa kusimpulkan bahwa saat ini ia sedang berada di dapur untuk mencuci gelas-gelas kaca yang digunakan oleh rombongan Tuan Ruthford untuk minum-minum.

Aku kasihan dengan wanita itu ....

Tapi, yang paling penting saat ini adalah menemukan sumber suara seruling itu. Ah, aku tidak tahu lagi apa yang akan terjadi jika aku tidak segera menemukan seruling itu. Kepalaku rasanya mau meledak.

Di luar masih hujan. Tetes-tetes air menghantam atap panti dengan bersemangat. Nyonya penjaga belum bisa membeli payung. Koin peraknya belum mencukupi--yang kalau ada pun, aku tidak akan bisa mengambilnya.

Benda yang sama berharganya dengan gaun linen bertumpuk dengan bordir bunga itu pasti akan wanita berambut gelung itu simpan di kamarnya, atau bahkan di dalam lemari tua tempat menyimpan barang yang tidak akan ia gunakan lagi dalam waktu yang lama--atau bisa dibilang hiasan.

Jadi ya sudahlah, aku terpaksa menerobos hujan ini dengan badan yang akan kujadikan sebagai tameng.

Tidak apa, aku cukup yakin bahwa badanku sama kuatnya dengan badan milik tukang jagal di pasar kota. Aku sudah sering minum susu dan makan sayuran hijau jadi aku rasa sakit demam tidak akan semudah itu menyerangku.

Aku membuka pintu depan dan angin dingin langsung menyambutku. Perasaan yang sama seperti hari kemarin datang, namun agaknya kali ini lebih parah.

Demi Dewi Aphrodite, di luar dingin sekali!

Sepertinya, aku harus menarik kata-kataku barusan. Di daun pintu saja aku sudah menggigil, apalagi keluar dengan pakaian malam seadanya, di tengah-tengah hujan yang tengah mengguyur pinggiran kota Blisshore dengan semangat yang menggelegak layaknya satu gerobak penuh kembang api bawaan Bilobo gemuk.

Tapi bagaimanapun juga, aku lebih memilih terkena demam daripada harus terkena peyakit telinga semu.

Cih, baiklah, sepertinya aku harus benar-benar keluar.

Tujuan pertamaku adalah hutan belakang panti.

Tentu saja. Di sanalah aku menemukan seruling berpendar biru tadi siang. Di mana lagi aku harus mencari selain di tempat gelap itu?

Aku tahu pasti betapa mengerikannya hutan itu di malam hari. Ada kemungkinan aku akan disantap beruang coklat besar atau diculik wanita ahli sihir dengan hidung sepanjang pensil. Tapi tak apa, aku sudah terlalu bodoh untuk memikirkan hal-hal tersebut.

Aku hanya mengenakan piyama malam lusuh, celana hitam selutut, dan alas kaki berbau pesing--yang tak lain pasti dikencingi oleh tikus-tikus kurang ajar yang tinggal di celah lantai. Benar-benar sebuah perisai lengkap untuk berperang melawan monster hutan malam hari.

Lama aku berjalan hingga tanpa sadar aku sudah berada di muka hutan. Entah kenapa aura tempat ini di malam hari berbeda jauh jika dibandingkan dengan di saat terang. Warna hitam benar-benar bisa merubah banyak hal ternyata.

Aku takut.

Tentu saja aku takut. Aku memang dungu dan tidak bisa menakar mentega dengan benar, tapi aku masih memiliki rasa takut.

Tapi ....

Aku sudah sampai sejauh ini dan akan sangat disayangkan sekali jika aku pulang dan berbalik. Hutan belakang panti sudah ada di depan mata dan bajuku sudah basah kuyup. Suara itu juga masih berputar-putar di telingaku.

Haahh ....

Tidak ada pilihan lain nampaknya. Aku harus tetap maju dan memasuki hutan itu ... sendirian.

Malam ini, aku berparade di tengah hutan antah berantah dengan berbekal keberanian dan rasa penasaran yang kugunakan sebagai motivasi untuk tetap melangkah--walau masih banyak hal lain yang bisa kulakukan untuk membunuh waktu di tengah malam.

Keluarga kelinci pasti sedang tertidur di liang tanah. Pasangan tupai abu yang berbahagia pasti sedang menghabiskan malam berharga mereka di dalam lubang pohon sambil menikmati serenade burung hantu gunung. Pohon zaitun yang setengah di antara dedaunannya sudah meluruh pasti sedang menertawakan kebodohanku karena sudah memasuki teritorinya di waktu malam.

Angin dingin semakin menusuk, sementara adrenalinku semakin menguar. Aku salah besar karena sudah mengira bahwa bagian dalam hutan akan menjadi lebih hangat daripada di luar karena dikelilingi oleh pepohonan berdaun rimbun. Aku bersin di sepanjang perjalanan dan hidungku memerah seperti rusa Tuan Santa.

Aku tiba-tiba penasaran dengan keadaan panti saat ini. Mungkin saja Nyonya penjaga saat ini sedang bersantai di ruangannya sambil menulis jurnal dan mengelus-elus perut berbulu Rudolf yang tengah tertidur di pangkuannya.

Atau tidak.

Satu hal yang pasti, aku lebih takut jika harus tertangkap basah sedang berada di luar gedung panti untuk yang kedua kalinya oleh wanita tersebut. Mencuri-curi lauk sisa makan malam di dapur panti saja tidak boleh, apalagi berkeliaran di luar gedung ketika hujan sedang turun.

Aku terus berjalan membelah jalur hutan. Masih belum ada tanda-tanda dari cahaya biru tersebut namun suara itu masih berfestival di kepalaku. Aku harus cepat menemukannya sebelum aku berubah menjadi sinting.

Ketakutan terbesarku terjadi juga. Di belakangku, aku bisa mendengar langkah kaki berat yang tengah berlari ke arahku. Aku terlalu takut untuk sekedar berbalik, namun aku yakin satu hal. Nyonya penjaga sadar bahwa aku tidak berada di kamar tempat seharusnya aku tertidur.

Ia pasti akan membangunkan Hisk untuk menanyakan perihal kepergianku--yang tentu saja akan dijawab oleh orang itu dengan endikkan bahu, lalu keluar dan bertolak menuju hutan dengan tergopoh-gopoh untuk mengejarku, yang ia duga pasti menjadi tempat pertama bagiku untuk kabur setelah melihat kilas balik kemarin malam.

Aku tidak boleh tertangkap!

Aku mempercepat langkah kakiku dari berjalan menjadi berlari. Aku menyingkirkan semua halangan yang ada di hadapanku. Sulur hijau, ranting berbentuk jemari ringkih, dan apa saja yang menghalangi jalanku.

Aku berhenti di depan ceruk lalu berbelok mengambil jalur kanan. Wanita yang ada di belakangku masih menyerukan namaku dan sepertinya dia tidak akan berhenti sebelum berhasil menangkap anak asuhnya yang paling nakal ini.

Aku terus berlari hingga sampai di ujung belokan.

Jalan buntu.

Panik. Aku menoleh ke sana kemari dan melihat tempat yang paling cocok untuk bersembunyi. Pilihannya hanya ada tiga. Memanjat tebing licin yang menjadi ujung jalur kanan, melompat ke dalam semak-semak yang dipenuhi serangga, atau menyerahkan diri ke Nyonya penjaga.

Dan pada saat itulah, pelupuk mataku berhasil menangkap sebuah cahaya biru janggal ....

Untuk yang kedua kalinya.

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro