Hari Memetik Beri

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lagipula, kenapa kau malam-malam malah keluar kamar? Jelas-jelas lebih baik tidur daripada keluyuran di halaman panti."

Aku menoleh. Hisk ada di sebelahku. Ia menyuap sesendok bubur kemudian kembali mengoceh. "Untung kau tidak membangunkanku tadi malam."

Perkataan Hisk tidak kugubris sama sekali. Ternyata dia masih bisa mengejekku setelah tahu kejadian yang menimpaku malam tadi. Aku ingin sekali memecatnya sebagai rekan sekamarku saat ini juga jika saja aku tidak ingat kalau anak ini selalu menemaniku untuk buang air kecil tiap tengah malam.

Aku menghela napas bosan. Sarapan di depanku tidak menggugah selera sama sekali. Bubur lembek dan susu almond sama tidak menariknya dengan jerami basah dan air bekas mencuci kentang. Kejadian tadi malam masih menghantui pikiranku bahkan setelah aku jatuh tertidur selama beberapa jam.

Hisk tidak percaya ketika aku menceritakan tentang suara seruling aneh yang membawaku ke dalam masalah ini. Ia mengaku tidak mendengar apa-apa.

Aku sudah mau mempercayainya sebelum aku tersadar akan fakta bahwa ia adalah orang yang tidak akan mudah terbangun hanya karena sebuah suara kecil. Suara seruling yang kudengar terlalu lembut untuk bisa membuatnya tersadar. Jadi, argumennya tidak akan valid kali ini. Aku akan bertanya ke anak panti yang lain saja sepertinya.

Bubur dan susu almond yang ada di hadapanku tidak kusentuh sama sekali. Nyonya Penjaga pasti akan marah ketika melihat piringku masih penuh. Ah, persetan dengan sarapan. Aku harus mencari tahu siapa yang membuat suara seruling aneh tadi malam.

Aku kembali memikirkan segala dugaan perihal siapa--atau apa yang menjadi asal suara tersebut.

Penjarah? Sepertinya tidak mungkin. Mana ada penjarah yang membuat suara bising sebelum membobol rumah seseorang.

Hewan? Aku suka membaca dan mengamati hewan-hewan di hutan. Tapi, sejauh ini, aku belum pernah menemukan hewan yang bisa membuat suara seruling--atau bahkan memainkannya semerdu itu. Jangankan dimainkan, memegang seruling saja barangkali hanya bisa dilakukan oleh beruang—itu pun setelahnya akan ia patahkan karena tidak beraroma daging merah.

Orang aneh? Kalau yang ini mungkin saja. Ini salah satu praduga yang paling masuk akal. Namun, orang seaneh apa yang mau memainkan seruling di tengah hutan tanpa nama dengan gagah berani?

Ah, semakin kupikir, kepalaku rasanya makin sakit saja. Kepalaku mau meledak! Lebur semua pikiranku karena seruling tadi malam.

Menyedihkan.

"Hei!"

Lamunanku buyar seketika. Hisk kembali memanggil sambil menepuk pundakku. Wajahnya cemberut karena merasa tidak aku hiraukan sedari tadi.

Aku membalas tatapan bersungut-sungutnya. Salahnya karena sudah menjungkirbalikkan suasana hatiku pagi ini. Karenanya, aku jadi tidak bersemangat lagi untuk menjalani hari.

Padahal nanti kami akan dibawa ke hutan untuk memetik beri ....

Aih, sial.

"Hei!"

"Apa?!" Kekesalanku sudah berada di puncaknya. Aku membentaknya cukup keras hingga membuat anak-anak lain menoleh ke meja kami.

Hisk tersentak. Badannya sedikit mundur ke belakang. Raut wajahnya masih merengut. Tanpa banyak basa-basi, ia langsung menunjuk ke arah mangkuk dan gelasku.

"Kalau kau tidak mau memakan sarapanmu, berikan saja kepadaku! Masalahmu sudah cukup banyak. Sinting namanya jika kau masih mau menambah persoalan lagi."

Hisk melipat tangannya di depan dada. Ia membuang muka dan pura-pura tidak mau menatapku. Perang mulut kecil tadi disulutnya hanya karena ia ingin mengambil jatah sarapan pagiku.

Cih.

Aku kira dia marah karena tidak kuperhatikan.

Ya sudahlah. Daripada bubur dan susu almond yang sudah Nyonya Penjaga buat dengan susah payah harus terbuang cuma-cuma, aku pun memberikan satu porsi makan pagiku kepadanya.

Lagipula, setelah ini kami akan pergi ke hutan. Aku akan memakan beri liar sebanyak mungkin hingga bisa membuatku kenyang sampai esok pagi. Bersiap-siap juga lebih tepatnya, sebab malam nanti tidak akan ada kue jahe dan susu hangat sebagai pengantar tidurku, dan semua hanya karena suara seruling sialan itu.

"Katamu, kau menemukan sesuatu di hutan belakang gedung. Benar begitu?" Suasana hati Hisk sudah membaik. Ia kembali mengajakku berbicara dan mulai menanyakan tentang cahaya yang kulihat semalam.

Hoho, dia mulai tertarik sepertinya.

"Ya ... aku hanya melihat sebuah cahaya yang berpendar di dekat semak mulberry."

"Ah, cahaya itu. Aku juga melihatnya!"

"Kau ... serius?"

"Tentu saja tidak. Aku tertidur tadi malam. Bagaimana mungkin aku bisa melihat cahaya di hutan seperti yang kau bicarakan tadi."

Aku tersenyum getir mendengar balasan yang ditunjukkan oleh Hisk. Andai saja dia tahu betapa kesal dan penasarannya aku terhadap dua hal tersebut tadi malam, sudah pasti dia tidak akan mengejekku seperti ini.

"Tapi, bukankah hari ini hari yang bagus untuk mencari tahu?"

Aku menoleh sambil menekuk alis. "Maksudmu?"

"Jangan berlagak bodoh. Kita akan pergi ke hutan untuk mencari buah beri dan inilah kesempatanmu untuk berkeliaran di tempat itu tanpa harus dilarang oleh Nyonya penjaga." Hisk memasukkan suapan bubur terakhir setelah ia menyelesaikan kalimatnya.

"Kau ... benar juga."

•••

Saat ini, kami sudah berada di halaman panti. Angin pagi berembus pelan menerbangkan bunga dandelion yang tumbuh liar di tanah. Rumput tetap hijau dan pohon oak mulai meranggas. Sebentar lagi musim dingin dan beberapa tupai terlihat mulai menyimpan biji kenari mereka di dalam lubang pohon.

Kami berbaris dalam dua garis lurus. Masing-masing di antara kami menenteng keranjang anyaman sebagai tempat untuk mengumpulkan buah beri. Beberapa anak terlihat berbisik dan merencanakan lomba kecil-kecilan untuk melihat keranjang siapa yang paling cepat penuh.

Aku cenderung tidak peduli. Yang aku inginkan saat ini hanyalah kebenaran di balik cahaya biru berpendar yang aku lihat kemarin malam. Ah, anggap saja buah beri yang kukumpulkan kelak sebagai bonus dari petualanganku hari ini.

Nyonya Penjaga menghitung satu per satu di antara kami. Ia benar-benar memastikan tidak ada satu pun anak yang belum berbaris, masih tertidur di kamarnya, atau menghilang dibawa Tuan Tanah. Benar-benar wanita yang baik.

"Kau sudah memutuskan untuk mulai mencari cahaya itu dari mana?" Hisk yang berbaris di depanku berbalik ke belakang. Ia memeluk keranjangnya sembari bertanya kepadaku.

Aneh.

Ada sekat tipis antara 'benar-benar penasaran dengan ceritaku tadi pagi' dan 'tidak memiliki kawan mengobrol lain' jika dihubungkan dengan sikap Hisk sejak insiden di meja makan tadi pagi.

Aku menjawab sekedarnya. "Di dekat semak-semak," jawabku singkat. Untungnya, ia cepat mengerti dan tidak bertanya lebih jauh. Hisk mengangguk cepat, kembali menghadap ke depan, lalu menunggu waktu sampai Nyonya Penjaga memperbolehkan kami memasuki hutan.

Tak lama, dengan dipimpin oleh Nyonya Penjaga yang berada di barisan paling depan, kami mulai memasuki hutan. Pepohonan rimbun dan rapat menyambut kedatangan anak-anak panti. Ranting pohon membungkuk, burung jay menyapa, dan semak elderberry membukakan jalan untuk kami.

Sekarang adalah musim kawin bagi tupai abu-abu. Jadi, bukan hal yang aneh lagi ketika aku melihat beberapa pasangan dari pengerat itu tengah bermesraan di ranting pohon. Hewan berbulu itu bahkan pernah memasuki gedung utama panti empat kali di tahun ini. Rekor baru jika dibandingkan dengan jumlah kunjungan terbanyak di tahun kemarin yang hanya mencapai angka di bawah tiga.

Hewan aneh. Seharusnya, yang saat ini patut mereka khawatirkan adalah bagaimana caranya bertahan hidup di musim dingin alih-alih memikirkan tentang bagaimana cara memperbanyak keturunan.

Daun-daun hijau seakan punah dari hutan ini. Kelinci-kelinci tanah mulai mempersiapkan kegiatan tidur panjang mereka. Dari sejak memasuki hutan tadi, aku tidak melihat seekor kelinci pun yang keluar dari liang tanah di dekat pohon. Aku harap tidak ada satu pun dari hewan bertelinga panjang itu yang sendirian saat sedang berhibernasi tahun ini atau kematian akan menjemput mereka secepat kilat mengantarkan percikan.

Nyonya Penjaga memberi aba-aba ketika kami telah sampai di area yang penuh dengan semak beri. Mulutku berair ketika melihat buah-buah berwarna merah itu. Pasti rasanya akan manis sekali jika dijadikan selai.

Tanpa berpikir lama, anak-anak panti mulai mengambil tempat dan membuat negara-negara kecil dalam versi semak belukar. Untunglah, walau tidak terburu-buru, aku masih bisa menemukan semak dengan banyak buah beri di dalamnya. Ah, beruntungnya aku.

Sialnya, suara itu datang kembali. Telingaku mendadak bengap ketika sedang semangat-semangatnya dalam memetik mulberry. Aku menoleh dan memperhatikan anak-anak panti lain. Tidak ada yang menunjukkan gejala-gejala aneh. Sepertinya hanya aku saja yang kembali mendengar suara seruling itu.

Aku sudah muak. Aku sudah bosan mendengarnya. Jangan sampai aku menjadi gila hanya karena suara seruling yang terus berputar-putar di telingaku.

"Kau mendengarnya?"

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro