:: Ketenanganku ::

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beri aku sedikit waktu saja.
Untuk berdamai, untuk menerima semua ini.
Aku berjanji ini yang terakhir,
nanti aku akan pulang ketika waktunya tiba.

🍂🍂🍂

Salat subuh dilakukan seperti biasanya. Yang tidak biasa adalah kehadiran Elvan dan azannya uang memukau jamaah yang hadir. Karena merasa malu, Elvan memilih untuk pindah ke lantai dua setelah berpamitan pada jamaah lain dan Pak Fathur.

"Pak, permisi mau masuk ke ruang ta'mir masjid. Mau ambil hp."

"Silakan, Mas. Nggak usah izin juga nggak apa, kok," jawab Pak Fathur

"Terima kasih, Pak. Saya sekalian mau izin untuk ke lantai dua, boleh?"

Begitu mendapatkan izin, Elvan langsung mengambil ponselnya dan bergegas menuju lantai dua. Ia memilih duduk di dekat pagar dan menghadap ke timur. Dibawanya sebuah Al-Quran dan dibacanya dengan perlahan.

Sesekali matanya menatap pemandangan yang jauh di hadapannya. Semburat jingga mulai tampak dari. Elvan menyelesaikan bacaan Al-Qurannya setelah menghabiskan beberapa lembar dan diakhiri dengan doa sekali lagi.

Banyak orang yang ingin ketenangan justru beralih menuju keramaian. Ada yang benar-benar ingin tenang dan berdiam diri di satu ruang ternyaman bernama kamar untuk mendapatkan yang diinginkan. Ada juga yang memilih untuk menghilang dan menjauh dari semuanya seperti yang Elvan lakukan.

Aku duduk di sini menikmati ciptaan-Mu, anugerah-Mu. Namun, mungkin ada yang aku lewati ketika aku mendapat bahagia rasa syukurku masih kurang. Ketika aku mendapat ujian ..., ah, masih pantaskah aku sebut pemberianmu itu ujian? Batin Elvan ketika jingga semakin menyebar di ufuk timur.

Tidak berapa lama seseorang yang dari semalam menjadi kenalannya menyusul ke lantai dua dan duduk di sampingnya tepat ketika Elvan selesai mengabadikan jingga yang menjadi candu untuk dirinya dan Rista.

"Keindahan ini tidak cukup untuk diabadikan menggunakan kamera, Mas, sebab manusia memiliki memori abadi di dalam ingatannya," ujar Pak Fathur.

"Eh, Bapak? Jamaah yang lain sudah pulang?"

Pak Fathur mengangguk. Ia duduk bersila dan ikut menatap pemandangan pagi yang terbilang cerah itu. "Mas El bisa tahu usia saya berapa?"

Elvan menoleh dengan tatapan yang menyiratkan tanya kembali. "Empat puluhan?"

"Setua itu usia saya yang dikatakan orang-orang. Padahal saya baru melewati usia tiga puluh lima. Mas El jangan terlalu banyak pikiran, jangan juga terlalu banyak beban, nanti wajahnya boros seperti saya."

"Maaf, Pak. Saya hanya menebaknya saja, tapi apa iya orang-orang menilai begitu?"

Lelaki yang masih setia dengan baju koko putihnya itu tertawa. Pak Fathur memang merasakan pandangan orang padanya seperti itu. "Nggak apa-apa, Mas. Memang wajah saya seperti ini."

Elvan terdiam. Ia merenungi kata-kata yang diucapkan Pak Fathur yang memintanya untuk tidak terlalu banyak menanggung beban, tetapi kenyataannya beban memang sudah menumpuk di bahu dan punggungnya.

"Pak, apa saya bisa bahagia?"

"Mas El kenapa pertanyaannya seperti itu? Semua pasti bahagia, Mas. Bahagia itu bukan sekadar materi, dikelilingi orang-orang baik juga termasuk kebahagiaan."

"Kalau diberikan orang jahat?"

"Itu termasuk bahagia juga, karena kita disayang dan diberikan contoh untuk tidak menirunya."

Oborolan dan ucapan Pak Fathur memang terkesan sederhana, tetapi maknanya lumayan dalam. Hal ini membuat Elvan banyak merenung dan memikirkan kembali kejadian yang sudah menimpa keluarganya.

Melihat matahari sudah mulai naik meninggi dan semakin terik, Pak Fathur meminta untuk undur diri karena akan membersihkan masjid. Biasanya saat mendekati waktu dhuha, beberapa pegawai kantor di sekitar masjid akan mampir dan melaksanakan salat dhuha di sana.

Elvan memilih tetap menikmati suasana pagi ini. Meski sejak awal udara dingin menusuk kulitnya, tetapi ia merasakan tenang, sejuk, dan benar-benar mendapatkan ketenangan yang ia cari.

Mode pesawat ia non-aktifkan. Seketika itu ponselnya bergetar terus-menerus pertanda banyak pemberitahuan yang masuk. Tanpa memedulikan pesan yang sudah masuk, Elvan justru mengunggah satu foto yang ia dapat pagi ini dengan catatan yang cukup menyentuh.

Begitu postingan selesai diunggah, ia beralih memeriksa pesan-pesan yang masuk. Catatan panggilan tak terjawab menembus angka tiga puluhan. Dari Pak Rifan, Rista, Jani, bahkan beberapa teman terdekat lainnya.

Belum lagi dengan pesan yang bederet panjang dari beberap orang. Ada sekitar lima ratusan pesan yang belum terbaca. Ketika Elvan sibuk membuka dan membalas pesan dari yang terbawah, sebuah panggilan masuk. Nama Rista terpampang di ponselnya.

"Di mana? Kapan mau pulang? Jani sudah nungguin dari semalam." Suara seorang gadis pujaan hatinya terdengar sangat lantang.

"Asalamualaikum, Wa alaikum salam." Elvan yang berucap salam, Elvan juga yang menjawabnya. "Sebentar lagi pulang. Mungkin agak siangan dikit."

"Kamu ingat nggak kalau Jani harus kembali ke asrama, El?"

"Ingat, nggak apa-apa. Jani suruh balik dulu, bentar aku dah balik, kok. Santai, Ta."

Suara dari seberang tidak terdengar lagi karena sambungan telepon tiba-tiba terputus. Rista sepertinya marah pada Elvan, tetapi lelaki itu memakluminya. Ia sadar bahwa tindakannya kali ini memang membuat khawatir banyak orang.

Belum juga ia meletakkan ponsel di saku celana, getaran tanda panggilan masuk kembali terasa. Kali ini Elvan melihat nama Papa Rifan yang tertera.

"Asalamualaikum, Nak. Elvan pulang, ya? Ibu sama adiknya sudah nunggu di rumah." Suara dari seberang terdengar sangat menenangkan.

"Wa alaikum salam. Iya, Pa. Sebentar lagi Elvan pulang."

"Cepat-cepat pulang, dah. Papa sudah nggak kuat dengar yang di sini ngaum terus kayak singa. Maunya ngamuk aja. Tugasmu menaklukkannya, Nak. Papa ndak sanggup."

Elvan tersenyum mendengar ucapan Papa Rifan. Memang seperti itulah Rista ketika marah. Tidak bisa mengontrol emosi dan akan lebih cerewet dari biasanya. Siapa saja juga akan terkena imbasnya jika dekat-dekat disaat genting melanda.

"Bilang sama Rista, Pa. Nanti biar makin mirip singa Elvan belikan topi karakter bentuk singa."

"Urusanmu, El. Papa ndak mau ikut-ikut. Cepat kembali."

Setelah sambungan telepon tertutup, secara bergantian teman-teman Elvan juga rupanya menanyakan kabarnya melalui pesan. Mau tidak mau ia membalasnya terlebih dahulu sebelum berpamitan pada Pak Fathur.

Elvan akhirnya memutuskan untuk salat dhuha sebelum pulang. Ia juga banyak berterima kasih pada Pak Fathur yang mau menampungnya. Begitu ia sudah siap, sekali lagi sambungan telepon membuat ponsel Elvan bergetar lagi.

Rista meneleponnya lagi. Baru saja ia angkat, suara kerasnya membuat Elvan sampai menjauhkan ponsel dari telinganya.

"Adhitama Elvan Syahreza! Mau disusulin? Share location sekarang juga."

"Allahuakbar, Ta. Gimana aku mau pulang kalau dari tadi diteleponin terus?"

"Alasan. Cepat pulang, nggak tau gimana caranya sebelum aku sampai di rumah kamu, kamu harus sudah ada di sana."

"Iya, Ta, iya. Bentar aku pinjam pintu ke mana saja punya Doraemon, ya?"

Lagi-lagi Rista menutup ponselnya tanpa pemberitahuan. Sepertinya Elvan membuat banyak orang kesal hari ini. Lelaki itu lebih banyak bersyukur dalam hati. Mungkin ini adalah salah satu nikmat di antara sengsara dalam hidupnya.

Ia masih diberikan orang-orang yang peduli padanya. Dikelilingi oleh orang-orang baik yang senantiasa setia dalam suka ataupun dukanya. Hal itu tentu sebuah berkah yang sudah semestinya disyukuri. Elvan juga berjanji akan menjaga mereka yang selalu ada untuknya.

🍂🍂🍂

Day 13
Arena Homebattle Anfight
Bondowoso, 18 April 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro