Scandal

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Event Malam Minggu tanggal 9 April 2016

Penulis yang terlibat: wicksn, qieqiemahardika21, Woodparker-, dinodinsky, Dndrn_

Telah mengalami editing, namun jauh dari kata sempurna. Mohon KRISAR-nya.

-

-

-

SCANDAL

"Aku tidak takut kepada siapapun meskipun dia adalah pembunuh, aku hanya takut kepada tuhan."

***

"Bang, ampun Bang ... argh."

Pukulan dan tendangan menjadi keseharianku.

"Eh, diem lo ... manusia macam lo pantas dihukum."

Darah yang sudah mengering ini menjadi saksi.

"Argh ... sakit."

Rasa sakit ini menjadi bukti.

Padahal semuanya bukan aku yang memulai.

Kenapa mereka memukulku?

Apa salahku?

Kenapa?

Kenapa?

"Salah saya apa Bang?"

Bukannya jawaban yang aku dapat malah tendangan di perut yang aku terima.

Sakit sekali.

Aku merasa salah satu gigiku patah.

Aku melihat mereka dengan mataku yang sudah tahun melihat--karena tinju mereka.

Aku memandang sekeliling.

Ke mana aku bisa lari? Aku ingin lari....

Tapi....

Mereka semua menghadangku. Bagaimana aku bisa keluar dari sini? Oh Tuhan, bantu aku. Kumohon ... Aku sudah tidak kuat lagi. Ini..., sangat menyakitkan.

"Woy! Kalian emang kalian bisa kabur dari kita," teriak salah satu preman

"Gawat. Preman yang kemarin dateng lagi, ayo guys kita kabur," ucap salah satu dari segerombolan pembully itu. Akhirnya mereka pergi meninggalkan cowo yang sudah babak belur itu.

Keesokan harinya...

"HEH! LU CEPU YA TERNYATA. NGAPAIN LU NGADU KE GURU BP?! UDAH NGERASA PALING BENER LU?" ucap Bagas.

"Ampun Bang... ampun."

"Tau ngapain lu ngadu-ngadu? udah Gas, hajar aja dia," ucap Aden.

"Argh ...."

Akhirnya aku kembali menjadi bahan bulan-bulanan untuk ke sekian kalinya.

Sepulang sekolah seperti biasanya aku menyusuri gang agar lebih cepat sampai ke rumah. Selain itu, melewati jalan besar menurutku berbahaya karena takut akan bertemu brandalan-brandalan itu.

"Hey," ujar sebuah suara serak memanggil. "Hey kamu yang pakai seragam SMA, berhenti."

Aku menghentikan langkahku dan berdiam ketakutan. Siapapun dia, Tuhan, tolong aku dan semoga itu bukan brandalan atau kawanannya.

Aku terhenti cukup lama. Tapi aku memberanikan diri untuk berbalik karena walau cukup kasar, suara itu milik suara wanita.

Aku melihatnya.

Dia memang seorang perempuan. Dan rasanya aku pernah melihatnya. Aku menatap wajahnya. Wajahnya cukup menarik. Tapi dia bergaya dengan angkuh saat melihatku.

Walau seorang wanita, dia membuatku sedikit ngeri.

"Yaa...?" tanyaku pelan tak ingin mencari masalah.

"Muka kamu kenapa? Kok babak belur? Kamu abis digebukin sama gengnya Bagas lagi?" tanya wanita itu.

"Eh? Engga kok. Ini bukan karna Bagas dan teman-temannya."

"Lalu karena apa?"

"Em ... anu ..., tadi aku jalan enggak liat-liat trus tanpa sadar ada batu besar di depanku jadinya aku kesandung trus masuk comberan deh. Hehe." Aku terkekeh kaku sambil menggaruk tengkuk leherku yang tidak gatal.

Wanita itu mengernyitkan alisnya. "Oh jadi gitu? Alasanmu sama sekali enggak logis. Kalau kamu masuk comberan yang ada badanmu juga ikut bau lah. Tapi ini? Ck."

Aku terdiam. "Kalau mau bohong yang pinteran dikit dong. Sekarang jawab yang jujur, kamu digebukin lagi 'kan sama gengnya Bagas?" tambah wanita itu lagi.

Aku kehabisan kata-kata. Ingin aku menjawab jujur, namun juga takut akan geng Bagas yang semakin buas memukuliku, menyisakku. "Ya, ini karena Bagas. Tapi tolong, jangan bilangin guru BP ya."

Perempuan itu menggeleng. "Ini gak bisa dibiarin." Ia berjalan cepat menuju ruang BP. Aku yang melihat,itu hanya melebarkan kedua mataku.

"Ah, gimana nih!" raungku kesal.

Aku mengejar perempuan itu dan kemudian menarik tangannya agar menghentikan langkahnya. "Please, aku mohon jangan dilaporin. Kalau dilaporin bukannya gengnya Bagas akan berhenti membullyku tapi dia akan membullyku lebih parah dari sebelumnya."

Perempuan itu terdiam terlihat dari wajahnya sedikit mencerna perkataanku. "Baik. Aku enggak akan laporin kelakuan Bagas dan gengnya yang tidak senonoh itu. Tapi, kamu harus mau aku ajarin bela diri. Gimana?"

Bela diri? Oh Tuhan, ini gila. "B-bela diri?" tanyaku gagap. Wanita itu mengangguk.

"Percaya, bela diri ini akan membantu." Perempuan ini menatapku yakin. "Kamu laki-laki, dan enggak seharusnya bersikap lemah kayak gitu."

Rahangku mengeras, aku bukannya lemah. Aku hanya mengalah. Tapi--oh, mungkin dia benar. Aku lemah. "Aku mau," jawabku langsung sambil menatapnya balik.

Mungkin ini saatnya aku berubah, bukan lagi laki-laki lemah yang hanya ditindas setiap harinya.

Dan nyatanya, perempuan ini pun tidak main-main dengan perkataannya. Dia mengajariku, dengan sabar mempraktekkan seluruh keahliannya padaku. Sampai aku, laki-laki yang dulunya hanya bisa pasrah saat ditindas, sekarang sudah bisa membela diriku. Tidak, aku bukan membalas perbuatan Bagas dengan gengnya. Aku menyimpan ilmuku untuk hal lain yang penting.

Beberapa minggu kemudian...

Aku melihat beberapa preman yang memasuki lapangan belakang sekolah. Diam-diam aku mengikuti preman tersebut sampai pada akhirnya aku melihat Bagas bersama gengnya menuju lapangan belakang. Aku melihat dengan mata kepala ku sendiri bagaimana preman-preman itu menghajar Bagas dan gengnya. "Ini tidak bisa dibiarin aku harus membantu Bagas dan gengnya," batinku.

"HEI KALIAN BERHENTI. JANGAN BERANINYA KALIAN NGELAWAN ANAK KECIL."

"HEH! ANAK KECIL KAMU GA USAH IKUT CAMPUR YA. MEREKA INI YANG DULUAN CARI MASALAH SAMA KITA," ucap salah satu preman tersebut.

"TAPI TETAP AJA KALIAN JANGAN MENGHAJAR MEREKA. SINI LAWAN AKU SAJA."

"Berani sekali anak kecil ini, ayo kita hajar dia."

Para preman itu akhirnya menghajar aku dan geng Bagas habis-habisan.

Bugh... bugh... bugh...

"Arghhhh..."

Bugh... bugh... bugh...

"Bos-bos udah bos. Seperti dia sudah meninggal. Ayo bos kita pergi dari sini," ucap salah satu preman tersebut.

Bagas berserta gengnya mengalami luka yang cukup parah tetapi tidak dengan-nya. Dia terbujur kaku di bawah sinar matahari yang merendupkan cahayanya. Dia telah pergi untuk selamanya setelah menolog Bagas dan gengnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro