Gerbang Berkarat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pasrah.

Suara itu menyambutku untuk yang kedua kalinya, tapi aku sama sekali tidak senang atau pun merasa bersemangat.

Aku mendadak merindukan ember besi di sudut gedung utama panti yang setiap malamnya selalu dipenuhi dengan gombal kotor yang mengapung di air berwarna abu-abu, kue jahe dan susu almond, buku dongeng dan nyanyian pengantar tidur, langkah kaki Nyonya penjaga yang berpatroli di koridor Gedung A untuk memeriksa siapa saja anak panti yang masih terjaga di malam hari, serta segala hal yang berhubungan dengan panti.

Lucu jika mengingat bahwa aku sendiri yang kabur dari tempat itu malam tadi. Sekarang, dengan bodohnya aku kembali merindukan tempat itu. Ironi.

Suara itu tidak berbicara lagi. Alih-alih, gerbang besi tua di depanku malah bergegar dalam pola gerakan yang tidak biasa. Aku sudah mengira bahwa gerbang itu akan roboh, meledak, terpental ke atas langit atau semacamnya. Gerbang itu seperti dimain-mainkan oleh sebuah tangan raksasa yang tidak terlihat--aku sempat berpikir bahwa yang menggetarkan gerbang itu adalah makhluk yang sama dengan pemilik dari suara yang sempat berbicara kepadaku tadi.

Lama gerbang itu bergetar, dua menit penuh tanpa berhenti dan hanya melakukan getaran-getaran ganjil tanpa membuat pergerakan yang lain. Kemudian, ia berhenti. Ada asap tebal mengepul dari balik gerbang tersebut--lebih bisa dibilang sebagai awan yang terurai sebenarnya.

Suara engsel tua berkarat terdengar, dan bersamaan dengan hal tersebut, gerbang itu terbuka. Silau, aku tidak bisa melongok atau mengintip ke dalamnya. Mataku sampai sakit dan aku bersumpah akan membunuh diriku sendiri jika saja isi seluruh kota ini sama silaunya dengan cahaya yang keluar saat gerbang ini terbuka.

Untunglah, dugaanku tidak benar. Cahaya itu menghilang, melebur menjadi debu--akhir-akhir ini tebakanku sering sekali salah. Mengherankan.

"Silakan masuk!"

Ah, suara itu lagi. Apa lagi yang ia inginkan kali ini? Menyuruhku masuk? Tidak semudah itu sayangnya. Mungkin saja di depan sana ada sebuah kepala naga yang bisa menerkamku kapan saja jadi aku menolak perintahnya dengan senang hati.

"Tidak."

"Aku berjanji tidak ada apa-apa di depan sana."

Aku mencium kebohongan. Aku mendengar bunyi-bunyi keculasan--sudah banyak sekali orang yang membohongiku, jadi aku sudah terlatih untuk menyadari hal-hal picik seperti itu, minus Hisk.

"Aku tidak mau!" tolakku. Aku benar-benar tidak bisa mempercayainya. Ini juga demi kebaikanku.

Pun, aku rasa berita bahwa ada seorang anak laki-laki berusia selusin tahun yang ditemukan di bawah pohon oak inggris meranggas dengan kondisi kepala dan badan gosong, baju hangus menjadi abu, serta posisi terkapar yang tidak lazim seperti baru saja diserang oleh seekor naga tidak akan menjadi topik bahasan menarik bagi loper koran di kota--prajurit penjaga yang selalu menggaungkan bahwa mereka akan melindungi seluruh kota dari serangan naga yang terdengar palsu tapi sebenarnya ada juga pasti akan pura-pura menutup telinga mereka dan malah balik menyerang Nyonya penjaga karena dianggap sudah menjadikanku sebagai tumbal dalam praktik sihirnya.

Jadi, tidak. Aku tidak mau.

Suara itu menggeram, terdengar tidak senang. "Aku akan memastikan bahwa tidak ada naga di depan sana jadi kau tidak perlu khawatir. Asap itu bukan berasal dari lubang hidung seekor naga jadi kau akan aman. Cepat, masuk!" Suara itu nampaknya makin kesal dan menyuruhku untuk cepat-cepat masuk.

Dia bukan raja, ratu, pangeran, putri, bangsawan, perdana menteri, atau pun walikota. Dia bahkan tidak memiliki badan. Tapi entah kenapa, aku mau-mau saja diperintahnya seperti kuda yang dipecut oleh pemilik arena pacuan.

"Dari mana aku bisa mempercayaimu?"

"Aku tidak akan membunuhmu. Yang aku dan orang-orang di Scallian perlukan, terutama Nona Griffith, adalah seruling pengganti. Nyawamu tidak seberharga itu untuk kami ambil, kecuali jika kau bertemu dengan salah satu pedagang dari pertokoan roh. Sesimpel itu sebenarnya, tapi aku tidak tahu mengapa kau masih saja mencari alasan agar tidak jadi memasuki gerbang itu," jawabnya cepat.

Tinggal menunggu waktu sebelum siapa pun makhluk di balik suara itu meledak-ledak dan aku rasa kali ini adalah waktu yang tepat untuk menuruti perkataannya. Nada di kalimat terakhirnya juga sudah cukup untuk menunjukkan bahwa dia sudah frustasi dan itu sudah layak untuk bisa membuatku percaya dengan segala ucapannya. Ya, semoga saja.

Aku berjalan dengan langkah pelan dan konstan, sama seperti keledai milik Tuan Serth yang selalu membuat banyak warga kota kesal tiap kali pria tua itu membawanya ke perayaan Natal yang diselenggarakan di titik tengah--bukan baunya yang seperti jerami basah atau pun ringkikannya yang seperti tikus sekarat yang membuat banyak orang kesal, tapi jalannya yang lambat dan badan besarnya yang membarikade antrian.

Secara harfiah, aku menjadi keledai pria tua itu saat ini.

Aku bisa mendengar suara-suara aneh yang asalnya dari balik gerbang itu. Auranya tidak mengenakkan. Aku ingin balik badan dan memutar arah saja rasanya.

Tapi, karena aku bernyali besar dan Nyonya penjaga selalu mengajarkan kepadaku untuk berani ke semua orang--kecuali kepada Tuan tanah, jadilah aku menghilangkan segala rasa takut itu.

Jika dilihat dari jarak sedekat ini, gerbang itu ternyata lebih tinggi dari dugaanku. Membandingkan tinggi badanku dengan gerbang itu sama seperti membandingkan tinggi paus biru dengan ikan makarel. Bau karat besi yang bercampur dengan bau tanah memenuhi hidungku. Tapi, hei, sejujurnya bau semacam ini tidak terlalu buruk dan aku tidak akan mengeluh tentang hal tersebut.

Aku menahan napas. Baiklah, mari kita lihat apa yang ada di balik gerbang ini dan mari berdoa agar aku tidak melihat hal-hal seaneh kuda nil raksasa berbelalai atau ratu lebah dengan ukuran sebesar pohon
mapel duduk dengan manis tepat setelah aku melangkah masuk lebih jauh.

Tapi sebenarnya, jauh di daftar keinginanku, aku diam-diam berharap agar ekspektasiku menjadi kenyataan. Maksudku, tidak setiap hari kau bisa melihat hal-hal aneh jika tinggal di sebuah panti yang ada di kaki gunung. Hanya ada hutan, padang rumput, dan langit biru bergurat putih sepanjang mata memandang--oh, apakah aku belum menyebutkan kebun lobak dengan daunnya yang bolong-bolong itu?

Aku melongok. Walau aku sudah sedikit mempercayai ucapan suara tadi yang mengatakan bahwa ia tidak akan membunuhku, aku akan mengambil langkah aman. Melompat masuk ke dalam gerbang yang bahkan aku sendiri tidak bisa melihat dengan jelas apa yang ada di baliknya adalah keputusan yang terbilang dungu dan nekat sehingga aku tidak akan melakukannya.

Perhitunganku rupanya salah, tapi juga tidak benar. Bukan hewan-hewan abnormal yang kulihat tepat ketika aku menoleh ke kiri dan kanan bagian dalam gerbang. Ada hal lain yang kulihat. Salah satu hal yang sebelumnya sudah disebutkan oleh suara tadi yang entah mengapa bisa membuatku ketakutan setengah mati saat menatap tepat ke arah matanya.

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro