Anak Lelaki Lain

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mirip?"

Bargin Meath berhenti, lalu berkata perlahan dengan suara dalam. "Dia mirip denganmu. Dia laki-laki dan tingginya sama denganmu. Lalu kutebak, pasti umurmu juga dua belas tahun, bukan?"

"Iya ...."

"Bahkan umur kalian pun sama! Bedanya, saat aku pertama kali menyambutnya, dia tertawa riang seharian dan selalu membalas leluconku. Jangan-jangan dia ada hubungannya denganmu?"

Alisku naik sedikit, dahiku berkerut menampilkan ceruk kecil. "Tidak mungkin! Aku tidak memiliki satu pun saudara kandung. Bagaimana mungkin aku bisa memiliki hubungan dengannya?"

Pria tua dengan mulut berbau telur rebus, sosis bakar, dan kopi hitam itu menaruh tangannya di dagu kemudian mengurutnya pelan. "Kau benar juga. Mungkin ini semua hanya kebetulan. Tapi yang pasti, aku kesepian setelah anak laki-laki itu pergi. Nona Ruby bahkan tidak bisa menghiburku setelah kepergiannya."

"Nona Ruby?"

"Kucingku," katanya. "Ia selalu berlari dan melompat menuju keranjang tidurnya yang empuk dan penuh bantal bulu angsa ketika aku pulang ke rumah. Dia terus-terusan menghindariku."

Aku mengangguk-angguk dan memasang tampang iba. Tapi sejujurnya, aku bisa mengerti mengapa hewan yang menjadi rekan sejawat dari bola benang jahit itu selalu menghindari pria berwajah aneh di depanku ini. Dia bau keringat dan amis darah. Saat ia membuka mulut pun, ada hawa tidak enak yang keluar. Mana mau kucing itu dipeluk di bawah lapisan lemak dan lipatan baju yang basah.

Tapi sebentar ....

"Kucingmu?"

"Kenapa?" tanyanya. Tangannya belum berpindah dari dagunya.

"Kucingmu bulunya berwarna abu-abu dengan garis putih di bagian perut dan ekornya? Di lehernya ada kalung pengekang ketat yang selalu membuatnya kesakitan dan kelihatan seperti orang yang terkena asma? Apakah itu kucingmu?"

"Iya." Pria itu menjawab tanpa beban.

Aku menunjuk ke arah dapur, menatap tepat ke dalam matanya yang kekecilan, dan berkata dengan perasaan ingin meledak-ledak. "Kucingmu sudah menyusup masuk ke rumah tumpanganku, pergi ke dapur untuk bersembunyi di bawah lemari penyimpanan makanan yang isinya tidak ada apa-apa kecuali roti tawar berjamur dan selai kiwi asam, lalu mengencinginya dan pergi setelah melihat ada orang yang memasuki dapur."

Ia panik. Keringatnya mulai bercucuran dan tangannya mulai mengibas-ngibas di depan wajahnya--aku tidak tahu apakah dia kepanasan gara-gara udara di luar atau karena ucapanku barusan.

"Aku tidak tahu Nona Ruby bisa sejahat itu kepadaku. Ia selalu berkata kalau ia hanya akan menangkap tikus di rumah ini sebelum ada pendatang baru dari dunia atas."

"Ia bisa berbicara?" Aku bertanya lagi. Jika pun pria itu membetulkan ucapanku, aku tidak akan merasa kaget lagi. Kota ini sudah aneh, dan kucing yang berbicara mungkin berada dalam urutan terbawah jika keanehan-keanehan yang ada di kota ini dibariskan satu per satu.

"Tidak."

"Kau mengerti dengan ngeongannya?"

"Tidak juga."

Dengan ini, aku resmi memutuskan bahwa seorang Bargin Meath adalah makhluk yang bukan hanya fisiknya saja yang aneh, tapi kelakuannya juga.

Ya Tuhan, kenapa aku tidak bisa mendapat tetangga yang lebih normal seperti orang-orang yang kutemui di bagian depan kota?

Lalu hening. Pria itu tidak berkata apa-apa lagi setelahnya. Ia sibuk dengan sosis-sosisnya yang sudah siap untuk dibakar itu sebelum aku mengingatkannya bahwa aku memiliki sebuah pekerjaan yang harus dilakukan sebentar lagi--alasan itu juga kupakai karena aku sudah tidak tahan lagi dengan suhu kamar yang naik drastis setelah perapiannya dihidupkan.

Ia mengerti, mengangguk dua kali, lalu memborong semua sosisnya yang tersisa kembali ke rumahnya. Aku mengantarkannya hingga sampai ke pintu depan--dengan agak kesusahan karena badannya yang terlalu besar. Ia tidak berbalik lagi, apalagi berbicara barang sepatah kata setelah melewati pintu depan.

Aku bergegas menuju sumur belakang untuk menjerang air. Pria itu pergi dengan meninggalkan perapian yang masih menyala-nyala seperti api pandai besi. Pula, ia tidak meninggalkan satu potong sosis pun yang kiranya bisa kumakan malam nanti--padahal, aku sudah bisa merasa kenyang hanya dengan dua gelondong sosis tapi yang ada, dia malah membawa pulang semuanya.

"Apa-apaan itu tadi?" Aku merutuk. Suara yang tadinya menghilang untuk sementara waktu kini sudah kembali lagi dan membalas perkataanku yang sepatutnya tidak perlu dijawab itu--dan, ya, ia mengatakan kalau aku harus membiasakan diri dengan orang-orang aneh seperti pria tadi.

Ada lebih banyak lagi orang-orang aneh yang akan aku temui jika mencari lebih keras lagi--begitu katanya, seakan-akan menganggap bahwa aku senang dan mau mencari orang-orang aneh seperti tukang potong daging yang memiliki kucing abu jorok dan tidak tahu tata krama tadi.

Matahari sudah meninggi dan cahayanya menyusup lewat celah-celah bilah papan yang tidak tersusun rapat di ruang tengah. Aku keluar dari dalam rumah dan mendongak menatap langit.

Langitnya berbeda dengan langit di halaman panti. Awalnya aku mengira bahwa langit biru tanpa awan musim gugur hanya bisa kulihat di gerbang depan kota--kiraanku tidak benar ternyata. Pun, mataharinya terasa lebih dekat dengan kepalaku dibanding ketika aku berdiri di tengah halaman panti, yang tidak ditumbuhi oleh pohon berdaun tajam ketika sedang mengejar belalang dan kumbang kepik di pertengahan musim panas tahun lalu.

Setidaknya ada satu hal yang patut kusyukuri dari kota ini. Pemandangan langitnya bagus dan cahaya mataharinya yang menimpa wajahku dari tadi benar-benar sebuah kenikmatan duniawi.

Walau begitu, masih banyak hal yang bisa membuatku mengeluh tentang eksistensi kota ini--salah satunya adalah bau aneh dari dalam rumah, penduduknya yang aneh-aneh walau aku baru menemui beberapa di antara mereka, dan kehadiran Bargin. Aku yakin daftar keluhanku akan semakin memanjang seperti kain katun buatan penenun kerajaan dari waktu ke waktu.

"Sudah lewat satu jam setelah kau bangun dan kau bahkan belum berganti baju. Kapan kau mau pergi ke kantor pusat jasa antar susu dan koran kota ini?"

Ah, benar juga. Untung saja suara itu mengingatkanku bahwa aku masih harus mendaftarkan diriku untuk bekerja sebagai loper koran bagi kota ini--padahal sebelumnya hal itu kujadikan sebagai alasan agar bisa cepat-cepat mengusir Si Tua Bargin, tapi entah kenapa aku bisa melupakannya.

"Aku tidak akan berganti baju."

"Kau benar-benar tidak mau bersalin terlebih dahulu, ya?" tanyanya. "Aku sudah berbaik hati memberikanmu peringatan sebelum kau benar-benar sudah terlalu jauh dari rumahmu untuk berganti baju."

Aku menggeleng. "Tidak. Kau sendiri yang menyuruhku untuk cepat-cepat jadi ya sudah."

Hembusan napasnya jelas terdengar tak lama setelahnya. "Kau memang keras kepala, sama sepertinya dulu."

"Siapa?"

"Orang yang Tuan Bargin sebut di awal."

"Kau juga mengenalnya?"

"Tidak juga," jawabnya singkat. "Sekarang, daripada kau memikirkan hal tersebut, lebih baik kau mulai berjalan menuju kantor jasa antarnya."

Cih.

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro