Sepeda Tinggi dari Tuan Gulliver

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pria itu, yang setelah beberapa kali kutanya akhirnya menjawab bahwa namanya adalah Tuan Gulliver, mengantarku ke bagian belakang ruang kerjanya. Ternyata, ruang tadi hanya ia gunakan untuk menulis berita-berita baru yang sudah ditaburi bumbu-bumbu dan yang harus memasukkannya ke dalam surat kabar adalah pekerjanya yang lain.

"Apa yang harus aku lakukan nanti?"

"Sudah jelas, kan?" Tuan Gulliver tetap berjalan. "Kau akan menjadi loper koran dan pengantar susu untuk Scallian."

"Ya, tapi apa yang lebih tepatnya harus kulakukan kelak? Tidak mungkin kan kalau aku melemparkan gulungan-gulungan koran tersebut secara sembarang?"

"Ah, benar juga. Aku lupa memberitahumu," ucapnya. Kukira ia akan berhenti dan memberikan informasi apa saja yang barangkali kubutuhkan saat bekerja kelak tapi yang ada, dia malah lanjut berjalan.

Aku tidak menyangka bahwa di belakang bangunan yang kelihatannya tidak terlalu besar ini, ada sebuah bangunan lain--lebih terlihat seperti lumbung. Ramai. Ada banyak orang-orang cebol mondar-mandir di tempat itu.

"Itu rekan kerjamu, jika kau tanya aku. Tapi tenang saja, nantinya kau akan bekerja sendirian," kata Tuan Gulliver, lalu menyerong masuk ke dalam bangunan itu.

Aku mengekorinya dari belakang. Bagian luarnya terlihat aneh. Dinding kayunya berwarna kuning kenari dan ada patung kepala naga ditempel di bagian atas dindingnya--orang-orang di kota ini benar-benar menyukai segala hal yang berbau naga sepertinya.

Bagian dalamnya untung saja tidak seburuk yang kubayangkan. Aku sudah membayangkan tempat yang berantakan dan penuh dengan tanah liat mengingat gerak-gerik orang-orang cebol tadi di luar. Tapi yang kulihat, tempat itu terbilang cukup rapi untuk ukuran sebuah tempat percetakan.

Ruangan ini berbau gula-gula dan kalkun bakar. Ada tenda kuning bergaris di pojok ruangan yang kata Tuan Gulliver merupakan tempat bagi makhluk-makhluk pendek berhidung gemuk itu untuk beristirahat ketika kelelahan.

"Kurcaci di sini tidak seburuk dengan yang bekerja di peternakan atau pelayan di pertokoan roh." Begitu katanya, setelah mendengar salah satu dari kurcaci di sana mengeluh keras-keras tentang bayaran mereka yang tidak pernah dinaikkan, sedang yang lainnya menendang salah satu mesin cetak koran karena lambat bekerja.

"Kalian membayar mereka dengan apa?"

"Gula-gula. Mereka suka dengan makanan manis," jawabnya. "Tapi mulut mereka tidak ada manis-manisnya." Pria itu melanjutkan sambil berjalan menuju salah satu tumpukan koran baru dengan wajahku yang terpampang jelas di muka korannya.

"Ini. Antarkan benda-benda ini ke rumah-rumah penduduk Scallian."

"Eh, dari mana kau bisa mendapatkan fotoku?"

"Ada banyak hal-hal aneh lain yang akan kau temui di kota ini dan anggap saja bungkamnya aku saat ini sebagai salah satu bonus bagimu."

Aku berdecih. Ada banyak hal yang disembunyikan oleh orang-orang tentang kota ini dan aku tidak menyukai hal itu. "Apa di kota ini ada hukum yang membahas tentang mengambil gambar orang lain tanpa izin?"

Tuan Gulliver sepertinya mulai kesal dengan kehadiranku. "Kau ini masih dua belas tahun tapi sudah membahas tentang hukum-hukum apalah itu. Masalah itu tidak perlu banyak dibahas. Ayo cepat, mulailah bekerja! Masih ada dua puluhan rumah yang harus kau datangi untuk mengantarkan benda-benda ini dan kalau kau tidak cepat-cepat pergi, akan ada banyak kerugian bagi kantor ini."

"Eh, tapi kau saja belum menjawab pertanyaanku tadi." Aku membantah. Aku sepertinya senang sekali membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak penting seperti bercakap-cakap dengan pria ini.

Pria itu gusar. Ia memijat pelipisnya lalu mengeluarkan benda mirip pipa panjang dari saku mantelnya--cerutu. Alih-alih menjawab, ia malah mengisap benda itu kuat-kuat lalu menarikku untuk mengikutinya ke salah satu sisi ruangan.

Aku tidak memberontak. Asalkan dia masih memiliki tata krama, aku tidak akan mempermasalahkan tentang dirinya yang menggandeng tanganku paksa untuk mengikuti setiap gerakannya.

"Ini sepedamu." Tuan Gulliver menunjuk salah satu sepeda usang yang sebelumnya tertutup kain putih penuh tambalan. "Kau akan bekerja menggunakan ini."

"Maaf? Tapi sepeda ini terlalu tinggi untukku, Tuan."

"Ah benar juga," katanya. Ia menepuk dahinya dan baru menyadari kebenaran dari perkataanku tadi. "Badanmu kecil sekali. Kau jarang makan ya?"

"Begitulah. Aku anak panti."

"Bukankah anak panti mendapat makanan yang lebih layak dibanding dengan anak-anak yang bekerja sebagai buruh di pabrik garmen?" tanyanya, masih dengan cerutu di tangan kanannya yang keriput.

Aku menggeleng. Tidak ada pabrik garmen di Blisshore jadi aku tidak tahu pasti apa yang anak-anak di sana lakukan. "Aku tidak tahu. Tidak ada bangunan seperti itu di Blisshore."

Dia tidak membalas lagi setelah itu. Agaknya saat ini ia tengah sibuk berpikir bagaimana caranya agar sepeda berkarat di depanku ini bisa menyusut secara ajaib atau setidaknya ada sepeda baru yang tiba-tiba muncul dari langit.

"Hanya ini sepeda paling kecil yang aku punya." Tuan Gulliver kembali berbicara setelah lama berpikir. Pemikirannya dari tadi berujung pada satu kesimpulan: aku tetap harus mengantar tiga tumpuk koran dan dua puluh lima botol susu, dalam waktu kurang dari dua jam, dan dengan tetap menggunakan sepeda yang sudah tertinggal di masanya ini--bahkan orang paling tua di Blisshore pun tidak pernah memakai benda yang usianya entah sudah berapa dekade ini.

Apa yang bisa lebih buruk dari ini?

"Sekedar informasi saja, kau juga harus mengantarkan salah satu dari puluhan koran dan susu segar ini ke kediaman Nyonya Griffith. Aku tidak tahu bagaimana reaksinya kelak tapi saranku, sebisa mungkin hindari menunjukkan mukamu terlalu sering. Dia tidak suka dengan orang-orang jahat dan para penyintas dari dunia bawah."

Bagus. Hal yang lebih buruk datang juga.

"Aku tidak memiliki apa-apa untuk menutupi wajahku jadi bagaimana?"

"Bawa kain putih ini," sarannya. Pria itu menyodorkan kain penutup sepeda tadi dan memintaku untuk memakainya ketika sudah berada di dekat rumah Nyonya Griffith kelak. "Lilitkan saja di lehermu. Seperti syal."

Aku mengangguk. Sejujurnya, ide ini terbilang cukup meyakinkan dibanding dengan ide-idenya yang lain. Walau aku juga sebenarnya belum tahu pasti seperti apa watak wanita itu, aku lagi-lagi memutuskan untuk bermain aman. Peliharaannya saja sudah mengerikan seperti makhluk-makhluk bawah tanah, lantas bagaimana bentukan dan sifat pemiliknya nanti?

"Tunggu apa lagi? Kenapa belum berangkat juga sampai sekarang?"

Aku tersadar setelah mendengar ucapannya. Waktu akan makin cepat berlalu jika aku tidak buru-buru menaiki sepeda ini.

Dengan cekatan, aku mengangkat satu per satu tumpukan kertas koran yang ada di lantai. Satu tumpuknya isi sepuluh, kecuali tumpukan ketiga yang hanya ada lima rangkap. Meski begitu, satu susunannya tidak terlalu berat. Terbilang cukup ringan malah.

Masalah kecilnya hanya ada pada susunya. Dua puluh lima botol, isinya penuh semua, dan aku harus memindahkannya dari salah satu pojok yang di dekatnya ada kurcaci berkaki pendek. Kupikir dua keranjang kecil yang ada di dekat sana tidak akan muat untuk menampung puluhan tabung susu itu--nyatanya aku salah.

Tuan Gulliver hanya melihatku dari tempatnya. Pria itu tidak mengoceh, memberi saran, apalagi membantu. Dia menyerahkan semua pekerjaan ini kepadaku. Dia seorang superior di sini. Apa yang bisa kuharap?

"Sudah selesai, Tuan!"

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro