Panti Asuhan Sunnywood

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beberapa penduduk pernah melihat awan besar janggal nun jauh di langit Blisshore.

Di pagi hari, seorang perangkai bunga pernah melihatnya menyembul di balik puncak gunung. Di siang hari, seorang penebang kayu berjanggut jangkar pernah melihatnya bersembunyi di balik kanopi pohon dedalu jantan dengan malu-malu. Di malam hari, beberapa pria pemabuk pernah melihatnya melayang-layang di bawah sinar lembut bulan sabit Agustus.

Tidak ada yang tahu pasti dengan keberadaannya, tetapi tidak ada seorang warga kota pun yang mau melihat awan aneh tersebut mendatangkan masalah bagi Blisshore.

-Seorang penduduk kota dari jalan bawah-

*****************************************

Ini adalah hari ... ah, aku tidak tahu ini hari apa. Lagipula, pentingkah jika aku menghafal tanggal dan hari saat ini? Nyonya Penjaga Panti dan semua orang di kota pasti tidak akan peduli terhadap hal tersebut.

Ah, yang pasti, siang tadi aku baru saja menjalankan giliranku untuk memanen labu di kebun belakang. Untungnya, tugas kali ini tidak seberat tugas minggu lalu. Memotong batang labu tidak pernah sesulit pergi ke pasar demi membeli bahan baku untuk membuat pai apel.

Bagaimanapun juga, badan seorang anak laki-laki berumur dua belas tahun mana yang tidak akan merasa letih setelah bekerja seharian penuh? Aku juga manusia dan wajar jika aku letih. Jadilah, malam ini aku memutuskan untuk langsung masuk ke kamar dan beristirahat secepatnya. Esok pagi masih ada kegiatan-kegiatan lain yang harus kami lakukan--barangkali membersihkan gudang belakang atau membantu Pak Belbard tua dari ujung jalan yang dari kemarin terlihat kesusahan ketika menyapu daun kering yang ada di halamannya.

Malam ini sunyi senyap. Hanya aku seorang yang sedang berada di Gedung A. Tadinya, aku ingin mengajak Hisk untuk menemaniku mengobrol sebelum tidur atau setidaknya membaca satu dongeng pengantar tidur di bawah cahaya remang lampu minyak. Namun apa daya, lelaki itu masih belum kenyang.

Aih. Padahal tadi dia sudah menghabiskan dua piring salad sayur. Dia benar-benar rakus rupanya.

Aku memang berniat untuk beristirahat secepatnya ....

Sialnya, mataku tidak bisa terpejam di kala tubuhku ingin sekali meliburkan diri beberapa jam. Aku merutuk dan langsung merajuk entah kepada siapa.

Sial.

Aku benar-benar tidak bisa tertidur.

Aku sudah mencoba berbagai posisi. Menyamping, terlentang, tengkurap, hingga memangku kepala menggunakan tangan. Tetap saja, usahaku untuk cepat tidur sia-sia saja. Terkutuklah mataku!

Aih.

Yang bisa aku lakukan saat ini hanyalah berguling-guling di atas dipan. Mungkin dengan begini, badanku akan semakin lelah dan aku akan makin cepat tertidur. Walau aku tahu hal itu lumayan mustahil, tetapi tidak ada salahnya untuk mencoba, bukan?

Cahaya bulan menyusup masuk melalui kaca jendela kamar yang transparan. Aku berhenti berguling-guling setelah merasa lelah namun tidak mengantuk. Sia-sia saja usahaku dari tadi.

Aku menatap kosong ke dipan kayu yang ada di sebelahku. Hisk belum kembali dari makan malamnya. Mungkin saat ini ia tengah mengobrol dengan anak panti yang lain perihal sulur beracun di hutan belakang yang akan menyusahkan sekali jika sampai terinjak.

Malam belum begitu larut, tetapi suara jangkrik bising terdengar. Lolongan serigala hilang timbul menemani suasana malam yang lengang di Blisshore.

Aku melamun. Satu hal yang selalu kulakukan ketika tidak tahu lagi harus melakukan apa. Aku mengapung, berenang, dan mulai tenggelam dalam pikiranku.

Memutuskan untuk tinggal di panti yang dikelilingi oleh pegunungan tinggi menjulang merupakan sebuah keputusan yang entah harus aku syukuri atau tidak. Sejak kepergian Ibu, tidak ada lagi orang yang mau mengurusku. Paman dan Bibi seakan menutup mata dan berpura-pura tidak pernah mengenalku.

Aku kembali teringat saat-saat menyedihkan itu. Gundukan tanah basah tempat Ibu tertidur selalu membayangiku hingga hari ini. Pada hari itu, aku menangis sejadi-jadinya. Belum selesai dengan kesedihanku karena Ayah yang tiba-tiba menghilang, Ibu malah ikut pergi dari kehidupanku.

Sejak hari itu, aku terpaksa bertahan hidup sendirian. Namun, apa yang bisa diharapkan dari diriku tiga tahun yang lalu? Mengangkat satu ikat besar kayu bakar saja aku tidak sanggup, bagaimana pula aku bisa menghidupi diriku sendiri.

Untunglah, Tuan Walikota mendapat kabar tentang kondisiku yang memprihatinkan. Aku belum bisa hidup mandiri rupanya. Jelas sekali bahwa aku masih membutuhkan bantuan orang lain, paling tidak untuk menyambung hidup.

Dan di sinilah kehidupan baruku yang lebih baik dimulai. Aku masih ingat dengan jelas hari pertama ketika aku masuk ke dalam komunitas kecil ini. Mereka menerimaku dengan senyum terhangat mereka.

Aku diberikan pakaian yang layak, tempat tinggal yang nyaman, dan makanan-makanan lezat yang Nyonya Penjaga Panti masak setiap hari. Ah, jangan lupakan juga anak-anak lain yang selalu menemaniku dari hari ke hari--beberapa menyusahkan seperti Hisk, tetapi masih banyak juga yang mau membantuku ketika mendapat giliran mencuci piring.

Aku bersyukur bisa menjadi bagian dari panti asuhan ini.

Aku sepertinya terlalu jauh melamun hingga aku tidak menyadari bahwa seseorang telah menghidupkan lampu di koridor. Bersamaan dengan gelap yang sedikit berkurang, aku juga bisa mendengar derap langkah kaki kecil milik anak-anak panti lain.

Jam makan malam sudah selesai dan sekarang waktunya anak-anak panti untuk tidur. Tidak ada seorang anak pun yang mau mengakali jam tidur mereka. Alasan paling utamanya adalah karena  esok hari masih ada kegiatan lain yang menunggu atau karena mereka takut tertangkap basah oleh Nyonya penjaga--susu dan kue pengantar tidur terlalu berharga bagi anak-anak panti dan jika mereka tertangkap basah belum tidur, mereka harus mengucapkan selamat tinggal bagi kedua cemilan tersebut di keesokan harinya.

Malam ini akan berakhir sesegera mungkin dan esok hari akan menyapa. Aku tidak sabar mendengar apa saja kegiatan yang akan kami lakukan besok. Kudengar-dengar dari anak panti yang tidur di Gedung B, besok adalah hari memetik buah beri di hutan.

Aku berharap perkataan anak itu benar, tetapi aku lebih berharap agar mataku bisa cepat terpejam. Aku tidak mau terbangun telat esok pagi hanya karena tidak bisa tidur malam ini.

"Eh, kau masih terjaga?" Aku mendengar sebuah suara konyol yang familiar bersamaan dengan terbukanya pintu kamar. Aku terbangun dan mengambil posisi duduk lalu melihat siluet seseorang yang seumuran denganku.

"Belum," jawabku malas. Hisk menutup pintu di belakangnya dan berjalan menghampiri tempat tidurnya. Wajahnya terlihat puas dan tangan kanannya mengusap-usap perutnya yang begah.

"Kau pasti menyesal karena terlalu cepat pergi meninggalkan meja makan. Nyonya penjaga membuat pai apel dalam jumlah lebih dan karena kau tidak ada, terpaksa aku yang menghabiskan jatahmu." Begitu katanya, kemudian lanjut tertawa seperti orang bodoh dan menatapku dengan pandangan meledek.

Aku tidak peduli. Aku tidak terlalu suka manisan. Ah, sebenarnya, aku tidak terlalu suka makan. Perutku cepat penuh dan dengan sepotong kue saja aku sudah bisa merasa kenyang untuk delapan jam ke depan. Mungkin karena itu jugalah badanku menjadi kurus seperti ini.

Menyedihkan.

Aku kembali menatap Hisk yang tengah terduduk lemas di atas ranjangnya. Tidak ada buku dongeng, pena, ataupun kacamata baca di dekatnya saat ini--anak ini sudah rabun dekat walau umurnya masih belum bisa mendapat izin untuk masuk ke tempat minum-minum. Tebakanku, ia tidak akan mengajakku membaca cerita dongeng malam ini.

"Ah, maaf. Aku sudah mengantuk jadi aku tidak sempat membawa buku dongeng dari ruangan Nyonya penjaga. Lagipula, kata Nyonya, besok adalah hari yang menyenangkan. Jadi ...."

"Jadi apa?"

"Tidak ada. Aku hanya mau tidur cepat saja malam ini, haha."

Aku berdecih. Jika saja ia tahu bagaimana susahnya mataku untuk terpejam malam ini, aku yakin ia tidak akan tertawa seperti tadi. Dan lagi, karena ia tidak membawa buku dongeng seperti malam-malam sebelumnya, aku tidak tahu lagi harus membunuh waktu dengan cara apa.

Hisk tertidur hanya dalam beberapa menit setelah ia membaringkan tubuhnya di atas kasur. Aku merasa iri dengan kemampuannya yang bisa dengan mudah sekali terlelap dan dalam waktu yang singkat. Tidak adil.

Aku kembali berbaring dan memejamkan mataku dengan paksa. Udara dingin dan angin malam yang masuk melalui celah-celah kamar menjalari tubuhku. Aku menarik selimut, menutupi bagian kaki hingga leher--untuk menghindari nyamuk, tentu saja--, lalu mempererat pelukannya.

Alih-alih tertidur, aku malah mendengar sesuatu dari samping kamarku. Sebuah suara seruling dari kejauhan.

Sebuah suara aneh yang membuatku mati penasaran terhadapnya.

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro