:: Baik-baik Saja (?) ::

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ia terlahir sebagai seorang yang nggak enakan.
Namun, kebanyakan dari mereka jadi seenaknya.
Kalian pikir posisi itu mudah dilalui? Tidak!
Silakan saja mencoba kalau tidak percaya.

🍂🍂🍂

Menjadi sosok yang berbeda mungkin diperlukan sesekali. Begitu juga dengan Elvan. Selalu dicatat sebagai anak baik, penurut, suka membantu, tetapi hal itu tidak selalu membuat hidupnya tenang.

Ia bukannya tidak paham bahwa kakak dari ayahnya itu orang yang tidak pandai bersyukur. Maka dari itu, Elvan memilih memanggil dan ingin sedikit memberinya pelajaran. Tidak banyak, bukan juga dengan bermain fisik. Itu tidak sebanding.

Mungkin dengan kata-kata yang menusuk, kasar, dan kurang ajar bisa membuat pamannya itu jera. Sebenarnya Elvan tidak semudah itu berkata kasar, ia juga harus menguatkan hati untuk mengucapkan itu.

Merasa Pak De-nya sudah tidak bisa bergerak karena ditahan oleh Pak Rifan dan Om Rasya, Elvan maju selangkah, ia memeluk erat sosok yang awalnya dikira bisa menjadi pengganti sang ayah.

"Ngapain peluk-peluk? Lepaskan! Nggak sudi saya dipeluk anak kurang ajar macam kamu."

"Sebentar saja, Pak De. El rindu pelukan hangat Ayah. Dan itu bisa El dapatkan dari Pak De."

Semua yang ada di ruangan itu terdiam. Elvan tidak pernah mengungkit soal ayahnya, tentang rindunya, dan hal lain tentang sang ayah. Namun, di situasi yang genting ini Elvan justru berujar terang-terangan dan merasa rindu pada sang ayah.

Kedua lelaki di kanan dan kiri Pak De Har akhirnya memilih mundur untuk memberikan kesempatan pada Elvan supaya lebih leluasa dekat dengan pamannya.

"Pak De boleh ambil uangnya, tapi setelah ini jangan pernah hadir di sini lagi. El mohon, sekali ini saja El meminta sama Pak De." Elvan berbicara lirih pada lelaki dalam pelukannya itu.

"El, jangan seperti itu. Jangan gegabah mengambil keputusan, El. Tetap koordinasikan terlebih dahulu pada ibumu." Pak Rifan berusaha membujuk Elvan sekali lagi.

"Om nggak setuju dengan kesepakatan yang kamu ambil, El. Itu artinya kamu ingin memutus silaturahmi kita sebagai keluarga."

Elvan mengurai pelukannya. Ia meminta Pak De Har untuk duduk lagi. Sungguh ini situasi yang teramat pelik. Permasalahan sederhana, tetapi menjadi rumit ketika berhadapan dengan keluarga.

"Elvan bukan ingin memutus silaturahmi, Om, tapi ada banyak hal yang harus El jaga. Terutama kesehatan hati dan mental keluarga El."

"Kamu pikir saya membawa dampak negatif untuk keluargamu."

Pak De Har berujar tanpa rasa bersalah. Tidak perlu mendapat jawaban apa-apa karena nyatanya memang seperti itu. Kehadiran lelaki itu membawa dampak buruk dan membuat kondisi batin keluarga Elvan tidak baik-baik saja.

"El akan lunasi yang atas nama ayah dan rumah ini. Selebihnya Pak De usahakan sendiri. Tidak ada bantahan dan tidak ada penawaran lagi. Silakan keluar dari rumah ini. Atau perlukah El antar ke rumah Pak De?"

Elvan yang memintanya datang, Elvan juga yang memerintahkannya untuk pergi dari rumah itu. Sebenarnya, jika dilihat dari awal, sosok lelaki yang termuda itu menahan amarahnya. Menekan segala emosinya dan melepaskannya secara perlahan.

Perkataan Rista tempo hari memang ada benarnya. Jangan terlalu memendam, karena jika meledak ia akan rugi sendiri. Elvan belum meledak, tetapi rasanya sudah sesesak ini.

Tahu 'kan bagaimana rasanya memendam, tetapi tidak ada pelampiasan? Seperti itulah yang dirasakan Elvan saat ini. Bernapas saja rasanya sangat sulit. Bahkan keringat sudah membanjiri punggungnya.

Lelaki yang berstatus sebagai kakak dari ayahnya itu akhirnya meninggalkan rumah keluarga Syahreza. Meski keluar dengan muka memerah, tetapi ia sudah tidak bisa berkata-kata lagi untuk membalas kekurangajaran sang keponakan.

"Bu, maaf. El pakai uang tabungan untuk Haji atau Umroh untuk melunasinya."

"Kamu yakin? Ibu manut apa katamu saja, El. Asal untuk yang lainnya tidak terganggu."

Elvan berjalan menuju sang ibu yang ditemani oleh Rista. Lelaki itu bersimpuh dan meletakkan tangannya dipangkuan sang ibu. Tangan Elvan disambut oleh ibunya. Sensasi hangat langsung menyebar di tangan dingin Elvan.

"Meski El tidak punya sayap, El janji akan bawa Ibu terbang ke tanah Haram. Meski El kehilangan satu sayap pendukung, El akan tetap menemukan cara untuk terbang."

Sang ibu mengangguk sambil terus membelai tangan putranya itu. Rista, Om Rasya, dan Pak Rifan hanya bisa menjadi penonton. Mereka memang keluarga yang terdekat, tetapi keputusan tetap tidak bisa diganggu gugat. Semua sudah diputuskan dan itu pilihan Elvan sendiri.

🍂🍂🍂

Elvan benar-benar memenuhi janjinya. Menguras semua keuangan untuk ibadah haji/umroh, lalu langsung membayar lunas pada pihak yang pernah datang menagih ke rumahnya.

Awalnya ia ingin memberikan uang tunai dan meminta Pak De Har untuk menyelesaikan semuanya. Namun, sesuai saran dari Pak Rifan dan Om Rasya, akhirnya Elvan yang melakukannya.

Kedua lelaki itu takut jika Pak De Har yang diberikan amanah tidak akan selesai atau malah digunakan untuk kebutuhan lainnya. Setelah selesai, Elvan bergegas ke rumah Pak De Har dan memberitahukan bukti pelunasan.

"Ingat pesan Elvan, Pak De. Jangan pernah ganggu keluarga El lagi."

"Mana bisa begitu? Ayahmu masih berutang sama Pak De."

"Loh, apa harta peninggalan kakek untuk Ayah nggak cukup? Bukannya semua sudah dirampas sama Pak De?"

"Cih, pergi saja sana. Nggak sudi saya melihat kamu lagi."

Elvan tersenyum mendengar ucapan lelaki yang sebenarnya ia tuakan itu. Namun, keadaan sudah berbeda. Ia tidak lagi menganggap begitu. Situasi dan kondisi membuat semuanya berubah.

Putra lelaki pertama dari keluarga Syahreza itu akhirnya pamit undur diri meski tidak mendapat tanggapan. Bahkan Pak De Har memberinya bonus caci-maki tambahan untuknya.

Sepanjang perjalanan Elvan tidak putus berdoa. Ia hanya takun Tuhan akan murka pada Pak De Har. Sebab dalam agama saja tidak boleh menyakiti sesama, apalagi ini keluarga dekat.

Apalagi ketika sang ayah masih ada, Elvan sudah sering mendengar petuah dari ayahnya untuk tidak membahas masalah harta warisan selama ayahnya masih hidup.

"Harta itu hanya menjadi pemisah dalam ikatan keluarga. Jangan pernah berebut soal harta warisan. Salah menggunakan, salah mengambil bagian, itu tidak akan menjadi berkah. Justru bisa menjadi petaka. Kelak, carilah orang yang paham untuk membagi seadil-adilnya. Adil menurutmu belum tentu adil secara agama. Berhati-hatilah," El, pesan sang ayah ketika itu

Masih teringat jelas bagaimana sang ayah berpesan kala itu. Bahkan setiap kalimatnya masih Elvan ingat. Maka dari itu, ia juga memilih untuk berhati-hati. Setidaknya ia sudah ada cadangan pekerjaan lain untuk mulai mengisi ulang tabungan yang ia lakukan.

Ia sudah memikirkannya jauh-jauh hati. Bukan apa-apa, sebab ke depannya akan ada lebih banyak biaya yang ia butuhkan. Menjadi penjaga kedai tidak sepenuhnya bisa menyokong kebutuhannya. Karena itu, ia sudah mempersiapkan rencana lain untuk menjalani kehidupannya.

🍂🍂🍂

Day 15
Arena Homebattle Anfight
Bondowoso, 20 April 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro