:: Menepi ::

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak perlu memusingkan aku.
Aku tidak akan ke mana-mana.
Hanya butuh menepi sejenak.
Memulai lagi dari titik nol.
Berharap saat memulai, semua baik-baik saja.

🍂🍂🍂


Matahari sudah mulai tergelincir di ufuk barat. Elvan yang sudah sedari siang menemani Rista di kedai memilih untuk pamit. Sebotol minuman rasa jeruk yang belum habis, bersama dengan sebungkus rokok dan sebuah pemantik ia masukkan ke dalam sakunya.

"Balik dulu, Ta."

"Ke mana? Nggak mau anter aku pulang?"

"Aku masih ada urusan sebentar, baru pulang."

"Jangan lama-lama, jangan pulang larut malam."

"Siap, Bos. Laksanakan!"

Elvan menyalakan motornya dan berlalu begitu saja. Biasanya, sebelum menjalankan motornya, Elvan akan menoleh, dan berpamitan sekali lagi. Belum juga Rista mengucap salam dan memintanya berhati-hati, lelaki berkaos hitam itu sudah melesat.

Awalnya Rista tidak mengkhawatirkan apa-apa tentang Elvan. Sebab kehadirannya siang tadi masih terlihat normal di matanya. Sampai saat kedai kebabnya akan tutup, ia menerima panggilan telepon dari Jani.

"Halo, iya, Jan? Ada apa?"

"Kak Tata, Kak El ada di situ?"

"Tadi siang sampai hampir magrib memang di sini. Setelah itu dia pamit ada urusan sebentar. Bilangnya setelah itu mau pulang."

"Nggak ada, Kak. Kak El belum pulang."

"Sudah coba dihubungi?"

"Nggak diangkat, Kak. Ke mana, ya? Ibu nanyain terus. Jani juga harus balik malam ini ke asrama. Kalau Kak El belum pulang, Jani mana bisa ninggalin Ibu?"  ujar si penelepon dengan nada khawatir.

"Nanti Kak Tata bantu hubungi dan tanya sama beberapa teman nongkrong, ya? Jani bilang sama Ibu untuk nggak khawatir."

Setelah mendapat jawaban dari Rista, Jani mematikan panggilannya. Sementara Rista semakin mempercepat menutup kedainya. Gadis itu juga mengirim pesan berkali-kali pada Elvan, tetapi pesan pada WhatsApp itu hanya centang satu.

Rista memilih untuk pulang. Begitu sampai di rumah, ia meminta papanya untuk mencoba menghubungi Elvan. Selain itu, ia juga mencoba mencari Elvan melalui beberapa kenalan yang biasanya nongkrong atau main bersama.

Lingkup pertemanan Elvan yang sempit seharusnya mudahkan Rista untuk mengetahui di mana keberadaan Elvan. Namun, hal itu tidak berlaku. Teman dekat yang tidak seberapa banyak itu justru tidak tahu menahu di mana keberadaan Elvan.

"Pa, gimana? Sudah ada balasan dari El?"

"Nggak ada, Ta. Bahkan Papa sudah telepon berkali-kali cuma berdering saja. Ke mana, ya? Tumben ni anak ngilang."

"Papa punya nomer Om Rasya? Mungkin El ke sana bahas Pak De atau bahas yang lainnya."

"Ah, iya. Sebentar Papa coba."

Pak Rifan mencoba menghubungi satu kerabat yang Elvan percaya itu. Ketika telepon tersambung, Pak Rifan menampakkan binar matanya apalagi ketika Om Rasya mengatakan Elvan memang datang ke rumahnya.

Namun, binar mata itu surut ketika Om Rasya mengatakan Elvan sudah berpamitan selepas salat isya' di rumahnya. Itu berarti sudah hampir tiga jam yang lalu Elvan berpamitan.

Rista menggigiti kuku tangan kanannya. Sementara tangan kirinya sibuk bergerak mengetuk meja. Ia benar-benar khawatir kali ini. Sebab tidak biasanya Elvan sulit dihubungi dan tidak pulang ke rumah.

"Halo, Jan? El sudah pulang? Dari mana? Baik-baik saja 'kan?"

Rista langsuny mengangkat telepon dari Jani begitu nama si bungsu terpampang di layar ponselnya.

"Ini Jani telepon mau tanya, tapi sepertinya Kak Tata juga belum ketemu sama Kak El."

"Iya, Jan. Bahkan kata Om Rasya kakakmu sudah pamitan pulang tiga jam yang lalu."

"Kak, semisal Jani bohong dan bilang kalau Kak El tidur di rumah Kak Tata ke Ibu, gimana? Ibu nggak mau tidur sebelum tahu Kak El ada di mana, Kak."

"Gimana baiknya saja, Jan. Kasihan Ibu kalau nggak bisa istirahat."

"Maaf, Kak Tata. Keluarga Jani selalu merepotkan."

"Nggak, Jan. Nggak ada yg merasa direpotkan. Kamu istirahat juga, ya. Kak Tata jamin El nggak akan ke mana-mana. Dia hanya butuh waktu."

Kedua gadis itu mengakhiri panggilan. Meski dalam hati masih berkecamuk dan banyak pertanyaan, mereka terpaksa menyelesaikannya. Menunggu pun percuma, sebab Elvan seperti menghilang ditelan bumi.

🍂🍂🍂

Sosok lelaki bertopi berjalan perlahan memasuki halaman masjid. Ia meminta izin pada marbot yang sedang membersihkan pelataran masjid. Sejenak singgah sepertinya tidak ada salahnya.

Setelah pulang dari rumah omnya, Elvan tidak langsung pulang. Ia ingin menepi dari ramai di kepalanya. Ingin menenangkan hati, mencari jawaban atas ujian yang sedang dihadapi oleh keluarganya.

Begitu melihat bangunan masjid megah berlantai dua, ia menjadi tertarik untuk mampir. Apalagi penjaganya memang ramah. Elvan sering ke sini, tetapi di waktu-waktu salat saja. Baru kali ini ia berkunjung ketika jamaah sedang sepi.

"Duduk, Mas. Silakan dinikmati kopi dan cemilan ini. Seadanya saja, Mas."

"Terima kasih, Pak," ujar Elvan dan mulai meraih cangkir kopi yang masih panas.

Uap kopi terlihat jelas. Elvan menghirupnya dalam-dalam dan menyeruput secara perlahan. Sensasi panas, sedikit asam, dan manis langsung meraba indera pengecapnya.

"Enak, Mas? Ini kopi asli dari kampung saya. Prosesnya masih tradisional, disangrai pakai kayu bakar."

"Aromanya sedap, Pak. Enak seperti ada rasa coklat juga."

"Ini waktu disangrai memang dicampur sama biji cokelat, Mas. Baru sekarang merasakannya, ya?" Sang marbot masjid mengucapkannya dengan bangga.

Elvan mengangguk sambil sekali lagi menyeruputnya. Sensasi yang baru ia rasakan ternyata membuatnya ketagihan. "Nama saya Elvan, Pak. Bapak bisa panggil saya El. Hm, kalau saya mau minta izin untuk menginap semalam di sini, apa boleh?"

"Wah, boleh, Mas. Nanti bisa tidur di ruangan khusus ta'mir masjid saja. Di sana ada alas dan bantal juga. Ya, saya juga tidur di sana, sih. Saya Fathur, Mas."

"Bapak nggak mau tanya apa-apa?"

"Nggak perlu, Mas. Kalau memang butuh, nanti pasti Mas El cerita sendiri. Iya 'kan?"

Elvan tersenyum. Baru kali ini ia menemukan seseorang yang tidak banyak bertanya. Padahal bisa dibilang ia orang asing yang hanya singgah untuk beberapa saat.

Setelah mendapat izin, El meletakkan jaket yang tersimpan di bagasi motornya. Ia juga sesekali mengecek ponsel yang diatur dalam mode pesawat.

Ini lucu, untuk apa ia memeriksanya? Bahkan pesan pun tidak akan masuk jika ia mengatur ponsel dengan mode seperti itu, tetapi dengan polosnya ia masih saja mengecek keadaan ponselnya.

Dalam benaknya, ia hanya ingin mencari ketenangan. Tidak peduli pada keadaan, tidak peduli pada mereka yang bingung mencarinya sampai larut malam.

Elvan hanya ingin sekali saja berlaku egois, meninggalkan keluarganya, dan memberikan kesempatan pada diri sendiri untuk menemukan apa yang ia cari.

Mendekati tengah malam, Elvan masuk ke ruangan yang ditunjuk, tetapi baru setengah jam terlelap ia sudah terbangun karena memimpikan sang ayah. Daripada terngiang, akhirnya Elvan memutuskan untuk salat malam.

Seumur hidup, ia terbilang tidak rutin melakukan kegiatan ini. Bahkan kadang ayahnya harus sedikit memaksanya. Katanya, ia bukan sosok yang terlalu religius.

Aku yang jarang bersimpuh, aku yang hanya ingat saat susah menimpaku, dan aku yang kadang lupa ketika senang menghampiri. Maafkan hamba yang kadang sering lalai, maafkan hamba yang kadang sering khilaf, batin Elvan pada salah satu sujud dalam salat malamnya.

Tidak lupa ia juga sebut nama seseorang yang belakangan memang ia sebut dalam doanya, di sepertiga malam.

"Mas El, mau bantu saya untuk azan subuh?" tanya Pak Fathur dan disambut anggukan dari Elvan.

Tidak terasa waktu ternyata berlalu begitu cepat. Padahal rasanya Elvan baru saja duduk dan bersimpuh mencurahkan segala kegelisahannya. Belum juga tuntas, ternyata waktu subuh sudah tiba.

Elvan melantunkan azan dengan cengkok yang sangat merdu. Bahkan beberapa jamaah yang biasa hadir langsung bertanya pada Pak Fathur siapa yang melakukan panggilan salat. Seketika Pak Fathur menunjuk seorang pemuda yang duduk di pojok saf terdepan.

🍂🍂🍂

Day 12
Arena Homebattle Anfight
Bondowoso, 15 April 2022
Na_NarayaAlina



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro