:: Akhirnya (END) ::

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kau tahu, aku terbiasa untuk menjadi bisa.
Semua bukan karena aku meminta, tetapi aku diberi kesempatan
Akhirnya, tertatihku karena kehilangan sayap.
Terbangku karena aku menemukan cara lain untuk melayang kembali

🍂🍂🍂

Seorang lelaki tengah berdiri menatap pemandangan yang ia idamkan selama ini. Pemandangan dengan satu bangunan berselimut kain hitam dengan tulisan arab dari benang emas yang dikelilingi oleh umat muslim dari berbagai negara.

Elvan tidak pernah bosan menatapnya. Entah sudah berapa kali ia tertegun dan memandanginya dengan derai air mata. Akhirnya ia mampu memboyong seluruh keluarganya ke tanah Haram.

Mungkin hal ini seperti mustahil, tetapi sejak kedainya menjalankan bisnis dengan baik, Elvan bernazar akan memboyong keluarganya ke Makkah. Tidak ada yang tidak mungkin jika manusia berusaha dengan sungguh-sungguh.

"Papa, Mama, dan Rista nanti juga ikut Umroh sama keluarga El. Tinggal mengurus berkas untuk keberangkatan saja. Alhamdulillah ada teman dari travel yang bersedia untuk membantu sampai semua kesiapan selesai." Elvan kala itu berbicara di rumah Rista dengan mantap dan tegas.

"Alhamdulillah, terima kasih, El," ujar Papa saat itu.

"Ini juga hasil kerjanya Rista, Pa. Jadi nggak perlu terima kasih sama El. Kita memang rencana pengin bawa semua keluarga."

Elvan yang mendapat sikutan dari Rista. Keduanya saling menggeleng dan kemudian tersenyum. Rista menggeleng dan menunjuk Elvan, begitu juga sebaliknya.

"Kalian kenapa? Ada yang mau disampaikan?"

"Kalau Papa sama Mama mengizinkan, El mau menikah dengan Rista di Makkah. Secara agama dulu, baru sepulang dari sana ke KUA. Boleh?"

Kedua orang tua Rista saling berpandangan dengan berkaca-kaca. Dengan ucapan hamdalah, Pak Rifan menghampiri Elvan dan memeluknya dengan erat. Begitu juga dengan mama Rista yang langsung menarik Rista ke dalam pelukannya.

Pada akhirnya, mereka benar-benar merealisasikannya. Dengan bantuan kenalan dari pihak travel, mereka bertemu dengan ustaz asal Indonesia yang berkenan untuk menjadi penghulu.

Mahar berupa uang dinar juga sudah Elvan siapkan. Dengan pakaian serba putih, mereka melangsungkan ijab qabul disaksikan oleh ibu Elvan beserta kakak dan adiknya, termasuk sang kakak ipar. Selain itu tentu saja Pak Rifan selaku wali nikah Rista, mama Rista, dan Bu De Har yang juga berada dalam rombongan umroh.

Pelaksanaan itu sederhana, yang terpenting rukun nikah sudah dipenuhi dan terjadilah. Pihak travel yang menjadi penanggungjawab rombongan juga tidak keberatan ketika Alvan meminta mereka untuk menjadi saksi pernikahan ini.

"Ngelamunin apa? Masih nggak percaya kita beneran sudah nikah?" tegur Rista pada Elvan yang berdiri di samping jendela dengan pemandangan yang tertuju langsung ke Ka'bah.

Elvan menoleh dan langsung tersenyum. Kini ia menempati kamar berdua dengan Rista yang sudah sah menjadi istrinya. Elvan berbalik dan mendorong Rista untuk duduk di kursi yang berada di kamar itu.

"Cita-citaku kesampaian. Aku bisa membawa Ibu terbang, tapi tanpa Ayah."

"Ayah sudah melihat jerih payahmu, El. Beliau nggak akan pernah kecewa sama anak-anaknya. Kamu pernah bilang kehilangan sayap jadi nggak mungkin bisa jauh perginya."

Elvan mengangguk, "Aku salah. Aku masih bisa terbang jauh dengan caraku sendiri, dan salah satunya karena kamu, Ta. Terima kasih banyak."

"Aku bangga sama kamu, El. Terima kasih sudah menjadikanku halal untukmu, terima kasih untuk semua yang sudah kamu berikan. Kita bisa karena bersama."

Lelaki dengan pakaian gamis panjang berwarna putih itu menjadi sedikit sensitif. Ia menangis lagi setelah puas menangis seusai akad nikah berlangsung. Kini Elvan tidak ragu untuk memeluk gadis yang mengenakan abaya berwarna putih itu.

"Hapus air matanya, aku ada kejutan buat kamu."

Rista membantu Elvan menghapus air matanya dan mulai menarik sang suami untuk keluar kamar. Mereka berjalan menuju kamar sebelah. Tidak disangka, seluruh keluarganya sudah ada di sana.

Nuansa putih masih terasa, semua keluarganya masih mengenakan busana yang sama, yang berbeda adalah kehadiran makanan Indonesia berupa nasi kuning dengan lauk telur dadar yang digulung dengan sambal yang berwarna merah.

"Mbak Dina duduk di sini," pinta Rista sambil menuntun kakak iparnya untuk duduk di paling ujung. "El duduk di sebelah Mbak Dina, lanjut Al dan Jani. Mas Faza nanti dulu, ya."

Bu De yang ikut berada di ruangan itu berdiri dan membawakan sepiring nasi kuning dengan lauk yang ada. Ia menyerahkan pada ibu Elvan yang masih kebingungan dengan permintaan Rista.

"Untuk apa, Mbak?" tanya ibu Elvan.

"Ikuti saja seperti yang Rista minta. Menantumu itu memang luar biasa," jawab Bu De.

"Kemarin El sempat bilang kalau rindu makan bareng sambil disuapin sama Ibu. El ingat dulu pernah rebutan nasi kuning karena Ayah hanya dapat satu nasi kotak pas acara Maulid dulu. Daripada berebut, Ibu akhirnya nyuapin satu-satu. Betul?"

Sang ibu mengangguk, ia mengingat dengan baik bagaimana suasana saat itu. Keempat anaknya menangis dan bertengkar karena ingin memakannya. Akhirnya, suapan demi suapan lah yang ia berikan supaya tidak lagi bertengkar.

Ibu Elvan berjalan dengan piring di tangan. Ia yang sebelumnya sudah membasuh tangan langsung mengambil nasi dengan telur dan sambal. Disuapkannya nasi itu ke mulut Dina.

Dina membuka mulutnya, ia menerima dan mengunyah dengan air mata yang tak berhenti. Di sebelahnya, Elvan sudah tidak tahu lagi berapa banyak tetes air matanya jatuh membasahi pangkuannya. Ia membuka mulut ketika tangan ibunya sudah berada di hadapannya.

Terus saja begitu sampai pada si bungsu yang selesai membuka mulut, Elvan sudah tidak bisa bertahan lebih lama. Ia berdiri dan memeluk ibunya, disusul dengan Dina dan kedua adiknya.

Momen ini begitu sederhana, hanya menyuapkan nasi, tetapi kenangannya begitu mengena. Bu De yang ikut terlibat dalam tumbuh kembang empat bersaudara itu akhirnya juga ikut larut dalam suasana haru. Faza dan Rista yang merupakan keluarga baru juga terbawa suasana.

"Ini untuk anak-anak ibu juga," ucap ibu Elvan sambil mendekati Rista dan Faza.

Keduanya merasakan suapan dari tangan seorang ibu yang melahirkan pendamping untuk mereka. Keluarga Syahreza memang berhasil mendidik putra putri mereka. Dan pada akhirnya tidak membedakan ketika anggota baru masuk dan menjadi bagian keluarga.

"Bu De, sini gabung juga sama kita," pinta Dina ketika melihat Bu De Har masih tetap berdiri dan menjaga jarak.

"Bu De, kita minta izin untuk melakukan Badal Umroh atas nama Pak De Har. Bu De keberatan?" ucap Elvan sambil menarik dan membawa Bu De Har duduk bersama mereka.

"Boleh, Bu De nggak keberatan."

"Oke, nanti aku yang gantikan punya Ayah, Alvan yang gantikan punya Pak De."

"Siap," ucap Alvan sambil mengacungkan jempolnya.

Setelah puas dengan acara yang menguras air mata sampai mata Rista dan Elvan sama-sama bengkak, keduanya beralih dan menempati kamar yang disediakan untuk keduanya. Rista awalnya canggung dan ingin tinggal dengan papa dan mamanya, tetapi kedua orang tuanya itu menolak mentah-mentah.

"Sudah punya suami, kok masih mau tidur sama Mama?"

"Malu, Ma."

"Biasanya juga kamu malu-maluin di depan Elvan. Mama saja sering nyebut kalau kamu bertingkah di depan dia."

"Itu dulu, Ma, pas masih status sahabat. Sekarang beda, sudah jadi istrinya kok malu banget apalagi keingat sama tingkah yang malu-maluin."

Percakapan ibu dan anak itu harus terhenti karena kepala Pak Rifan muncul di pintu dan langsung memanggil Rista."

"Dipanggil Mas Suami, Ta!"

"Papa, ish ..., apa-apaan coba?"

"Emangnya ada yang salah? Kan sudah halal, Ta? Sana ke kamar kamu sendiri. Besok masih ada kegiatan lanjutan yang butuh tenaga ekstra. Tadi dari pihak travel sudah ngubungi."

"Papa saja tidur sama El, malam ini saja. Tata masih mau sama Mama."

Pak Rifan menggeleng. Ia menarik anak gadisnya dan mengeluarkannya dari kamar. Sebelum Rista berbalik, Pak Rifan sudah menutup pintu kamarnya. Rista akhirnya gelagapan ketika lelaki yang berstatus menjadi suaminya itu berdiri di hadapannya.

"Mau apa?"

"Tidur, Ta. Ayo balik ke kamar," ucap Elvan sambil menengadahkan tangannya untuk menyambut tangan Rista yang akan digandengnya.

Rista menurut, tangan kanannya ia letakkan di atas tangan Elvan dan kedua tangan itu langsung bertaut. Keduanya berjalan menyusuri lorong untuk sampai di kamarnya.

"Makasih, Ta. Jangan pernah bosan sama aku, ya."

"Nggak akan, El. Buktinya dari kecil tetap kamu yang aku cari."

"Jodoh nggak ada yang tau, ya, Ta?"

Rista mengangguk. Keduanya terus berjalan sambil menikmati suasana yang terbilang langka sejak mereka mencoba serius. Termasuk untuk bergandengan di negeri orang. hal ini akan menjadi yang paling langka untuk dijalani.

Tidak ada yang tidak mungkin dalam hidup ini. Semua akan terjadi ketika tepat. Tidak ada kata terlambat, tidak ada kata terlalu cepat. Apa yang terjadi sudah pas, sesuai dengan rencana Tuhan.

🍂🍂🍂

Day 24
Arena Homebattle Anfight
Bondowoso, 28 April 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro