Tuan dan Nyonya Schuhladen

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Annabeth saat ini sudah tertidur pulas di sebelahku--sesekali mendengkur seperti pria gemuk, lalu beberapa kali membalikkan badannya menghadap perapian. Aku memberikan kain lebih untuk menyelimutinya. Scallian terlalu dingin bagi gadis beranjak remaja seperti Annabeth. Lagi, dia lebih tidak tahan dengan udara dingin dibanding diriku. Terhitung Annabeth lebih sering bersin-bersin di kota ini dalam waktu tiga hari dibandingkan dengan total bersin yang ia lakukan di Blisshore dari musim panas hingga akhir musim gugur.

Pikirku, malam ini aku akan mendapat tidur nyenyak. Barangkali ikut mendapat bunga tidur baik tentang kalkun panggang dan pohon cemara yang dihias lampu kelap-kelip, atau memimpikan Hisk yang menari-nari seperti orang bodoh sambil membawa ketel air di malam pergantian tahun--aku berharap hal aneh seperti itu tidak menghantui tidurku, tetapi jika dilihat dari pusingnya kepalaku seharian ini, aku ragu kalau hal itu bukan tidak mungkin untuk muncul di tidurku.

Aih.

Nampaknya, malam ini aku tidak akan bisa bermimpi baik-baik setelah mendengar gedoran pintu depan di tengah malam. Annabeth terbangun ketakutan. Aku juga. Suaranya memekakkan telinga, membuat jantung melompat, dan menambah sakit kepala--hei, lolongan serigala hutan saja tidak lebih parah dari ini.

Oh, berang-berang hutan, terkutuklah siapa saja orang yang mengetuk-ngetuk pintu rumahku malam ini.

"Arthur," cicit Annabeth, "siapa itu?"

Aku mengendikkan bahu. "Tidak tahu," jawabku cepat.

"Didiamkan saja?"

Hmm ....

"Kalau orang itu menggedor lebih kencang hingga pintu hampir lepas dari engselnya, baru kita ladeni."

Annabeth mengangguk. Gedorannya berhenti tepat setelah aku menyelesaikan ucapanku. Hampir saja kami bernapas lega, gedoran di pintu kembali lagi dan lebih kencang dari sebelumnya.

Aku harus membuka pintu depan jika tidak ingin malam ini tidur di dalam rumah tanpa pintu.

Jarak kamar dan ruang depan tidak jauh. Kata 'jauh' rasanya terdengar terlalu dermawan jika disandingkan dengan jarak kamar dan ruang depan. Kendati begitu, aku masih merasa berat untuk melangkahkan kakiku menuju pintu depan. Aku takut. Hal baiknya, ada Annabeth yang menemaniku di sebelah.

Gedoran pintu depan hampir sama kencangnya dengan tabuhan genderang perang kota tetangga. Seganas, sejelek, dan semengerikan apapun makhluk yang menggebrak pintu depan kami saat ini, aku tidak akan takut untuk memarahinya kuat-kuat jika saja pintu kayu itu terbanting sebelum kami sempat membukanya.

Tentu saja. Tuan Suara-Tanpa-Nama tidak ada di rumah ketika keadaan genting sedang terjadi.

Menyedihkan.

"Tuan atau Nyonya atau siapa saja yang ada di sana, tolong tenang!" seruku lantang. "Jika kau tetap menggedor pintu depan, aku tidak akan membukanya karena menganggap kau sebagai ancaman. Tenangkan dirimu, menjauh dari pintu dengan berjalan mundur tiga langkah, lalu aku akan membuka pintu ini setelahnya," tambahku.

Berhenti.

Akhirnya ....

Aku memutuskan untuk membuka pintu depan. Ah, sial, aku lupa membawa selimut atau mantel. Udara di luar terlalu dingin dan tidak akan baik rasanya jika Annabeth bersin-bersin lendir tepat di depan wajah pria--atau wanita--yang menggedor pintu depan ini.

Tapi, mengesampingkan hal itu, aku tidak akan terkejut lagi jika si penggedor pintu ini adalah salah satu anak panti yang datang dari Blisshore sebagai tawanan dengan alasan yang sama seperti Annabeth. Namun, sebesar apapun kemungkinan hal itu untuk terjadi, aku berharap bahwa keberuntungan masih berpihak padaku. Aku tidak tahu kapan kami berdua akan pulang jika mendapat satu rekan tawanan lagi di kota ini.

Aku membuka pintu depan dalam sekali tarikan cepat setelah sebelumnya menoleh sekilas ke Annabeth--sekedar memastikan bahwa gadis berleher jenjang itu sudah siap dengan apa saja makhluk yang ada di balik pintu ini.

"Tuan--"

"Ini rumahmu, Arthur? Maaf mengganggu malam-malam."

"Ada perlu apa ...?"

Demi kaus kaki basah milik Nyonya Pogr, aku tidak pernah menyangka seorang pria kaukasia dengan rambut acak-acakan yang menggedor pintu depan adalah orang yang sama dengan si pemberi sepatu ketika aku masih menjadi loper koran minggu lalu. Wajahnya sangar, napasnya memburu. Istrinya, Nyonya Schuhladen, berdiri di belakang punggungnya dengan wajah sebengis anjing gembala di sore hari.

Ada yang tidak beres dengan orang-orang ini ....

Bukannya menjawab pertanyaanku yang terakhir, Tuan Schuhladen menuding ruang tengah sambil berseru keras-keras. Racauannya bahkan bisa terdengar hingga kantor walikota dan membangunkan setengah warga kota andai saja aku tidak menghentikannya beberapa detik kemudian. Aku berusaha keras untuk menenangkannya, tetapi pria di depanku ini malah makin menjadi-jadi.

Tuan Schuhladen memaksa untuk masuk ke dalam rumah.

Istrinya tidak jauh berbeda. Sedari tadi, kulihat wanita itu mondar-mandir di jalan depan untuk mencari sesuatu. Ketika tengah meladeni Tuan Schuhladen yang hampir melewati pintu depan, wanita itu mengambil kesempatan untuk menunduk di salah satu sisi jalan, memungut beberapa batu, berlari cepat menghampiri rumah, kemudian melempar tiga batu besar yang ia pungut sebelumnya.

Satu mengenai dinding kayu hingga membuat bunyi tumbukan yang nyaring, satu meleset dan hampir mengenai suaminya yang sedang menggila, sedang sisa satunya yang berukuran paling besar mengenai jendela, memecahkan kacanya, lalu mendarat di atas selimut Annabeth. Annabeth berteriak sembari mencengkeram bahuku kuat.

"Demi Tuhan, Tuan dan Nyonya Schuhladen, kenapa kalian bertindak seperti orang gila malam ini?!" Aku tidak tahan lagi. Perduli setan dengan tata krama. Dua orang dewasa yang merusuh di depan rumahku pada tengah malam di permulaan musim dingin lebih tidak memiliki adab dibanding anak laki-laki dua belas tahun yang berteriak demi melindungi rumahnya.

Tuan Schuhladen berhenti sebentar setelah istrinya yang berkeriput dahi tiba-tiba sudah berada di sebelahnya. Sialnya, beberapa detik kemudian, kedua penduduk gila itu mencoba untuk menerobos pintu depan lagi. Aku bahkan harus memekik ke arah Annabeth agar bisa mengambilkanku sapu di dapur untuk memukul kepala pengrajin sepatu sinting ini.

"Mana sepatu yang kuberikan tempo waktu kepadamu, Arthur?!"

Hah?

"Sepatu?"

"Jangan pura-pura lupa!" raungnya.

Ah, benar juga. Aku hampir lupa kalau pasangan ini sudah memberiku sepasang sepatu sebelumnya.

"Di dalam. Jika tidak tenang, aku tidak akan mengambilnya," ancamku. Orang-orang ini berbahaya sekali jika bertingkah agresif seperti tadi. Annabeth mungkin sudah trauma karena sudah mendengar teriakan mereka sejak awal perbincangan.

"Aku tidak butuh sepatumu. Aku butuh koin emasmu, Arthur!"

"Maaf?"

"Kau sudah mengambil sepatu kulit hitam kami. Kalau kau tidak membayar kami dengan seratus koin emas, aku tidak akan segan-segan untuk melaporkanmu ke keamanan kota."

"Apa-apaan, Tuan?!"

"Kau tahu, tidak ada yang gratis di Scallian," ucapnya, "sepatumu satu pasangnya kupatok harga seratus koin. Tidak ada lagi penawaran. Kalau masih tidak mau membayar, aku akan melaporkanmu ke keamanan kota, Tuan Walikota, lalu ke Nyonya Griffith."

Orang ini benar-benar sudah gila. "Kalian sendiri yang memaksaku untuk menerimanya! Hadiah kecil, kata istrimu hari itu. Kenapa pula aku harus membayarmu untuk sepasang sepatu yang bahkan kualitasnya masih kalah jauh dengan sepatu kulit asal-asalan buatan anak panti itu?!"

Semakin lama digubris, semakin berkurang pula kewarasanku. Aku masih ingat jelas percakapan kami saban hari. Tentang bagaimana pria ini membuka pintu sambil tersenyum konyol, tentang suara istrinya yang berteriak dari dalam rumah, dan tentang paksaan mereka untuk menerima 'hadiah' yang sudah susah-susah pria ini jahit. Percakapan beberapa hari yang lalu dengan titahnya malam ini sama bertolak belakangnya dengan cacing tanah dan naga sisik emas.

"Aku tidak mau tahu. Kau harus membayarnya segera kalau memang mau pulang ke Blisshore. Ah, satu hal lagi, Arthur. Semua benda yang sudah diberikan oleh penduduk kota memiliki harganya masing-masing. Dengan dirimu menerima benda-benda itu saja sudah cukup untuk membuatmu menandatangani kontrak tidak langsung yang mewajibkanmu untuk memberikan koin emas yang harganya setara dengan harga barang-barang yang kau terima."

Tuan Schuhladen tersenyum puas. Ia menoleh ke istrinya, menciumnya dengan gerakan menjijikkan, lalu melongok ke belakang.

"Lihat, Arthur," ledeknya, "sepertinya beberapa penduduk kota lain ingin berbicara denganmu malam ini."

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Tuan Schuhladen serta merta berbalik sambil merangkul istrinya, mengarah ke kelompok kecil yang entah bagaimana caranya bisa sekonyong-konyong berada di jalan dekat rumah Bargin Meath Tua, menyapa salah seorang dari orang-orang itu, tertawa sekali, lalu menunjuk rumahku sebelum melenggang pergi dan menghilang dalam kegelapan malam bulan Desember.

Ya Tuhan ....

Sial.

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro