Pagi Hari di Gubuk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kau belum bangun juga, huh?"

Aku terbangun dengan kaget dan ekspresiku seperti orang yang baru saja mabuk alkohol. Suara itu ternyata belum pergi dan meninggalkanku sendirian di rumah ini. "Kenapa kau masih ada di sini?!"

"Eh, kau yang kenapa? Salahmu tidak menyuruhku keluar malam tadi."

Ah, benar juga. Jika diingat-ingat, aku memang tidak berkata apa-apa lagi kepadanya setelah menaruh mangkuk berisi selai di dapur. Jadi, wajar saja jika suara itu tidak pergi juga dari kamar ini--dan hal itu tambah wajar jika menyadari bahwa tingkat kepintaran siapa pun makhluk pemilik suara itu tak ubahnya berada di satu tingkat yang sama dengan seekor katak rawa.

Badan saja ia tidak punya, apalagi otak.

Aku masih terduduk. Persetan dengan perintah-perintah suara itu yang menyuruhku untuk segera mandi dan berganti pakaian. Aku masih harus mengumpulkan nyawaku dulu atau aku akan berjalan terhuyung-huyung di kamar mandi kelak.

"Sekarang sudah jam lima pagi," ucapnya berkali-kali, seakan menyuruhku agar cepat-cepat mandi.

Tapi, sayangnya, kamar mandi di gubuk ini tidak seindah kamar mandi Ratu Victoria--jauh sekali jika berharap bahwa kubik kecil beraura aneh untuk membasuh badan itu bisa sama mewahnya dengan geladak kapal pesiar berwujud kamar mandi milik ratu putih berkulit keriput itu. Dan karena itu juga, aku menjadi semakin malas untuk mandi, terlebih setelah melihat penampakan ratusan jentik nyamuk di dasar bak.

"Apa yang akan aku lakukan hari ini?"

"Kau akan langsung bekerja," jawabnya cepat.

"Eh?" Satu hari setelah kedatanganku ke tempat ini, aku langsung disuguhi pekerjaan-pekerjaan yang harus kulakukan. "Cepat sekali."

"Ya, begitulah."

Aku mendengus. Andai saja aku masih berada di panti, pasti keadaannya tidak akan sesulit ini. Aku bahkan belum mengetahui nama tetangga sebelah rumahku yang kucing peliharaannya sempat mengencingi lantai dapurku--atau malah memang sebenarnya itu tetanggaku, yang sedang menyamar menjadi seekor kucing belang tiga berbulu kusam.

Ya, tapi, jika aku masih bermalas-malasan seperti ini, tidak akan ada hal baik yang terjadi, kan?

Karenanya, aku mulai bergerak. Aku mengambil dua helai baju dan satu buah celana yang tercecer di lantai--aku menggunakannya sebagai selimut, tapi entah bagaimana caranya potongan-potongan kain itu bisa tergeletak sembarangan di sisi-sisi kamar.

Bantalnya aku kembalikan ke dalam kotak kayu. Selimutnya tidak. Aku berniat untuk menjemurnya di atas atap karena bagian bawahnya kuyup, lembap, dan baunya busuk seperti bulu tupai basah.

Setelahnya, aku langsung bertolak ke arah lemari pakaian. Hari ini adalah hari pertama aku akan bekerja dan tentunya aku ingin memakai pakaianku yang paling bagus. Kesan pertama itu penting kata Nyonya penjaga.

Aku memutuskan untuk mandi. Menahan napas di dalam bilik kecil berlumut itu memang susah, tapi lebih susah lagi jika harus mendapat cibiran dari warga kota yang lain. Setidaknya, di dalam sana masih ada sabun batang dari lemak hewan--untung saja bukan sabun cair karena aromanya tidak enak.

Yang aku tidak tahu, di belakang gubuk ternyata ada sebuah sumur yang bisa kugunakan untuk menjerang air. Aku mau-mau saja mandi di dekat sumur tapi suara itu langsung melarangku tepat ketika aku membuka baju setelah mengambil seember air dari dalam sumur. Mempermalukan diri, katanya.

Duh.

Di kota ini, mandi pagi ternyata lebih rumit dari yang kukira. Dulu, di panti, aku hanya membutuhkan waktu paling lama tujuh menit untuk mandi pagi sampai mengenakan pakaian tapi sekarang, setengah jam pun belum cukup untuk menggosok semua bagian badanku dengan busa sabun--ini juga karena di panti sudah ada pompa, pipa, dan saluran air sedangkan di sini, aku harus menimba sendiri airnya.

Mari lihat sisi baiknya. Dengan adanya ember dan sumur itu, aku jadi tidak perlu menggunakan air di dalam bak mandi yang entah sudah terkontaminasi oleh benda-benda apa saja.

Setelah bergulat dengan bau pesing, menjaga jarak pandang dari gumpalan hitam yang ada di dalam bak mandi, dan berkali-kali memperingatkan suara itu agar tidak mengintip saat aku mandi--walau aku sendiri tidak yakin apakah laranganku didengarkan olehnya, aku akhirnya selesai membersihkan badan. Rasanya sangat segar setelah tidak mandi seharian.

Aku juga sudah selesai berpakaian--aku hanya memakai sebuah kemeja putih polos, celana hitam selutut dengan gesper, serta sepasang kaos kaki putih dengan garis biru di bagian betisnya dan juga sepatu yang kekecilan di kakiku, yang entah bagaimana tetap bisa kupakai berjalan.

Hanya itu baju yang terbaik di dalam lemari. Selebihnya hanya ada baju kaus dengan jahitan asal-asalan dan dua celana pendek yang robek di bagian sakunya. 

Aku siap untuk langsung bekerja!

"Kau pikir kau akan bekerja di mana dengan pakaian senecis itu?"

"Eh?" Aku kebingungan. "Memangnya aku akan bekerja di mana?"

Suara itu berdehem. "Kau akan bekerja sebagai loper koran dan pengantar susu."

"Jadi maksudmu aku akan berkeliling ke rumah-rumah warga untuk mengantarkan kedua barang itu?"

Bunyi jentikan jari terdengar setelahnya. "Tepat sekali," jawab suara itu singkat. "Karena itu aku heran ketika melihatmu memakai baju dengan model berlapis-lapis seperti ini. Aku yakin kau akan kepanasan dan langsung menyerah di jalan menanjak nomor dua yang ada di dekat bukit nantinya."

Hmm ....

Dia tidak mengatakan hal itu lebih awal dan aku sudah terlanjur memakai pakaian ini dengan seniat mungkin. Pun, matahari sudah semakin meninggi dan koran-koran serta berbotol-botol susu itu harus sudah tiba sebelum jam sembilan pagi.

Aku pasrah dan mengomel. Waktunya sudah menipis dan jika aku memutuskan untuk berganti baju sekarang, waktunya tetap tidak akan terkejar mau bagaimana pun gesitnya--terutama bagian melepaskan sepatu dan membuka kemeja yang membutuhkan kerja ekstra untuk melakukannya.

Aku juga belum sarapan hari ini. Suara itu sempat berkata bahwa ada setidaknya lima blok perumahan, termasuk di antaranya daerah pertokoan roh, yang berlangganan jasa pengantar koran dan susu Kota Scallian. Jika aku tidak makan, aku pasti akan pingsan di tengah perjalanan dan menimbulkan masalah baru.

"Apa tidak ada makanan?" Aku kembali setelah melihat lemari penyimpanan makanan di dapur yang kosong melompong seperti gigi geraham Bibi Mirabeth. Perutku keroncongan lagi setelah semalam sudah lumayan terisi oleh dua lembar roti tawar tengik. Selai kiwinya juga menghilang. Diambil tikus sepertinya.

"Sayangnya tidak ada. Tapi aku rasa salah satu tetangga barumu akan datang ke sini untuk membawakan makanan."

"Hmm, baiklah. Kalau begitu, artinya aku tinggal menunggu orang itu datang ke rumahku, bukan?"

"Begitulah," ucapnya agak lemas. Kenapa dia tiba-tiba berubah menjadi lesu seperti ini? Apakah dia juga kelaparan?

"Kau sudah mendaftarkanku sebagai pegawai baru di kantor jasa antar kota ini, kan?"

"Belum."

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro