Gubuk Pinggiran Kota

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Singkat cerita, aku berjalan menuju rumah yang katanya sudah menjadi hak milikku itu dengan menggebu-gebu layaknya pelaut dari kawanan Viking rambut kuning yang baru saja menemukan pulau baru untuk dijajah.

Aku bahkan tidak sengaja menendang pot bunga merah muda dengan lurik kelopak anyelir yang berada di depan salah satu rumah penduduk setempat hingga menggelinding menuruni jalanan.

Suara itu menyuruhku untuk mengembalikan benda itu ke posisi semula. Karena malas, aku memperbaiki seadanya saja dan berjanji akan meminta maaf kepada siapa pun pemilik pot itu jika melewati daerah ini lagi nantinya--tentu saja aku berbohong di ucapanku yang satu ini. Aku akan pura-pura tidak tahu saja apabila dia menagih janjiku ke depannya.

Kota ini ternyata cukup besar dan ... aneh. Penduduknya berbentuk seperti manusia, itu yang penting. Namun, sejauh ini, setelah kuperhatikan betul-betul, tindak-tanduk mereka tidak mirip manusia.

Manusia mana yang bisa mengangkat gerobak besar penuh semangka seukuran kepala hanya dengan menggunakan satu jari kelingking saja? Orang paling kuat di Blisshore pun, yang katanya bisa mendorong sebuah gunung--ini bohong, nampak sekali tidak benarnya, pada akhirnya hanya kuat mengangkat semua barang yang memiliki berat di bawah seekor kuda gemuk setelah diuji oleh para penduduk kota.

Ada banyak tempat, bau, suara, dan makhluk-makhluk aneh yang kulihat dari tadi. Sayangnya, saat aku bertanya kepada suara tidak terlihat itu, aku dimarahinya habis-habisan. Ujarnya, ia bukan pemandu wisata, pendamping yang harus menjelaskan seluruh seluk beluk kota ini kepadaku, atau pun hal-hal semacamnya. Ia menyuruhku sendiri yang harus menjelajahi kota ini esok hari.

Lama kami berjalan, hingga kakiku merasa pegal, badanku menjadi layu, dan wajahku berubah pucat. Aku belum makan apa-apa sejak dua malam yang lalu--makanan terakhirku pun hanya semangkuk salad sayur yang bahkan setengahnya aku berikan untuk Hisk. Wajar saja jika saat ini aku menjadi lemas dan mulai berjalan dengan lunglai layaknya unta yang kedinginan. Tidak ada yang tahu seberapa lama aku tertidur sebelum bangun dalam kondisi kebingungan di tempat aneh ini.

"Kau akan makan setelah sampai di rumahmu nanti." Seakan bisa mendengar isi hatiku, suara itu mengutarakan bahwa aku bisa mengisi perutku lagi ketika sudah sampai di rumahku kelak--setidaknya itu hal yang bisa kutangkap dari ucapannya barusan, dan karenanya aku mendapat sedikit dorongan semangat.

Bangunan-bangunan di kota ini berjejer dalam pola gelombang naik-turun. Aku tidak tahu ini sengaja atau tidak, tapi jika dilihat dari jauh, gugusan bangunan itu tampak seperti gigi susu milik seorang bayi raksasa yang masih berantakan tata letaknya.

Kota ini masih memiliki pepohonan. Untunglah, setidaknya ada satu hal yang normal di kota ini.

Semua hal di kota ini aneh, bahkan hewannya juga!

Bagaimana tidak. Tadi, ketika aku melihat seekor kucing betina gemuk tengah duduk di dekat pagar bata milik salah satu rumah penduduk dan berniat untuk mengusirnya, binatang itu hanya menatapku galak sambil sesekali berdesis seperti ular. Binatang itu akhirnya melompat turun dari bata-bata merah tua itu, lalu secara ajaib berubah bentuk menjadi seorang wanita tua berjerawat dengan hidung panjang.

Dan mulai saat itulah aku bersumpah untuk tidak akan mengganggu hewan apa saja yang kulihat berkeliaran di kota ini. Di hari pertama saja aku sudah membuat perhitungan dengan salah satu penduduk kota ini, apalagi berhari-hari ke depannya kelak--dan aku bahkan tidak tahu akan berada di tempat ini hingga kapan.

Akhirnya, aku sampai juga di belokan kedelapan yang kata suara itu adalah belokan terakhir di kota ini--yang berarti bahwa rumahku ada di ujung jalan ini.

Tidak ada seorang pun yang bisa membayangkan betapa berbunga-bunganya hatiku ketika membayangkan bagaimana menyenangkannya bisa berkeliaran di rumah yang besar seorang diri dan berguling-guling di kamar yang luas tanpa ada pengganggu seperti kaki dipan, nakas, atau pun Hisk.

Pikirku seperti itu, padahal aku belum melihat rumah yang ia janjikan kepadaku seperti apa bentuknya. Aku sudah melayang terlalu tinggi hingga tidak bisa lagi turun ke bawah dan ketika kami berhenti di rumah terakhir yang ada di lorong ini, ekspektasiku hancur lebur dalam sekedipan mata.

Itu bukan rumah.

Itu adalah gubuk.

Kayunya lembap, reyot, dan baunya seperti lumut basah. Ada bercak hijau-biru di beberapa bagian dinding dan sekumpulan jamur putih berbatang kurus di dekat pintu masuk. Atapnya terbuat dari kayu gelondong tipis yang dilapisi oleh jerami kering. Terdengar bunyi tikus mencicit dari dalam gorong-gorong yang berada di sebelah gubuk.

Aku rasa aku tahu ke mana ini semua akan dibawa. Ia pasti akan mengatakan hal-hal menjengkelkan semacam, "Kau adalah tawanan kami, mana mungkin kami akan memberikan tempat tinggal yang layak untukmu", "Tidak sepeser koin perak pun yang kau bayarkan ke kota ini jadi untuk apa aku bersusah-susah mencari rumah sewaan yang bagus untukmu", dan peranakannya.

Dan ternyata memang benar. Dia memarahiku ketika melihat perubahan ekspresiku yang terbilang drastis seperti jumlah kelopak bunga di akhir November dengan di awal bulan Desember--aku berada di pihak awal Desember kali ini. Layu.

Keadaannya lebih parah ketika aku mencoba untuk membuka pintu depan. Ada bunyi dentuman aneh ketika aku mendorong papan lapuk itu yang sampai sekarang pun aku masih tidak tahu itu suara apa. Bau bacin bercampur pesing menguar, mencari cara untuk menggelitik penciumanku hingga membuat aku harus menutup hidung rapat-rapat karenanya.

Ini benar-benar mimpi buruk. Aku tidak tahu apakah aku bisa bertahan barang untuk satu malam jika aku diharuskan tidur di dalam bangunan tidak menyenangkan ini.

Sisi baiknya, bangunan ini terbilang luas untuk ukuran sebuah gubuk--luasnya sama besar dengan lima kamar di Gedung A jika digabungkan dan itu sudah cukup untuk membuatku sedikit terhibur.

Kamarku ada di dekat ruang depan. Bagian dalamnya lebih menjijikan daripada di bagian luar. Bau alkohol dan bangkai tikus bercampur menjadi satu. Lantainya basah dan dingin, serta berlendir bau. Ada perapian tua di dalam kamar ini, tapi isinya kosong dan basah. Ini belum badai, angin sore pun belum ada, tapi aku sudah bisa mendengar angin bersuit-suit melewati celah dinding-dinding papan. Sarang laba-laba di mana-mana.

Kusen jendelanya sudah buyar setengah--dirampok para penjarah dari hutan gelap katanya. Kacanya retak, atapnya bocor, dan masih ada bagian lantai yang belum ditutupi oleh papan kayu. Selain lemari berbau busuk dan kotak kayu yang belum aku periksa isi di dalamnya apa, tidak ada lagi benda lain di dalam kamar ini.

Aku belum mau mengecek dapur dan kamar mandi karena perasaanku sudah tidak enak sejak berada di pintu depan.

Haahh ....

Semoga aku bisa selamat malam ini.

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro