:: Berbenah Kenangan ::

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ia menghilang & aku tidak bisa melihatnya lagi.
Meski begitu, ia terasa nyata ketika aku rindu.
Meski kau tak bisa melihat seseorang.
Bukan berarti mereka tak di sisi kita.
Selama kau mengingat mereka.
Mereka tak akan pernah menghilang.

🍂🍂🍂

Seperti ada yang menghilang dalam hari-hari Elvan. Ketika biasanya sang ayah paling peka di rumah, dan mendadak ia menghilang bersama dengan sejuta kebiasaan yang membuat anak-anaknya merasakan kehampaan.

Mungkin memang benar jika seseorang itu akan lebih terasa berharga ketika telah pergi. Meski waktu sudah berjalan, meski hati juga mulai menerima, tetapi yang hampa ternyata belum juga terisikan.

Elvan menaiki motornya untuk pulang. Ia sengaja pulang lebih awal pada hari Kamis. Sang ibu mengingatkannya untuk hadir dalam pengajian rutinan malam Jumat yang diadakan di kompleks rumahnya.

Orang-orang menyebutnya kiyafahan, padahal kata dasarnya adalah kifayah. Yang arti sebenarnya adalah sebuah kewajiban bersama bagi mukalaf, yang apabila sudah dilaksanakan oleh seseorang di antara mereka, yang lain bebas dari kewajiban itu, misalnya kewajiban menguburkan mayat.

Kegiatan dalam kifayahan berupa pengajian rutin dan kegiatan menabung. Ketika ada yang meninggal maka mereka akan mengeluarkan sejumlah uang untuk membantu uang belanja di rumah duka. Selain itu, mereka juga mempersiapkan peralatan untuk memandikan jenazah, lengkap dengan keranda dan penutupnya, kelambu, kain kafan, tikar, dan lain-lain

Baru memasuki area perumahannya, seseorang menyapanya dan membuat Elvan menghentikan laju motornya.

"Ada apa, Pak?"

"Mas El dari pulang kerja? Nanti bisa hadir di kifayahan?"

"Iya, saya baru pulang, Pak. Semalam Ibu memang bilang dan minta saya untuk hadir. Ada apa, ya?"

"Nggak apa-apa, sekalian nanti mau kasih titipan dari petugas desa. Saya lupa yang mau nyampaikan sama Mas El. Nanti ketemu di rumah Pak Rifan, camernya Mas El."

"Eh, kok camer saya?"

"Lah, Mbak Rista bukan pacarnya Mas El?" tanya si tetangga dengan penuh keheranan.

"Jangan percaya omongan orang yang masih katanya, Pak. Saya permisi dulu, sampai ketemu di tempat, ya, Pak."

Elvan kembali melajukan motornya. Ia lupa perihal tempat kiyafah hari ini, padahal Rista sudah memberitahunya dan gadisnya itu justu pulang lebih awal darinya.

Sesampainya di rumah, ia dikejutkan dengan beberapa barang yang berserakan di depan pintu kamar orang tuanya. Beberapa keranjang penuh dengan pakaian sang ayah. Sedangkan di tempat lain berisikan beberapa barang seperti dasi, sabuk, dan topi yang sering ayahnya kenakan.

"Asalamualaikum, Bu, Mbak," ujar Elvan menyapa dua wanita yang menghuni rumahnya.

"Eh, sudah pulang? Kalau sudah siap nanti kabari Ibu, ya? Sekalian mau titip ini untuk diberikan ke beberapa orang dari tetangga sekitar kompleks yang kurang mampu, El. Boleh?"

"Boleh, Bu. Semuanya?"

"Nggak. Hanya sebagian dan itu adalah baju-baju yang ibu belikan."

"Kenapa malah dikasih orang, Bu? Sayang sama kenangannya."

"Nggak apa-apa. Ibu juga sisakan buat Faza, kamu dan Alvan. Baju harian sama baju koko. Mau?"

Elvan mengangguk. Ia tidak menyangka ibunya justru memberikan baju sang ayah pada orang lain. Lelaki berambut ikal itu menghela napas. Ia melirih beberapa pakaian yang tersisa dan beberapa barang lainnya.

"Kamu sudah mirip sama Ayah. Kalau pakai baju yang Ibu pilihkan untuk Ayah, Ibu takut nanti mewek pas kamu atau keluarga yang lainnya pakai, El."

"Iya, Bu. El paham dengan maksud Ibu. Kalau gitu, El boleh pakai itu ke acara nanti?" tunjuk Elvan.

Si pemilik mata cokelat itu menunjuk sebuah baju koko berwarna biru denim dengan hiasan bordir di sederhana di bagian depan. Baju itu berada di tumpukan yang tidak diberikan pada orang lain, berarti ayahnya mendapat itu dari keluarga.

"Mas El pandai milih baju. Ini cocok buat Mas El." Mbak Ina menyerahkan pakaian yang Elvan inginkan.

"Terima kasih, Mbak. Kalau gitu El siap-siap dulu, Bu."

Elvan langsung menuju kamarnya. Ia bersiap sambil menunggu waktu magrib tiba. Setelah bersiap, ia memilih untuk duduk di ruang tengah sambil sesekali sang ibu membereskan sisa-sisa kekacauan sore ini.

Sang ibu mendekatinya yang tengah membaca doa dan zikir petang. Dengan pelan sang ibu menyodorkan beberapa berkas yang ayahnya pegang. Beberapa buku tabungan, surat tanah, kartu keluarga, akta kelahiran dari semua saudara-saudaranya.

Ayahnya itu selalu disiplin dalam menyimpan barang-barang berharga. Selalu ada tas khusus untuk menyimpan lembar ijazah, surat kepemilikan rumah, dan yang lainnya.

"Ini El yang pegang, ya? Nanti kalau senggang dilihat-lihat mungkin ada yang harus dilakukan dengan itu semua."

Elvan memeriksanya sejenak. Ia melihat rapot dan ijazah dari TK hingga SMA ada di sana. Begitu juga dengan milik saudaranya yang lain. Elvan melirik beberapa buku tabungan yang tersimpan secara terpisah.

"Tabungan anak, tabungan Haji/Umroh, tabungan Pribadi." Elvan membaca catatan yang tertempel di sampul buku tabungan tersebut.

Dari ketiganya itu semua tabungan atas nama ayahnya, tetapi catatan yang ada ternyata diperuntukkan untuk kebutuhan yang berbeda-beda. Sepertinya itu dipersiapkan untuk keluarganya.

"Kamu urus yang perlu diurus. Sisanya dipergunakan saja sesuai kebutuhan, El."

"Nanti El coba lihat-lihat lagi yang lainnya, Bu."

Elvan beranjak menuju kamarnya sambil membawa beberapa barang peninggalan sang ayah. Elvan sungguh mengharap sang ibu mampu berdamai dengan keadaan. Hal ini sudah membuktikan ibunya bisa melewatinya. Setidaknya, sang ibu mau mengurus dan menyentuk barang ayahnya tanpa lelehan air mata, itu sudah sangat bagus.

Elvan langsung berpamitan untuk hadir di acara pengajian rutin. Ia memilih berjalan kaki karena jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh. Di jalan, Elvan menyapa tetangga dan berjalan bersama menuju rumah Rista.

Sesampainya di sana, ia langsung dipanggil oleh bapak-bapak yang dijumpainya tadi. Si bapak dengan baju koko putih itu langsung menyodorkan selembar kertas ke arah Elvan.

Elvan yang berjalan menunduk sambil menyalami orang-orang yang dilewatinya menyambut kertas itu dan memilih duduk di bagian terdalam rumah. Setelah mendapat posisi yang nyaman, Elvan langsung membukanya.

Selembar kertas berwarna kuning cerah dengan tulisan Surat Kematian di bagian paling atas. Dari sekian banyak surat yang pernah ia terima, hanya surat ini yang mampu meremas dadanya dengan sangat kuat.

Ia memandangi surat itu dengan mata berkaca-kaca. Surat yang berisikan nama ayahnya, tanggal kematian, serta penyebab kematian. Semua tercetak rapi lengkap dengan tanda tangan dari pihak pemerintahan yang bertugas dalam hal ini adalah lurah setempat.

"El, nggak apa-apa kalau misalnya mau meluapkan semua kesedihannya. Nangis saja, Nak."

Elvan menoleh pada sosok yang bersuara. Itu adalah Pak Rifan, sang pemilik rumah, sekaligus seseorang yang Rista dan Elvan panggil dengan sebutan Papa.

"Pa, kalau boleh minta, El nggak pengin terima surat seperti ini lagi."

Rangkulan ayah Rista semakin erat pada bahu Elvan. Sedangkan sang pemilik bahu justru semakin menunduk dan berusaha menahan isakannya. Beruntung acara segera dimulai, hal itu membuat Elvan bernapas lega karena tidak harus menghadapi pertanyaan macam-macam dari orang yang hadir saat itu.

Tidak sampai satu jam, acara selesai. Mereka yang tinggal hanyalah pengurus yang menghitung jumlah tabungan yang masuk hari itu. Elvan diajak mendekat dan membantu menata uang yang terkumpul.

"Mas El, namanya mau tetap pakai nama Pak Rudi atau mau diganti dengan nama Mas El?"

"Tetap pakai nama Ayah saja, Pak."

"Oh, iyaaa. Mas El belum berkeluarga, nanti saja kalau sudah berkeluarga baru diganti pakai nama sendiri. Begitu 'kan?"

Elvan menggaruk tengkuknya. Ia merasa tak nyaman berada di antara pengurus itu. Apalagi ayah Rista hanya senyum mendengar gurauan dari para pengurus kifayah itu.

"Pak, saya permisi mau bantu beres-beres di dalam dulu." Elvan berpamitan, tetapi bukannya mendapat ketenangan, justru suara gurauan semakin keras.

"Calon menantunya Pak Rifan sergep, ya? Nggak perlu disuruh langsung gerak cepat buat bantu-bantu," ujar seorang yang memakai kacamata.

"Iya, mana anaknya juga ganteng, nggak neko-neko, nurut lagi. Pak Rifan nggak salah pilih calon menantu," sambung bapak yang mengenakan baju koko putih.

"Alhamdulillah, anak laki-laki saya yang ini memang baik, Pak. Doanya saja."

Ayah Rista menjawab sekenanya dan hal itu justru menimbulkan beberapa tafsiran di kepala Elvan yang masih mencuri dengar percakapan di luar sana. Mungkinkah Rista sudah menceritakan hal itu? Atau jangan-jangan dirinya yang terlalu percaya diri.

🍂🍂🍂

Day 7
Arena Homebattle Anfight
Bondowoso, 10 April 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro