Hadiah Aneh dari Penduduk Kota

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku sebenarnya sudah menolak tawaran pria itu. Memang, pada awalnya aku lumayan bersemangat setelah mengira bahwa aku akan mendapat sepatu baru secara cuma-cuma. Tapi, setelah dipikir-pikir lagi, orang yang ada di depanku saat ini sama sekali asing bagiku. Tidak pernah sekali pun di hidupku aku bertemu dengan pria aneh dengan mata besar dan tulang wajah keras seperti pria ini. Rambut panjangnya yang diikat ke belakang saja sudah kelihatan mencurigakan bagiku.

"Terima saja!" Pria itu terus mendesak. Ini lebih cocok dikatakan sebagai pemaksaan dibandingkan dengan memberi hadiah kecil-kecilan.

"Aku tidak bisa menerimanya, Tuan! Aku bahkan belum tahu apa alasan anda sehingga mau saja memberikanku sepatu ini."

Pria itu terdiam sekedipan mata. Oh, apa aku sudah berhasil membungkam mulutnya dan mengunci gerakan pria ini?

"Tidak ada alasan khusus. Cepat terima saja!"

"Benar. Anggap saja ini sebagai hadiah penyambutan kami untuk anggota baru di komunitas kota kami!" Wanita yang tadinya menghilang dari perbincangan tiba-tiba datang lagi. Intonasinya sama saja seperti pria ini. Memaksa. Huh, pasangan suami istri ini sama saja ternyata.

"Kami akan terus memaksamu untuk menerima sepatu ini sampai kapan pun. Itu artinya, kau tidak akan bisa mengantarkan sisa barang bawaanmu ke rumah-rumah penduduk yang lain. Kau mau tidak mendapat bayaran oleh atasanmu hanya gara-gara menolak pemberian kami?" tantang Tuan Schuhladen. Wah, sepertinya dia benar-benar serius tentang ini.

Aku kembali membantahnya dan mengatakan bahwa aku sudah melaksanakan tugasku dan bisa pergi dari rumahnya dengan aman sentosa. Tapi, secepat kilat dalihku dipatahkan olehnya. Ucapnya, keluarga itu memiliki koneksi kuat dengan atasanku di kantor jasa antar barang dan mereka tidak akan segan-segan meminta Tuan Gulliver untuk memotong sembilan puluh persen bayaranku nantinya.

Aku terpaksa menerimanya. Waktuku kian menipis dan aku benar-benar harus gesit dalam mengayuh sepeda membelah jalanan pagi Kota Scallian setelah ini. Wajah mereka yang tadinya garang dalam sekedipan mata saja sudah berubah lagi menjadi bahagia seperti baru saja mendapatkan emas permata ketika menambang di pegunungan.

Mereka dengan mudah mempersilakanku untuk pergi setelah aku menerima bingkisan kecil dari mereka. Benar-benar berbeda dengan beberapa menit yang lalu.

Orang-orang aneh.

Tanpa mau membuang-buang waktu lagi, aku langsung berlari menuju sepeda dan menaruh kotak itu di keranjang yang sama dengan keranjang tempatku menaruh tumpukan-tumpukan koran.

Aku tidak sedikit pun menoleh lagi ke rumah mereka. Ada sedikit kekesalan karena mereka sudah memangkas lumayan banyak waktuku hanya demi memuaskan hasrat mereka untuk memberiku sepatu kulit baru--semoga saja sepatu itu memang benar-benar layak untuk dipakai. Jika saja kebesaran, apalagi terlalu kecil hingga tidak muat, aku akan mengamuk di gubuk nantinya.

Tapi mari kembali lagi melihat sisi baiknya. Tidak ada seorang pun di Blisshore yang mau memberiku sepatu gratis semudah itu. Apalagi, di kota asalku, kulit hewan benar-benar mahal karena para pemburu kebanyakan sudah beralih profesi menjadi pedagang sayur, petani, atau pemangku politik di kantor walikota. Jika tidak bisa kugunakan pun, aku masih bisa menjualnya ketika kembali ke panti nantinya.

Ya, itu juga kalau aku masih bisa kembali ke dunia bawah. Setelah melihat betapa susahnya bekerja di kota ini, aku jadi meragukan diriku sendiri untuk bisa mengganti seruling yang telah kupatahkan beberapa hari yang lalu dalam waktu dekat.

Dan sekarang pun, masih ada dua puluh empat rumah lainnya yang harus kudatangi, pekerjaan-pekerjaan lain yang perlu kujalani, dan pundi-pundi koin Scallian yang harus kukumpulkan.

•••

Kota ini benar-benar aneh. Ternyata bukan hanya rumah pertama saja yang bisa membuat kepalaku pusing. Rumah-rumah setelahnya juga.

Di rumah kedua, aku mendapat kotak yang isinya baju baru. Sama dengan rumah keempat, kedua belas, dan kedua puluh tiga yang isinya tidak jauh dari lingkaran kemeja, celana pendek, tali penahan, dan kaus kaki garis.

Di rumah-rumah yang lain, aku mendapat barang-barang yang satu sama lainnya berbeda. Sebotol acar mentimun, roti gandum, gula-gula merah muda, biji jagung, dan seikat bayam. Aku tidak tahu lagi apa yang sebenarnya dipikirkan oleh orang-orang di kota ini tapi aku yakin bahwa aku akan menjadi sama gilanya dengan orang-orang itu bilamana mencari tahu lebih jauh tentang pola pikir mereka.

Namun, hei, untung saja mereka tidak seperti rumah pertama yang benar-benar memaksaku untuk menerima sepatu pemberian mereka. Sejauh ini bahkan aku hanya bertemu dengan pasangan Tuan dan Nyonya Schuhladen seorang yang keluar dari rumahnya hanya untuk mengintimidasiku dengan tatapan mereka--padahal mereka hanya mau memberikanku sepatu, tapi lagaknya sudah seperti ingin mengajak berperang.

Rumah-rumah yang lain hanya menaruh kotak yang isinya barang-barang pemberian mereka di depan rumah mereka. Mayoritasnya di dekat keset kaki atau pot bunga. Tapi, ada juga beberapa rumah yang meletakkan kotak mereka di bawah pohon oak inggris jantan. Ada catatan kaki di atas kotaknya, yang mengatakan bahwa aku wajib, harus, mesti, patut, dan perlu untuk menerimanya.

Tetap saja memaksa sebenarnya, tapi ya sudahlah.

Karenanya, barang bawaanku menjadi semakin berat. Susu dan koran-korannya memang semakin sedikit, tapi berat total dari barang-barang itu lebih besar daripada bobot dua puluhan botol susu dan dua tumpuk kertas koran--terlebih lagi salah satu rumah sudah memberiku seperangkat alat untuk menenun kain yang hingga kini belum terpikirkan olehku untuk menggunakannya sebagai apa.

Aku tidak tahu sekarang sudah jam berapa tapi yang kutahu, kakiku sudah lelah dan badanku sudah mandi keringat. Bekerja di ladang tidak pernah seberat ini menurutku--walau dulu aku sering mengeluh kepada Nyonya penjaga tentang serangga-serangga pengganggu yang sering menempel di bajuku, itu masih belum bisa menyaingi betapa susahnya bekerja sebagai loper koran di Scallian.

Aku baru saja meninggalkan rumah kedua dari terakhir berdasarkan catatan yang diberikan oleh Tuan Gulliver di lumbung tadi. Rumah milik perangkai bunga. Isi kotak yang pemilik tempat itu tinggalkan adalah sekebat empat macam bunga yang digabungkan. Sekarang, tinggal satu rumah lagi dan setelahnya aku bisa langsung meluncur menuju kantor jasa antar Tuan Gulliver untuk meminta bayaran sekaligus mengembalikan sepeda ini.

Tapi di sini masalahnya.

Sebelum aku membuka catatan pun, aku sudah sadar bahwa tadi Tuan Gulliver berkata bahwa aku akan mengantarkan salah satu koran dan botol susu ini ke rumah Nyonya Griffith.

Demi Neptunus, aku benar-benar belum siap untuk bertemu dengan orang itu. Ada aura kuat di namanya yang mengatakan bahwa aku harus sebisa mungkin menghindarinya selama berada di kota ini.

Sialnya, rumah terakhir di catatan Tuan Gulliver adalah kediaman Nyonya Griffith yang berada di dekat Hutan Pencecak.

Semoga riwayatku tidak habis setelah ini.

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro