Bargin Meath Tua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lalu, apa yang harus kulakukan?!"

Suara itu diam sebentar, lalu kembali dengan jawaban yang kurang memuaskan. "Kau sendiri yang harus pergi ke kantor pusatnya," katanya.

Aku bahkan tidak tahu tempat itu ada di mana namun dia sudah menyuruhku untuk mendaftar sendirian ke sana. Aku yang masih sering tersesat di pertokoan Blisshore saat membeli tepung dan vanili mana bisa berpergian ke tempat yang sama sekali asing itu.

"Aku tidak tahu di mana tempatnya!"

"Akan kuberitahu nanti."

Ia santai sekali saat meladeniku pagi ini, bagai tidak ada beban dan rasa penyesalan di pikirannya. Haruskah ia kuusir dari rumah ini setelah pulang bekerja nanti? Tapi jika seperti itu, sepertinya akulah yang akan diusir olehnya--aku adalah pendatang. Apa yang bisa diharapkan dariku?

Aku membenarkan letak sepatuku dan berdiri sambil menepuk-nepuk bagian belakang celanaku yang penuh bulu kucing. Baiklah baiklah, sepertinya aku benar-benar harus mandiri di kota ini. Siapa pun yang ada di balik suara itu tidak banyak membantu dan keberlangsungan hidupku di kota awan ini ada di pundakku sendiri.

Aku ingin protes lagi tentang minimnya kemungkinan bagiku untuk langsung diterima oleh orang-orang dari kantor surat kabar dan peternakan susu itu sebelum pintu depan diketuk dengan keras dari luar. Satu alisku terangkat dan aku mulai menebak-nebak siapa gerangan yang melakukan hal tersebut.

Mengintip dari jendela kamar pun tidak bisa karena sudah terlalu gelap tertutupi abuk hitam kotor. Suaranya pun tidak terdengar saking kerasnya bunyi ketukan di pintu depan--ah, setelah dipikir-pikir lagi, itu lebih mirip sebagai sebuah gedoran dibandingkan dengan ketukan.

Karena aku tidak tahu siapa yang ada di balik pintu itu dan bahaya apa yang menungguku membuka pintu depan sehingga ia bisa masuk secara paksa dan membunuhku di ruang tengah, aku memilih untuk berdiam diri di kamar sampai suara gedoran pintu itu berhenti, atau setidaknya ada suara lain yang memanggilku dari luar--suara tanpa nama yang menemaniku dari tadi juga tidak banyak membantu dalam memilih keputusan, jadi aku sendiri yang akan bertindak.

Tapi, sebenarnya diam-diam aku mulai berpindah posisi ke depan kamarku untuk memperhatikan apa yang akan dilakukan oleh makhluk di belakang pintu itu setelah ini.

Akhirnya, siapa pun makhluk yang menggedor pintu depan berhenti--aku tidak menyangka gedoran itu akan selesai sebelum pintunya rusak. Tapi, aku tidak akan mempercayai apa yang akan kulihat setelahnya.

Suara gedoran itu memang berhenti, kemudian sunyi sesaat, lalu boom! Pintu depan dihantam begitu keras sampai terlepas dari engselnya yang berkarat, kemudian terhempas ke lantai dengan suara yang memekakkan.

Ada sesosok makhluk menyerupai raksasa berdiri di sana. Matanya kecil, nyaris tidak kelihatan. Badannya gempal dan membengkak, sedang bagian tangan, lengan, hingga bahunya kurus kering seperti ranting. Kakinya pendek dan ia bisa saja menjadi cebol apabila ia tidak memiliki badan sebesar gerobak pengangkut apel perkebunan itu.

Wajahnya penuh berewok liar yang berantakan, rambutnya tinggal setengah--di bagian depan. Dahinya berjerawat dan penuh eksim.

Ia kelihatan seperti karung goni besar dengan tangan dari ranting yang bisa berjalan, menggedor pintu, dan berbicara.

"Ada orang di dalam?" Ia bertanya dan yang lebih anehnya lagi, dalam bahasa yang bisa kupahami. Aku sudah mengira bahwa orang-orang di sini memakai bahasa yang sama sekali tidak akan pernah kumengerti jika merujuk pada musik festival aneh yang kudengar ketika pertama kali memasuki kota ini. Lagi-lagi aku salah.

Sosok raksasa itu memaksakan diri untuk masuk. Tapi karena badannya yang terlalu besar, walau ia sudah menunduk sekali pun, puncak kepalanya masih bisa menyentuh langit-langit ruang tengah. Ada satu rantai sosis serta pemantik api di tangannya dan celemek putihnya bernoda darah.

Ia menaruh barang bawaannya di lantai, memungut pintu, dan dengan mudah memasangnya kembali di engselnya. Ia mengamati seluruh sudut ruangan, mengendus, dan menyadari bahwa ada orang di dalam sini. "Aku tidak jahat. Aku tetanggamu!"

Walau ia sudah berkata seperti itu, aku tetap saja takut seperti domba yang berada di hadapan serigala. Tapi, karena suara itu membenarkan ucapan sosok raksasa itu, aku akhirnya memutuskan untuk percaya. Seperti yang pernah ia katakan, penduduk di sini tidak akan mengambil nyawaku jadi ini tidak akan seberbahaya yang kubayangkan.

Aku keluar dan menampakkan diri di depan raksasa yang mengaku-ngaku sebagai tetanggaku.

"Ini pendatang dari dunia bawah?" tanyanya sembari membungkuk dalam posisi tidak wajar untuk mengangkat kembali barang bawaannya. Aku mengangguk pelan.

Raksasa itu tersenyum riang hingga giginya yang tidak tersusun rapi itu kelihatan jelas semuanya. "Akhirnya kau datang juga!"

Pria di depanku begitu senang hingga melompat-lompat dan membuat gempa kecil di dalam rumah--untung saja tidak ada lampu gantung di ruang tengah.

Aku tidak tahu mengapa ia begitu senang dan aku mulai takut kalau ia bertindak seperti itu karena bisa mendapat pasokan daging baru untuk rumah dagingnya--belum bisa kupastikan apakah pekerjaannya memang benar sebagai tukang daging. Tapi jika melihat dari baju dan barang bawaannya, ia sepertinya tipe orang yang bisa dengan mudah bekerja sebagai tukang jagal.

"Akhirnya aku memiliki tetangga lagi!" ucapnya senang.

Hmm ....

Berarti, sebelumnya, ada orang lain yang sudah menempati bangunan ini. Mungkin inilah alasan mengapa tempat ini menjadi sangat menjijikan seperti sekarang.

Dasar orang tidak tahu diri!

"Aku ingin menyambutmu sebagai seorang tetangga baru. Karena itulah aku membawa beberapa produk daging dan korek. Ini masih jam sarapan jadi ayo cepat makan!"

Tanpa mendapat izin dariku, raksasa berbadan gempal itu langsung masuk ke dalam kamar. Pandangannya langsung tertuju ke arah perapian berjamur dan basah yang ada di salah satu sisi kamar.

Raksasa itu membungkuk--ia terlihat seperti akan terjatuh dan bisa menggelinding kapan saja. Kemudian mengambil pemantik api, memercikkan minyak tanah, dan dalam hitungan detik api sudah muncul dari perapian.

Aku takjub melihatnya. Air hujan merembes dari cerobong tadi malam dan tidak akan ada cara lagi untuk menyalakan api di tempat itu--setidaknya begitu pikirku.

Tapi ternyata dia bisa.

"Nah, ayo membakar sosis!"

"Kau ini sebenarnya siapa?"

"Aku?" Ia menunjuk wajahnya dengan tangan kerempengnya. "Ah, benar juga! Aku belum memperkenalkan diriku. Aku Bargin Meath. Para pembeli biasa memanggilku Si Tua Meath dan aku di sini untuk merayakan kedatanganmu malam tadi dan sekaligus untuk meminta maaf karena sudah memakai minyakmu untuk membakar rumput kering di depan rumahku."

Oh, jadi dia yang namanya Bargin Meath. Penampilannya sesuai dengan namanya, dan mungkin juga perilakunya.

Ia serta merta membuka selongsong dan ikatan sosis, kemudian membakarnya di atas perapian. Ia duduk selonjoran di lantai yang basah. Celananya menyerap air hujan sisa tadi malam yang belum sempat menguap. Ia mengoper salah satu sosis lalu ikut makan di sebelahku.

"Sudah lama sekali sejak orang terakhir yang datang ke rumah ini."

"Maksudnya?"

Ia menatapku. Ada potongan sosis kecil di sudut bibirnya. "Orang terakhir yang menempati rumah ini sudah pergi sejak bertahun-tahun yang lalu dan aku kesepian setelahnya."

Raksasa itu mulai bercerita dan suasana menjadi melankolis. Ia kemudian lanjut mengatakan bahwa ia rindu dengan suasana seperti ini sehingga ia menyiapkan segala makanan terbaiknya untuk menyambutku setelah mendengar kabar dari walikota bahwa akan ada orang baru yang menempati rumah ini.

Jika saja ia melakukan persiapan yang sama untuk rumah ini, maka aku pasti akan langsung memeluknya saat ini juga.

"Ngomong-ngomong."

"Hng?"

"Kau bilang ada orang yang menempati rumah ini sebelum aku. Seperti apa orangnya?"

"Dia mirip sepertimu."

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro