:: Daun Gugur ::

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Teruntuk engkau yang dijaga dan dirawat sepenuh hati.
Ada masanya kau akan pergi.
Membangun keluarga baru, bersamanya.
Bersama ia yang sudah menjabat tangan ini.

🍂🍂🍂

Ada pengharapan yang lebih ketika manusia sudah merencanakan sebuah kehidupan yang baru. Namun, semua rencana hanya tinggal rencana, tetap Tuhan yang memiliki andil untuk mewujudkannya.

Sekuat dan segigih apa manusia berusaha, segala ketetapan hanyalah milik-Nya, sang pemilik hidup. Tidak ada yang menghendaki sebuah cobaan hidup, tetapi Tuhan tahu siapa yang mampu dan bisa melewatinya.

Langkah gontai mengiringi kembalinya Elvan dari ruang ICU tempat ayahnya dirawat. Rista yang setia menunggu di depan ruangan itu langsung menyambutnya dan membawanya duduk di kursi tunggu yang disediakan.

Hening. Tidak ada sepatah kata yang terucap dari bibir Elvan. Begitu juga dengan Rista, ia hanya duduk menemani sambil sesekali mengusap tangan dingin milik Elvan.

"Ta, punya tisu?"

Perempuan dengan rambut yang dikuncir ekor kuda itu langsung membuka tas dan mengambil apa yang dibutuhkan. Ia langsung menyodorkan pada Elvan yang tengah sibuk menutup hidungnya. Bahkan, di sela-sela jari sudah tampak rembesan cairan berwarna merah pekat.

"Di dalam pasti dingin banget, ya?" ujar gadis itu sambil membantu membersihkan tangan Elvan. Tidak lupa juga ia menggulung tisu dan digunakan untuk menyumbat satu lubang hidung Elvan yang masih meneteskan darah. "Sudah cukup? Pusing, El?"

Si lelaki mengembuskan napasnya dengan keras. "Ada yang mesti aku lakukan, Ta. Bisa bantu aku jaga Ayah? Aku harus pulang dan bilang kalau pernikahan Mbak Dina harus segera dilakukan. Ini permintaan Ayah."

"Kerjakan apa yang seharusnya kamu kerjakan. Kamu tenang saja, sebentar lagi Papa akan datang dan menemaniku di sini. Kamu tahu sendiri bagaimana persahabatan Ayah dan Papa."

Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan untuk menjaga ayahnya. Akan ada sahabat karib sang ayah yang akan menemani. Elvan juga sudah percaya pada keluarga Rista. Mereka benar-benar selalu membantu.

Kedua keluarga yang awalnya bukan siapa-siapa, karena sebuah ikatan persahabatan akhirnya menjadi dekat dan saling melengkapi. Bahkan persahabat dua kepala keluarga itu diwariskan kepada Elvan dan Rista.

"Aku pulang, selalu kabari perkembangan Ayah selama aku belum kembali."

Rista menyerahkan kunci motor yang ia kantongi. "Hati-hati, tetap fokus waktu di jalan, El."

Elvan mengangguk sambil mengacungkan jempolnya. Ia tetap berusaha untuk fokus, meski ternyata isi kepalanya tak mengizinkan untuk fokus pada satu tujuan. Pikirannya terlalu penuh. Semua terasa penuh bahkan seperti ingin meledak saja.

🍂🍂🍂

Tidak pernah sekalipun terbayangkan jika keluarga Syahreza harus menghadapi situasi yang seperti ini. Pernikahan Dina yang seharusnya dilangsungkan seminggu lagi, harus dilaksanakan lebih awal.

Sang ayah yang sudah menunjukkan sedikit perkembangan dan sudah sadar sepenuhnya akhirnya dipindahkan ke ruang rawat. Hal ini membuat persiapan pernikahan dadakan menjadi sedikit lebih mudah dan tidak mengganggu pasien lain.

Seorang penghulu dari KUA setempat, beserta seorang petugas lainnya sudah datang. Papa Rista dan salah satu paman Elvan ditunjuk sebagai saksi nikah. Ditambah dengan keluarga besan yang memang sudah hadir tepat di hari kejadian tak mengenakkan itu.

"Sudah siap?" tanya penghulu yang dijawab dengan anggukan dari beberapa orang yang hadir di sana.

Tidak ada hiasan dalam ruangan itu. Tidak ada juga riasan berlebihan dan gaun mewah yang dikenakan oleh setiap orang yang hadir. Suasana sendu mendadak memenuhi seisi ruangan.

Dina hanya mengenakan kebaya modern bekas ia wisudah dulu dengan riasan tipis hasil kerjasama Jani dan Rista. Sang mempelai pria hanya mengenakan sebuah baju koko berwarna senada dengan kebaya milik Dina.

Sebuah karpet yang memang dibawa dari rumah sengaja digelar di tengah ruangan. Saksi, penghulu dan mempelai sudah duduk di sana. Elvan duduk bersebelahan dengan penghulu, persisi di hadapannya sudah ada Dina dan calon suaminya. Saksi menempati tempa lain yang masih kosong.

Elvan diarahkan untuk menjabat tangan calon kakak iparnya. Ia mendengarkan dengan saksama apa saja yang penghulu ucapkan sebagai bagian dari petunjuk dan tata cara untuk menikahkan kakaknya.

Setelah semuanya siap, Elvan mulai menata dirinya supaya lebih rileks. Katanya kelanggengan sebuah rumah tangga itu bisa dilihat dari bagaimana lancarnya prosesi akad berlangsung. Entah itu bagian dari mitos atau hanya pendapat sebagian orang, yang pasti Elvan ingin semuanya berjalan dengan lancar.

Ucapan basmalah menjadi awalan yang Elvan ucapkan. "Saya nikahkan engkau, Faza Ar Rizky bin Fachrizal dengan saudari perempuan saya, Ardina Eka Syahreza binti Rudi Syahreza dengan mas kawin cincin emas seberat dua gram dibayar tunai."

"Saya terima nikahnya Ardina Eka Syahreza binti Rudi Syahreza dengan mas kawin cincin emas seberat dua gram dibayar tunai," ujar mempelai pria dengan lancar dalam satu tarikan napas.

"Bagaimana para saksi? Sah?"

"Sah!" ujar para saksi dan keluarga yang hadir di sana.

Saat penghulu memimpin doa setelah akad, beberapa pasang mata tampak tak kuasa menahan air mata. Satu yang luput dari pengawasan, seorang pasien yang hanya bisa terbaring di ranjang juga turut menangis begitu putra laki-laki pertamanya menjabat tangan calon menantu dan mulai membacakan ijab untuk putri sulungnya.

Ayah Elvan yang hanya bisa berbicara satu dua kata semakin terharu ketika putri sulungnya memeluk lembut tubuhnya yang terbaring usai doa selesai dipanjatkan. Begitu juga dengan menantunya yang dengan telaten menghapus lelehan bening di sudut matanya.

"Dulu dan sampai sekarang Ayah adalah yang terhebat karena sudah menjaga dan merawat Dina. Sekarang, Faza minta izin untuk menjaga dan merawat Dina. Tangan yang dulu selalu Ayah genggam, akan Faza genggam erat, Yah." Ucapan sang mempelai pria itu diakhiri dengan mencium tangan ayah mertuanya.

Dina masih belum selesai dengan tangisnya. Ia masih memeluk tubuh ayahnya dengan sangat hati-hati. Bisikan doa dan semangat selalu ia ucapkan untuk ayahnya. Faza berlanjut menyalami dan meminta restu pada semua yang ada di sana.

Hingga seseorang yang paling terakhir dan belum disalami ia dekati. Elvan yang menghindar dari tatapan orang-orang dan berdiri di sudut ruangan terkejut ketika ia melihat sepasang kaki sudah berdiri di hadapannya.

"El, makasih."

"Mas, titip Mbak Dina. Dia memang anak sulung, tapi manjanya nggak jauh beda dengan Jani. Jangan sakiti dia, jangan khianati dia. Sekali saja Mas Faza nyakitin, Mas tau 'kan siapa yang akan dihadapi?" ujar Elvan.

Faza tidak kuasa menahan dirinya. Ia merengkuh Elvan dan memeluknya erat. Satu kekaguman muncul dari Faza. Elvan begitu tegar menjalani ini. Begitu pikir Faza. Namun, semua perkiraannya salah. Seketika ia menyadari bahwa tubuh yang ia peluk itu sedang bergetar hebat dan menahan isakan tangis.

"Kalau suatu saat Mas Faza sudah nggak sayang sama Mbak Dina. Hubungi El, biar El yang jemput. Jangan diusir, jangan diantarkan pulang. Biarkan tangan ini yang menjemput dan membawa Mbak Dina pulang karena tangan inilah yang sudah mengantar Mbak Dina."

"Percaya sama Mas, El. Dina terlalu berharga, Mas nggak akan pernah menyiakannya."

Sama seperti induk burung yang selalu melepas anak-anaknya saat sudah mandiri dan membiarkannya terbang bebas dengan sayap yang dimiliki. Seperti itulah yang keluarga Elvan alami saat ini. Mereka melepas Dina dan mengizinkan Faza untuk membawanya merantau karena ia sudah diterima bekerja di salah satu lembaga pemerintahan di luar Pulau Jawa.

Hal ini tidak ubahnya seperti pohon nan kokoh menjulang yang ditinggalkan daun-daunnya yang berguguran. Mereka akan berguguran bisa karena terbawa angin, atau memang waktunya untuk gugur.

🍂🍂🍂

Day 3
Arena Homebattle Anfight
Bondowoso, 06 April 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro