Delapan Belas Penduduk dan Tangisan Malam Hari

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku ingin mati.

Tadi, setelah kepergian Tuan Schuhladen dan istrinya, delapan belas penduduk dengan wajah sangar ikut memaksa masuk ke rumahku. Setengah di antaranya membawa garpu jerami, empat orang membawa lampu minyak, sedang sisanya mengajak serta anjing-anjing peliharaannya--meski begitu, hewan-hewan 'peliharaan' itu perangainya lebih liar daripada kelinci abu di hutan belakang panti.

Seorang penduduk, yang mengaku-ngaku pernah memberiku satu set pakaian musim gugur lengkap, menagih bayaran yang tak pernah ia janjikan. Lima puluh koin emas. Sama seperti pasangan pengrajin sepatu gila tadi, pria ini juga membutuhkan koin emas alih-alih benda yang sudah ia berikan sebelumnya.

Ketika disuruh untuk menenangkan diri oleh Annabeth, pria dengan mata besar itu malah makin beringas. Garpu jerami yang ada di tangannya ia acung-acungkan ke wajahku sambil mengancam bahwa apabila dalam satu minggu ke depan aku tidak kunjung membayar pintaannya, kepalaku akan dipancangnya di alat pengurai jerami itu.

Tiga orang setelah pria itu juga memberikan keluhan yang sama. Seorang wanita mengaku bahwa ia sudah memberikanku tali penahan milik suaminya satu minggu yang lalu. Ia meminta bayaran yang sama dengan pria sebelumnya, namun tanpa embel-embel pemenggalan kepala dan pengunduran batas jatuh tempo.

Seorang pria tua bau abu perapian berterus terang bahwa saban hari pernah memberiku celana pendek. Katanya tadi, ia sudah susah payah menjahitnya hingga dua jarinya tertusuk jarum beberapa kali. Tiga puluh koin dan akan memberikan kepalaku sebagai pakan babi-babi peliharaannya apabila aku menolak untuk membayar.

Pula, seorang wanita dewasa menagih dua puluh tujuh koin emasnya karena ia merasa bahwa dirinya sudah banyak berkorban dalam membantuku tetap hidup di kota ini. Nyatanya, wanita yang sudah mulai muncul uban itu hanya memberiku sepasang kaus kaki garis yang harganya bahkan tidak lebih mahal daripada satu kilo kacang tanah di Blisshore.

Setelahnya, beberapa penduduk menagihku sekaligus. Makanan. Orang-orang ini mengaku sudah memberiku makanan secara cuma-cuma dan berlagak seolah pahlawan pemberi kehidupan. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak butuh koin emas dan meminta agar makanan-makanan yang mereka bagikan dikembalikan lagi dalam keadaan seperti ketika diterima.

Hanya permen merah muda berian salah satu penduduk saja yang masih bisa kukembalikan dalam posisi utuh--bagaimanapun juga, pria pembuat permen itu malah memasang wajah kecewa ketika menerimanya. Makanan-makanan lain sudah tidak terlalu layak untuk dikembalikan. Roti gandumnya sudah berjamur biru-hijau, seikat bayamnya sudah bolong-bolong di bagian daunnya, sedang sisa makanan yang lain sudah masuk ke perutku dan tidak akan bisa lagi kukeluarkan meski sudah berusaha dimuntahkan berkali-kali.

Seratus koin emasku habis hanya untuk membayar 'hadiah' yang sudah penduduk-penduduk Scallian ini berikan.

Untuk benda-benda lain yang tidak ada hubungannya dengan penunjang hidupku di Scallian, para pemilik-pemiliknya malah mematok harga tidak masuk akal. Sekebat bunga yang saat ini sudah layu di dalam kamar diberikan harga dua ratus koin emas. Seperangkat alat jahit yang bahkan hingga kini tidak pernah kusentuh sekalipun--dan kemungkinan besar juga tidak akan kugunakan bahkan hingga aku sudah memiliki koin emas yang cukup untuk membayar orang-orang sinting dan garang ini--, dipatok harga lima ratus koin emas.

Ketika orang terakhir sudah pergi, saat itulah Annabeth menangis.

Gadis itu mengatakan bahwa orang-orang tadi adalah orang-orang paling jahat yang pernah ia temui dalam hidupnya. Pak Tua Owris yang setiap minggu selalu mengacau di gereja kota, Nyonya Lavet yang selalu menyalahkan anak-anak panti tiap kali kebun barley miliknya gagal panen, atau Keluarga Baltinicus dari rumah bordil kota yang selalu mencari gadis-gadis muda untuk diculik lalu disuruh bekerja paksa di tempat mereka tidak akan pernah bisa menjadi lebih jahat daripada orang-orang ini.

Kepalaku pusing, badanku memberat. Aku sudah diancam macam-macam sedari tadi. Jika melihat dari perangai orang-orangnya, aku yakin sekali kalau ucapan mereka tadi bukanlah isapan jempol belaka. Berada di kota ini saja sudah berbahaya dan jika ditambah oleh
teror dari penduduk kota, aku tidak tahu lagi caranya untuk hidup di kota awan ini dengan normal.

Ah, tiga patung penjaga gerbang yang ada di bagian depan Scallian saja bisa membunuh seorang penduduk tanpa banyak basa-basi. Kalau seperti itu keadaannya, kepalaku bisa benar-benar dipenggal dan diberikan kepada babi peliharaan salah satu penduduk jika menolak untuk membayar.

Haahh ....

Janjiku kepada Annabeth untuk pulang sebelum malam Natal sepertinya akan kuingkari jika begini situasinya.

"Annabeth."

"Apa?"

"Koin emas. Hampir setengahnya sudah diberikan kepada para penduduk kota. Jadi ...." Aku berhenti sebentar untuk mengatur napas. Emosiku tengah susah-susahnya untuk dikontrol saat ini. "Menurutmu, tanggal dua puluh tiga nanti, lapak mana yang harus kita tuju untuk membeli daging kalkun dan kayu bakar. Ah, minyak dan pemantiknya juga."

Annabeth diam saja. Aku berharap sungguh-sungguh agar gadis itu tidak tahu ke mana arah pembicaraan ini akan berhenti. Setengah dari diriku berharap agar Annabeth lupa dan menuruti perkataanku tanpa bertanya-tanya lagi. Namun, sesungguhnya, jauh di dalam hatiku, aku ingin dikuatkan satu kali saja.

Katakanlah aku lemah, tapi aku benar-benar mau menangis saat ini.

Aku akan kehilangan kue jahe Nyonya Penjaga Panti, kue batang coklat buatan anak-anak Gedung A, cokelat panas dan krim kocok manis, kalkun panggang, kacang panjang bakar, kaus kaki hangat, baju rajut hangat, surat permohonan untuk Tuan Santa, pohon cemara dari jalan depan yang dihias lampu warna-warni, tidur malam yang nyaman, nyanyian gereja Blisshore, dongeng pengantar tidur Nyonya Penjaga Panti, dan segala hal yang terjadi di Blisshore pada tanggal dua puluh lima Desember.

Haha.

Nampaknya ada banyak sekali hal yang harus kulewatkan di perayaan Natal tahun ini.

Haha.

Hahahahahaha.

Sial, aku menangis.

"Arthur, tahu tidak?"

Aku menoleh ke arah Annabeth. Gadis yang matanya sudah sembab parah itu memberiku senyuman sehangat matahari bulan Juli. Ia mendekat dengan terseok-seok lalu memberiku sehelai baju berian penduduk kota.

"Aku yakin kalau memanggang kalkun dan mengadakan jamuan makan malam di kota ini tidak terlalu buruk. Di bagian menghidupkan apinya mungkin membutuhkan waktu lumayan lama, tapi tetap saja tidak sesusah mendaki Pegunungan Ural. Ah, kita juga bisa mengundang tetangga-tetangga dekat, terutama kucing betina berbulu tebal yang setiap pagi selalu datang ke rumah kita itu ...."

".... Namun, Arthur, pada akhirnya, bukan hanya dirimu yang berjanji untuk pulang sebelum malam Natal kepada Nyonya Penjaga Panti. Aku juga. Aku juga masih mau bernyanyi bersama gadis-gadis panti yang lain sambil mengucap harap agar Tuan Santa datang pada tengah malamnya." Annabeth berhenti sebentar. Gadis itu mengembuskan napas berat sekedipan mata.

"Tangisanmu jangan ditahan-tahan seperti itu, Arthur. Tidak akan ada Hisk atau anak-anak lain yang akan menertawakan tangisanmu. Kalau ada pun, aku akan dengan senang hati memukul mereka dengan penggiling adonan yang ada di dapur. Kalau perlu, aku akan membuatkanmu kudapan manis dari karamel malam ini juga jika hal itu bisa membuat hatimu sedikit lebih baik."

Haahh ....

Aku tidak peduli lagi. Aku akan menangis kencang-kencang bersama Annabeth malam ini.

Malam ini pun, karena Annabeth, aku menyadari satu hal. Menangis tidak bisa menyelesaikan masalah, tetapi bisa membuatku tetap hidup dari berbagai segi.

Tbc.

Note:
Saya heran.

Saya kok seneng banget nyiksa Arthur—

/ditabok Arthur
/meninggoy

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro