Suara Aneh di Halaman Panti

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku sudah mencoba untuk tidak menghiraukan suara itu sekuat tenaga. Pikirku, itu pasti salah satu trik licik yang dimainkan oleh para penjarah rumah. Bisa mati aku jika terpancing oleh tipuan murahan mereka.

Tapi apa daya, suara itu masih terngiang-ngiang di pikiranku. Aku sudah menutup telingaku tetapi suara sialan itu masih bisa menyusup entah bagaimana caranya. Aku frustasi. Cukup mataku saja yang membangkang, telingaku jangan.

Akhirnya, aku memutuskan untuk berdiri dan melihat siapa gerangan pencipta suara terkutuk ini. Aku beranjak dari kasurku dan berjinjit untuk mencapai kusen jendela.

Ck, berdebu—lupa kubersihkan.

Kosong. Halaman samping kosong. Tidak ada siapa-siapa di sana. Daerah itu hanya dipenuhi oleh kunang-kunang dan rumput hijaunya dipeluk cahaya bulan.

Aneh sekali. Jelas-jelas suara itu berasal dari halaman samping. Namun ... halaman itu lengang dan sepi seperti gedung utama panti di malam hari.

Aih, atau telingaku saja yang bermasalah dan berhalusinasi dari tadi?

Ah, aku tidak tahu lagi! Aku sudah letih dan aku butuh istirahat saat ini. Secepatnya!

Aku mendengkus dan kembali menyapa pembaringan. Kembali, aku berbaring sambil menutup mataku paksa. Rasa kantuk mulai menyerangku, begitu juga dengan suara seruling tadi yang masih berpesta di kepalaku.

Tak ayal, rencanaku untuk tidur cepat hancur lebur gara-gara bising dari seruling itu. Telingaku pengang dan aku tidak tahan lagi. Aku harus mencari tahu siapa--atau apa yang membuat suara itu.

Aku beranjak dari kasurku untuk yang kedua kalinya. Tak lupa, aku kembali melirik ke luar jendela. Sunyi. Masih kosong melompong seperti aula kota di hari Minggu.

Pada awalnya, aku berniat untuk membangunkan Hisk dan memintanya untuk menemaniku mencari sumber suara itu. Bagaimanapun juga, aku masih memiliki rasa takut. Menemukan anak kecil seumuranku yang tidak memiliki rasa takut sama tidak mungkinnya dengan menemukan naga bersisik emas yang tinggal di rumah jamur dekat danau.

Niatku begitu. Namun, ketika mendengar dengkurannya dan melihat wajahnya yang sudah jauh terlelap ke dalam dunia mimpi--jika dibangunkan pun, kemungkinan besar dia tidak akan mau ikut kecuali diberikan gula-gula merah muda yang saat ini tidak mungkin bisa kumunculkan tiba-tiba--, aku memutuskan untuk pergi sendiri. Dia juga pasti sudah kelelahan setelah bekerja seharian penuh sejak pagi tadi. Aku pasti akan merasa bersalah jika waktu tidurnya yang berharga harus terpotong karena ulahku.

Jadilah, aku akan keluar sendiri. Jarak halaman itu dengan pintu depan hanya beberapa jengkal. Jadi, aku yakin aku akan baik-baik saja kelak.

Aku memakai alas kakiku. Rasa dingin langsung menjalar dari telapak kaki, ke betis, pinggang, perut, hingga puncak kepala. Malam ini entah kenapa terasa lebih dingin dari malam-malam sebelumnya. Hmm ... mungkin ini karena musim dingin akan berlangsung sebentar lagi. Bisa saja angin-angin dingin yang nakal memutuskan untuk menjelajahi kota ini lebih cepat dari jadwal yang ditentukan oleh Tuan Santa.

Dengan mengendap-endap, aku berjalan menuju pintu kamar. Pintu kayu itu kubuka dengan perlahan dan aku langsung bergegas menuju pintu utama gedung setelahnya.

Tanpa mendapatkan kesulitan yang berarti, aku berhasil mencapai pintu depan. Untungnya, lampu di koridor tidak dimatikan oleh Nyonya Penjaga untuk mencegah datangnya para perompak yang mengincar daging kami untuk dijual di pasar gelap.

Aku tidak tahu harus senang atau sedih ketika menyadari fakta ini. Harga listrik sangat mahal jika dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Selain itu, lampu bohlam hanya bisa bertahan beberapa bulan saja jika terlalu sering dinyalakan.

Aku takut jikalau panti ini bangkrut karena hal tersebut, maka tidak akan ada lagi tempat bagi anak-anak seperti kami untuk tinggal.

Tidak. Aku tidak mau menjadi gelandangan di jalanan kumuh di pusat kota atau menumpang tidur sebagai pelayan di bar-bar dekat kantor walikota. Aku tidak mau dan tidak akan pernah mau untuk hidup di sana.

Aih.

Pun, bukan itu yang harus kupikirkan saat ini. Pusat perhatianku adalah suara seruling yang entah mengapa masih bisa kudengar bahkan setelah aku keluar dari kamarku.

Aku menarik gagang pintu dan membukanya tanpa menimbulkan suara-suara yang tidak diinginkan. Bunyi sekecil apa pun bisa membuatku tertangkap basah oleh Nyonya Penjaga. Jadilah, aku lebih memilih untuk bermain aman.

Kulangkahkan satu kakiku ke luar gedung. Tapi, sekonyong-konyongnya Tuan Brutus yang meninggalkan pengadilan minggu lalu, angin malam ini lebih tidak sopan lagi dalam menerobos masuk dan mencuri semua kehangatan tubuhku. Aku menggigil, gemetaran, dan kedinginan luar biasa hingga harus membuatku memeluk diriku sendiri.

Akan tetapi, hei, dunia di luar panti saat malam hari tidak seburuk itu ternyata! Aku selalu membayangkan dunia yang kelam, kejam, dan penuh dengan monster raksasa berkepala rusa seperti yang biasa ditulis oleh literatur atau diceritakan oleh Nyonya penjaga.

Namun, apa yang kudapat? Kenyataannya, yah ... tidak banyak hal yang menarik sebenarnya. Aku hanya bisa melihat pemandangan luar panti seperti yang biasa kulihat di siang hari, tetapi dalam versi gelap. Itu saja, tidak lebih.

Aku melangkahkan kakiku ragu. Gedung B sudah gelap gulita. Lampu-lampu kamar sudah anak-anak panti matikan nampaknya. Meski begitu, suara gaung seruling tadi masih terdengar dan kian jelas seiring dengan makin jauhnya diriku berjalan dari pintu panti.

Dengan hati-hati, aku berjalan menuju halaman samping. Aku berjinjit agar tidak menimbulkan kebisingan sekecil apa pun. Aku mulai panik ketika lupa untuk membawa senjata tajam atau benda lain yang bisa menjadi alat untuk melindungi diri.

Ah, masa bodoh dengan itu semua. Aku hanya ingin agar suara itu berhenti dan jika aku nekat untuk kembali ke dapur demi mengambil penggiling roti atau sendok kayu, kemungkinanku untuk ketahuan akan terbuka semakin lebar.

Aku bersembunyi di belakang tali yang biasa dipakai untuk menjemur cucian. Kain-kain yang belum sempat dibawa ke dalam gedung utama berkibar tertiup angin malam. Pandanganku menjelajah, pikiranku mengawang.

Suara itu belum berhenti. Namun, aku masih belum bisa menemukan siapa yang terlalu iseng untuk meniup seruling di tengah antah berantah malam-malam begini.

Aku sempat berpikir bahwa itu adalah salah satu dari sekian banyak orang gila yang melarikan diri dari pasung ke daerah pegunungan. Namun, belum ada laporan dari para penjaga kota tentang menghilangnya orang-orang aneh itu. Dugaanku yang ini sepertinya salah.

Paling tepat rasanya jika menyebut bahwa seruling itu dimainkan oleh orang-orang jahat yang ingin menipu penduduk kota untuk merampas barang bawaan mereka. Sekarang ini, model kriminal tersebut makin menjamur saja rasanya.

Aku harap panti kami tidak perlu berurusan dengan hal-hal semacam itu.

Aku memutuskan untuk berjalan menuju tengah lapangan. Barangkali ada sebuah petunjuk yang bisa menuntunku menemukan suara itu.

Langkahku terhenti ketika melihat seberkas cahaya berkelip dari kejauhan. Asalnya dari dalam hutan yang biasa kami masuki ketika ingin memetik buah segar atau bermain dengan kawanan kelinci di sebuah lubang di dekat pohon besar.

Tentu saja aku merasa penasaran dengan cahaya itu!

Kunang-kunang tidak mungkin bisa menghasilkan cahaya seterang ini. Lampu minyak dan bohlam sekali pun bahkan mungkin masih belum bisa mencapai tingkat kesilauan dari cahaya itu. Lebih terang dari sinar bulan musim panas, lebih biru daripada rumpun bunga jintan manis. Lagipula, cahayanya berwarna biru. Mana ada kunang-kunang berwarna biru.

Memangnya aku tinggal di dunia fantasi, apa?

Aku mendekatinya dan berjalan menuju hutan. Bersamaan dengan semakin jauhnya aku berjalan, suara seruling itu kian keras. Aku semakin yakin bahwa cahaya ini mempunyai hubungan erat dengan suara pengganggu yang kudengar dari tadi.

Tapakku kembali terhenti ketika sebuah suara yang familiar memanggilku dari kejauhan. Tak ubahnya patung, aku diam membeku. Adrenalinku membuncah, keringat dingin mulai bercucuran, sekujur tubuhku menjadi air terjun keringat malam. Aku tahu betul ini suara milik siapa.

Aku berbalik, melihat siapa wanita yang memanggilku barusan, dan menunduk malu setelahnya.

"Duh, sayang sekali. Ucapkan selamat tinggal pada susu dan kue jahemu esok malam!"

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro