Pengrajin Sepatu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku sudah duduk di atas sadel sepeda. Agak tinggi memang, tapi untungnya kakiku masih bisa mencapai pijakannya yang sudah rapuh itu. Tanpa berlama-lama lagi, aku langsung mengentak pintu lumbung kuat-kuat lalu pergi keluar.

Tuan Gulliver sebelumnya sudah memberikanku sebuah catatan lengkap tentang rumah-rumah mana saja yang perlu diantarkan koran-korannya. Rumahnya saling berjauhan, sedang waktuku tinggal dua jam lagi--itu pun tidak tepat dua jam.

Tapi ya sudahlah, aku harus bisa menerimanya. Toh, Tuan Gulliver tadi berkata bahwa dia akan memberiku upah lebih jika bisa menyelesaikan tugas ini dengan cepat--sepuluh koin Scallian. Karena aku pemula dan baru pertama kali bekerja di sini, alasannya. Baguslah. Lagipula, aku bertaruh bahwa jumlah sebanyak itu tidak berpengaruh banyak terhadap kondisi keuangan pria dengan logat tidak meyakinkan itu.

Tapi ....

Hmm ....

Aku bahkan belum tahu seberapa mahal harga seruling biru yang satu tipe dengan milik Nyonya Griffith. Tuan Suara-tanpa-nama tidak pernah memberitahuku. Bargin Meath juga--walau aku tahu bahwa ia baru datang satu kali dan mungkin di pertemuan kami berikutnya pria aneh itu akan memberiku informasi tentang harga seruling itu, tetap saja sampai sekarang belum ada yang memberitahuku tentang hal itu.

Tuan Gulliver juga hanya mengatakan bahwa rohku belum bisa memenuhi setengah harga jual seruling itu mau dilelang setinggi apa pun di pertokoan roh--aku sempat tersinggung tadi. Apa-apaan itu? Secara tidak langsung, orang-orang di sini menganggap nyawaku lebih rendah daripada seruling wanita dengan nama seperti jerapah itu.

Tenangkan dirimu, Arthur! Mari berpikir positif dengan berasumsi bahwa mereka mengatakan hal-hal seperti itu agar kau tidak cepat putus asa dan menjual jiwamu ke sana.

Roda sepeda berputar-putar. Aku beberapa kali kesulitan ketika berada di jalan yang menanjak. Bawaanku sudah berat, tapi medannya malah ikut-ikutan menyusahkan. Untung saja aku tidak jatuh, terguling, atau menumpahkan salah satu botol susu di keranjang belakang. Bisa apa aku untuk menggantinya?

Rumah pertama adalah rumah milik Tuan ... Schuhladen? Ini bagaimana cara mengeja namanya? Dari sekian banyak nama yang tersedia, kenapa orang tua dari pria itu memilih untuk menamakan anak mereka dengan nama sesusah ini?

Ah, tapi biarlah. Tugasku hanya mengantarkan susu dan koran ini kepadanya jadi aku akan aman. Mungkin juga aku tidak akan bertemu dan bertatap muka dengannya kelak jadi tidak ada yang perlu kukhawatirkan.

Jarak rumah pertama lumayan jauh dari kantor jasa antar Tuan Gulliver. Ada dua tanjakan, tiga belokan, lima kebun, dan kurang lebih sebelas menit perjalanan menggunakan sepeda. Aku baru sadar bahwa kakiku sudah kelelahan ketika turun dari sepeda untuk menaruh koran dan susu di depan pintu rumahnya.

Tidak ada orang--sepertinya begitu jika dilihat-lihat dari luar. Tapi toh, bisa saja mereka menyamar menjadi sepatu kulit coklat yang tergeletak di dekat pot bunga aster atau malah menyamar menjadi tiga ekor burung yang sedang bertengger sambil melihatku dengan tatapan curiga dari salah satu pohon mapel meranggas yang ada di halaman rumah ini.

Aku menaruh sebotol susu dan seberkas koran di dekat keset kaki berbentuk pohon natal. Baru saja aku akan berbalik dan pergi, seseorang memanggilku dari dalam rumah.

"Berikan dia sepatu baru, Schuhladen!"

"Sepatunya belum siap! Temui dia dulu, nanti aku akan ke tempatmu jika sambungan benang di bagian kirinya sudah benar!"

Suara orang-orang itu terdengar sayup-sayup dari dalam rumah mereka. Aku baru menyadari bahwa tong sampah rumah ini isinya penuh dengan sol, kulit hewan, dan benang tajam yang sudah bengkok atau sebagiannya berkarat. Pun, aku juga baru menyadari bahwa tempat ini juga merupakan toko sepatu--ketika aku mendongak sedikit, aku bisa melihat ukiran kayu kecil bertuliskan "Toko Sepatu Tuan Schuhladen" tergantung di paku yang ada di dinding depan.

"Jangan pergi dulu, Bocah pengantar koran!" Suara itu, yang kali ini lebih mirip dengan suara seorang wanita empat puluh tahunan, melarangku untuk melangkah lebih jauh ketika aku memutuskan untuk berbalik arah tadi.

Aku mematung di tempat dan tak lama setelahnya mengambil langkah untuk kembali memutar arah dan mendatangi rumah itu lagi.

Lagipula, katanya tadi, siapa pun orang yang ada di sana akan memberikan sepatunya untuk orang lain. Selain aku yang ada di situ, siapa lagi yang akan ia kasih? Sepatu baru juga kedengarannya bukan merupakan ide yang buruk--terbilang berguna bahkan, apalagi untuk keadaan-keadaan sulit seperti ini. Sepatuku yang ini saja bagian alasnya sudah tipis seperti kulit kayu muda. Dibawa berjalan sembari menyeret di jalan kasar pun sudah bisa robek bagian bawahnya.

Aku menunggu beberapa menit dan suara barang-barang yang berjatuhan terdengar dari dalam. Apa yang sebenarnya sedang orang-orang itu rencanakan kali ini? Jujur saja, jika dalam lima menit mereka tidak kunjung keluar, aku bersumpah akan meninggalkan tempat ini secepat yang kubisa. Bila satu rumah saja sudah selama ini, aku tidak akan bisa mengantarkan paket susu-koran ke rumah-rumah pelanggan dengan tepat waktu.

Pula, rasanya tidak masalah jika aku langsung pergi dari tempat ini. Aku sudah melaksanakan tugasku dan tidak ada hal lain yang bisa diprotes selain kehadiranku yang tiba-tiba muncul sebagai pengantar koran dadakan mereka pagi ini.

"Dua menit lagi, Bocah pengantar koran!"

"Aku tidak bisa menunggu terlalu lama!" Aku mulai mengutarakan keluhanku. "Jika aku telat dalam mengantarkan koran-koran ini, aku tidak akan mendapat uang dari Tuan Gulliver. Susu-susu itu juga tidak boleh berada di bawah sinar matahari atau rasa mereka akan lebih aneh daripada krim asam yang dicampur dengan keju fermentasi. Jadi, maafkan aku, Tuan!"

Walau aku berkata seperti itu, aku masih memberikan mereka kesempatan untuk menemuiku--nampaknya hal itu yang paling ingin mereka lakukan saat ini. Ah, aku malah merasa diperlakukan seperti raja yang bisa sesuka hati mengancam orang lain oleh Tuan dan Nyonya Schuhladen. Nyatanya, aku lebih mirip seperti budak kerajaan di kota ini--rambut coklatku saja acak-acakan dan badanku sudah bau keringat.

Satu menit pertama aku sudah mondar-mandir gelisah di depan pintu rumah mereka. Tiga menit selanjutnya, aku sudah menyiapkan diri untuk langsung mengambil ancang-ancang berlari menuju sepeda yang kuparkirkan di luar pagar sana. Pintu akhirnya dibuka sebelum aku benar-benar memutuskan untuk meninggalkan tempat ini.

"Hai, Bocah pengantar koran!"

Seorang pria yang hampir memasuki usia setengah abad keluar. Tebakanku tadi benar, usianya tidak jauh dari angka empat puluh setelah mendengar suaranya yang hilang timbul itu. "Ini sepatu untukmu!"

"Kenapa tiba-tiba sekali? Ah, sebelumnya, apa anda Tuan Schuhladen?" Pria itu mengangguk. Kotak hitam yang ada di tangannya ikut naik turun di genggamannya.

"Tidak apa. Ini, terima saja!"

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro