:: Jalan yang Terpaksa ::

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada jalan yang diciptakan untuk benar.
Ada jalan yang diciptakan untuk berliku, lalu benar.
Ada jalan yang memang berliku, salah, dan terpaksa.
Sampai nanti di batas kesabaran, semua menjadi baik.

🍂🍂🍂

Matahari yang mulai merangkak naik mulai memberikan sensasi hangat. Cahanya sangat terang, bahkan menyilaukan ketika Elvan menempuh jalan ke arah timur. Ia harus memicingkan mata untuk meminimalisir cahaya yang masuk ke retina matanya.

Lelaki dengan rambut ikal dan mata cokelat tua itu mulai merasakan ada satu sisi kosong dalam hatinya. Kosong bukan berarti hampa, ini seperti rasa plong. Suasana hatinya menjadi lebih tenang.

Mungkin yang apa yang ia lakukan sudah berdampak lebih baik. Meski begitu, ia juga harus bersiap diri untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan panjang dari keluarganya dan keluarga Rista.

Elvan memasuki garasi rumah, ia mematikan motor dan langsung masuk ke rumah. Tidak disangka-sangka, banyak orang yang menunggunya. Om Rasya dan Pak Rifan menunggu di ruang tamu. Sementara di ruang tengah ada Jani, sang ibu, dan Rista.

"Asalamualaikum, El pulang."

Si lelaki itu langsung masuk ke ruang tengah, kemudian memeluk erat sang ibu dengan isakan yang tidak bisa ia tahan lagi. Rasa bersalahnya seketika muncul begitu melihat wajah ibunya terlihat lesu seperti kurang tidur.

"Jangan pergi terlalu lama, El. Kamu bikin ibu khawatir. Ibu nggak suka kamu kabur-kaburan begini."

"Maafkan El, Bu. El hanya butuh waktu sebentar saja. El janji ini yang terakhir. Setelahnya, seberat apa, sesulit apa, semua akan El hadapi."

"Kak, Jani nggak suka Kakak yang begini. Ngerepotin yang lainnya, Kak. Nggak baik." Jani menggerutu sambil memukul pelan lengan Elvan yang melingkar dan masih memeluk ibunya.

Begitu pelukannya terpisah, Elvan tanpa basa-basi memeluk Jani. Ia mengelus kepala si bungsu sambil mengucapkan kata maaf yang berulang. Jani yang awalnya menahan diri untuk tidak menangis, akhirnya pecah juga pertahanannya.

Si bungsu yang menahan supaya tidak menangis di hadapan sang ibu, akhirnya mengeluarkan isakan tangis yang lumayan keras.

"Kak El jahat, Kak El nggak boleh gini lagi. Jani nggak suka!" ujar si bungsu sambil memukul dada bidang kakaknya.

Setelah puas melampiaskan rasa kesalnya, Jani baru melepaskan sang kakak. Elvan tidak merasa sakit dengan pukulan Jani, sebaliknya, ia merasa sangat jahat karena sudah membiarkan sang adik dilanda gelisah semalam suntuk.

"Sudah puas bikin semua orang khawatir? Sudah puas nyari ketenangannya?" ujar Rista sambil menatap Elvan dengan mata tajamnya.

"Ta, jangan ngambek, lah."

"Aku, tuh, nggak ngambek. Cuma kesel aja sama kamu, El."

"Ya, wis. Keselnya ditunda dulu. Aku mau mandi dulu, ya. Abis itu lanjut keselnya ke aku lagi."

"Kamu nggak lihat itu ada Papa sama Om Rasya di ruang tamu? Nggak kamu sapa dulu?"

"Aku lihat, kok, tapi tiga bidadari lebih utama buatku."

Seketika Rista sadar bahwa dirinya termasuk dalam hitungan bidadari yang dimaksud. Untuk kali ini, si gadis yang kali ini mengenakan baju tunik yang dipadu dengan celana jeans langsung merasakan wajahnya memanas.

Elvan yang mengetahu itu langsung mendekat. Ia mendekati telinga Rista dan berbisik, "Minta tolong wajahnya dikondisikan, Mbak, kepiting rebus mah sudah kalah merahnya."

Mendengar ucapan Elvan, si gadis langsung memejamkan matanya. Berharap Elvan segera berlalu sebab ia sudah tidak bisa menahan segala rasa yang bercampur aduk. Degup jantungnya terasa menggedor dada, wajahnya terasa semakin memanas. Belum lagi tenggorokannya yang mendadak terasa kering.

Kediaman keluarga Syahreza yang mendadak ramai itu akhirnya semakin ramai ketika keluarga yang menjadi biang kerok datang. Pak De Har datang, ia langsung masuk tanpa dipersilakan. Hal itu membuat Om Rasya langsung naik pitam dan mengusirnya.

"Belum puas Mas Har mengusik keluarga Mas Rudi? Sekarang mau apa lagi?" tanya Om Rasya dengan sangat sinis.

"Aku mau ketemu dengan El. Dia yang menyuruhku ke sini."

"Untuk apa? Apa yang Mas rencanakan lagi?"

"Bukan aku yang memaksa ke sini. El sendiri yang memintaku. Kalau tidak percaya, panggil saja El dan tanyakan langsung padanya."

"Om, Pak De benar, El yang memintanya ke sini," ujar Elvan sambil berjalan menuruni tangga.

Pernyataan Elvan membuat orang-orang yang hadir di sana memusatkan perhatian padanya. Hanya Jani yang tidak ada di sana karena ia harus kembali ke asrama kampusnya sebelum tengah hari.

"El, untuk apa memanggilnya ke sini? Om Rasya nggak setuju dengan usulanmu semalam. Dia ini tipe manusia yang tidak memiliki rasa syukur, El."

"Berani sekali kamu berbicara begitu? Terlebih aku ini kakakmu, saudara kandungmu. Di mana rasa hormatmu padaku?"

"Untuk apa kau hormat pada Mas Har, sementara Mas Har sendiri tidak pernah menghargaiku sebagai adik."

"Cih, terserahlah mau bilang apa, mulutmu memang tidak berguna. El jauh lebih baik daripada kamu, benar 'kan, El?"

Elvan tersenyum, ia miris mendengar pertengkaran kakak beradik ini. Seharusnya ketika ada yang sudah pergi, yang tersisa saling menjaga. Ini justru saling menjatuhkan dan tidak bisa akur satu sama lain.

Namun, ditelisik dari segi manapun, Elvan terlalu paham dengan alur kisah keluarga sang ayah. Ia memakluminya, justru permintaannya kali ini ingin membuat keluarganya terlepas dari jeratan Pak De-nya itu.

"Berapa yang Pak De butuhkan?"

"Sembilan puluh juta untuk melunasi utang dengan nama ayahmu sebagai jaminannya. Tiga puluh juta untuk pinjaman yang satunya."

"Maaf, Pak De. El hanya akan melunasi yang menggunakan nama ayah. Selebihnya Pak De usahakan sendiri."

"Keponakan macam apa kamu ini? Teganya masih menyuruhku untuk bekerja. Kamu yang memintaku ke sini, harusnya kamu penuhi semuanya."

"El, apa Om bilang? Terbukti 'kan?" ujar Rasya menengahi.

Sementara di hadapan ketiga lelaki itu masih tersisa Pak Rifan yang sedari tadi hanya duduk dan menyimak pembicaraan ketiga lelaki yang memiliki ikatan keluarga ini. Namun, lama kelamaan ayah Rista ini menjadi geram karena mendengar ucapan Pak De Har.

"Untuk apa datang ke sini kalau ternyata tidak bisa diandalkan?" celetuk Pak De Har sekali lagi.

"Maaf, Pak De. Pilihannya hanya itu, terima sembilan puluh juta, atau tidak sama sekali." Elvan masih teguh pada pendiriannya.

"El, uang mana yang akan diberikan? Kita tidak bisa memberikannya, El." Sang ibu mencoba membujuk Elvan yang sudah mode keras kepala.

"Nggak berguna! Begitu saja tidak bisa memenuhinya. Buang-buang waktu saja."

Elvan berdiri dan berjalan mendekati sang paman. Ia berdiri tepat di samping kursi pamnnya dan berjongkok sampai bibirnya sejajar dengan terlinga Pak De Har.

"El memang nggak berguna, Pak De, tetapi Pak De jauh lebih tidak berguna. Apa nggak malu ngemis sama anak yatim dan berusaha menguras peninggalan ayah? Ingat Pak De, dunia memang cerah, tetapi neraka jauh lebih meyakinkan untuk memanggil Pak De nyemplung ke sana."

"Keponakan kurang ajar! Bangsat! Begitu cara ayahmu mendidikmu?"

Elvan langsung berdiri dan tersenyum mendengar ucapan Pak De-nya. Ia segera mundur dua langkah dan bersiap menangkis jika memang pamannya itu main tangan. Berikutnya, Elvan justru tertawa.

"Lalu, haruskah El bilang kalau Pak De adalah kakak durhaka yang menghabiskan harta anak yatim? Pak De sepertinya lebih bangsat."

Ucapan Elvan meluncur begitu saja. Pak Rifan yang sedari tadi mengamati langsung berdiri di tengah Elvan dan Pak De-nya. Sosok yang tertua itu nyaris saja memukul Elvan, tetapi tertahan karena Om Rasya langsung menangkap tangan yang terangkat itu.

"Dasar bocah kurang ajar." Hanya kata-kata itu yang bisa Pak De ucapkan. Selebihnya, tubuh gempalnya itu terlihat bergetar karena mendapat perlawanan.

Sang ibu yang memang tidak pernah mendengar Elvan mengumpat tertunduk dalam. Sementara Rista membekap mulutnya. Elvan yang biasanya kalem, Elvan yang biasanya berkata lembut ternyata bisa juga bringas dan menyeramkan.

Namun, mereka yang menyaksikan di sana paham. Elvan sedang mempertahankan harga dirinya. Ia sedang menjaga benteng dirinya supaya tidak diinjak-injak. Bahkan semut pun akan menggigit ketika ia terancam bahaya, bagaimana Elvan tidak menjaga dan melawan ketika keluarganya yang diinjak-injak?

🍂🍂🍂

Day 14
Arena Homebattle Anfight
Bondowoso, 19 April 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro