:: Pergi ::

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sekuat apa akan menahannya, yang pergi tetaplah pergi.
Mereka pergi untuk kembali.
Ia pergi dan tak 'kan pernah kembali.
Silih berganti, seperti waktu yang tetap bergulir

🍂🍂🍂

Ketika mempertahankan ternyata tidak bisa memberi sebuah kebaikan. Mungkin melepaskan adalah jalan yang terbaik. Meski berat, meski terlalu sulit, tetapi pilihan kedua sudah tidak ada lagi.

Delapan hari usai akad nikah di rumah sakit, di hadapan seorang pasien dengan luka bakar dan sakit lainnya. Kebahagian itu bertambah setelah kabar dari dokter yang menyatakan si pasien membaik, tinggal menjalani proses pemulihan.

Namun, kebahagiaan itu bertahan sehari. Keesokan harinya si kepala keluarga ternyata sudah ditakdirkan untuk selesai menjalani kehidupan di dunia ini. ia pergi tepat saat putra tertuanya tidak bersamanya.

Terluka, sakit, pedih, semua itu sudah tidak bisa dideskripsikan lagi bagaimana rasanya. Sang istri lebih memilih untuk berpasrah dan ikhlas. Merangkul si bungsu yang menangis sesenggukan karena kehilangan cinta pertamanya.

Elvan langsung menuju loteng rumah yang tidak beratap setelah proses pemakaman selesai. Ia hanya ditemani oleh Rista. Gadis itu sedikit kaget ketika Elvan tiba-tiba mengeluarkan sebatang rokok.

Satu batang saja mungkin untuk meluapkan sesak yang tidak bisa diungkapkan, pikir Rista.

"Kenapa Ayah pergi pas aku nggak di sampingnya, Ta? Aku nggak bisa mengantarnya dan melewati proses yang menyakitkan itu. Ayah pasti kesakitan. Ayah pasti kesepian, Ta."

"Karena beliau nggak pengin kamu punya kenangan tentang kepergiannya. Ayah nggak ingin membebani kamu dengan ingatan yang membuatmu sakit, El."

Setengah jam berlalu, lelaki yang mengenakan kemeja hitam dan celana kain berwarna hitam itu enggan untuk menghentikan aksinya menghisap rokok. Rista menunduk dan menghitung berapa puntung yang tercecer di sana.

"El, sudahi merokoknya. Nggak baik untuk paru-paru kamu."

"Satu lagi, Ta."

"Nggak. Setelah dikasih satu kamu bakal minta lagi, El."

Rista langsung merampas bungkus rokok yang sudah tersisa setengahnya. Entah bagaimana cara Elvan menikmatinya. Dalam waktu sesingkat itu ia sudah menghabiskan separuh bungkus rokok berisi dua belas batang.

"Mbak Dina menikah, dia ikut suaminya. Mungkin nggak lama Alvan juga akan pergi karena diterima bekerja di luar kota. Sisa aku, Jani dan Ibu. Ah, Jani masih kuliah dan tinggal di asrama kampus. Sisa aku berdua sama Ibu, Ta."

Elvan mengangkat sudut bibirnya. Senyum paling menyedihkan yang pernah Rista lihat selama berteman dekat dengan Elvan. Dan satu hal yang semakin membuat Rista tidak tenang, Elvan terlalu menekan dirinya untuk tidak terlihat sedih di hadapan keluarganya.

"El, kamu perlu meluapkan kesedihanmu."

"Aku anak laki-laki, Ta. Kalau aku sedih, gimana dengan Ibu dan adik-adikku? Aku harus kuat 'kan, Ta?"

"Kamu sudah lebih kuat dari apa yang kamu kira."

"Ta, aku nggak bisa terbang jauh. Sebelah sayapku sudah patah dan menghilang."

Rista terpaku mendengar ucapan Elvan. Ia yang bisa dikatakan orang luar sudah merasa sangat kehilangan. Bagaimana dengan Elvan. Sungguh, Rista tidak bisa membendung air matanya lagi. Ia memilih duduk memunggungi lelaki di sampingnya dan berusaha menyembunyikan tangisnya.

Senja sudah mulai tampak di ufuk barat. Mungkin tinggal beberapa menit lagi langit akan gelap. Elvan menajamkan pendengarannya ketika ia mendengar sedikit isakan. Ia akhirnya melirik Rista yang memunggunginya.

Tidak tahan merasa diacuhkan, Elvan menarik bahu Rista dan memaksa untuk berhadapan dengannya. Ia lantas membawa Rista ke dalam pelukannya. Kepala Rista menunduk dan menempelkan dahinya ke dada sebelah kiri Elvan.

Bukannya berhenti, tangisnya justru semakin pecah. "Aku nggak kuat, El. Apalagi kamu?"

"Ayah sudah tenang, Ta. Sekarang kamu boleh nangis sampai puas. Besok temani aku buat menata ulang dari awal, ya?" ujar Elvan sambil menepuk pelan belakang kepala Rista.

"Kak El, bisa turun sebentar? Pak De sama Om lagi ribut." Jani yang tiba-tiba muncul membuat keduanya gelagapan dan segera mengurai pelukan yang mereka lakukan.

"Iya, sebentar lagi Kakak nyusul, Jan. Ah, sekalian kalau bisa Jani temani Kak Tata dulu, ya?" Elvan menggunakan nama panggilan masa kecil saat menyebut nama Rista di hadapan adik bungsunya.

Jani mengangguk. Ia menggantikan posisi Elvan dan berganti memeluk Rista dengan sangat erat. Sesaat sebelum Elvan turun, ia bisa melihat bagaimana keduanya justru larut dalam kesedihan masing-masing.

Elvan langsung menuju ruang tengah. Di sana ia melihat kakak dari ayahnya sudah berdiri di tengah ruangan sambil menunjuk ibunya yang tengah duduk dan memeluk Alvan dengan sangat erat.

"Kalau bukan karena aku, kalian sudah jadi gelandangan. Jadi sudah sepatutnya apa yang Rudi miliki itu menjadi milikku juga. Setidaknya, dalam harta yang kalian miliki ada hakku juga."

"Mas, nggak bisa begitu. Mereka anak-anak kandung Mas Rudi. Merekalah yang lebih berhak untuk semua peninggalan Mas Rudi. Kalau memang Mas Rudi punya utang, biar aku yang membayarnya. Tagihlah padaku, jangan menagihnya pada keponakan-keponakanku," bela adik bungsu Rudi Syahreza.

Hari itu benar-benar tidak bisa diprediksi. Beruntung tidak ada tamu yang berkunjung untuk takziah. Beruntung juga mertua Dina tidak berada di sana. Mereka memilih kembali ke hotel untuk beristirahat.

Elvan langsung mendekati kakak dari ayahnya. Ia langsung memeluk dan menurunkan tangan yang teracung menunjuk ibunya. "Pak De, El mohon jangan seperti ini. Bisa dibicarakan nanti sama keluarga yang lain. Mungkin Ayah juga meninggalkan utang sama yang lainnya, biar El yang urus."

Orang yang dipanggil Pak De itu langsung berbalik dengan wajah yang memerah. "Kamu ngerti apa? Bisanya hanya jadi beban keluarga. Kamu masih kecil, nggak ngerti soal begini. Sudah, biar Pak De yang urus pembagian dan lain-lainnya."

Habis sudah kesabaran Elvan. Wajahnya tampak memerah, tangannya yang mengepal semakin erat dan menampakkan urat yang menonjol. Nyaris saja bantahan mulai terucap dari mulutnya saat sebuah tangan menepuk bahunya.

Sosok adik bungsu ayahnya menenangkannya. "Mas, jangan seperti ini. Malu kalau didengar dengan yang lainnya."

"Apanya yang jangan begini? Kalau nggak ditegaskan sekarang, mereka nggak akan tahu diri."

"Pak De, tahan di kuburan Ayah itu masih basah dan sekarang Pak De ngungkit soal harta? Kenapa nggak pas Ayah sekarat Pak De datang minta bagian dan kejelasan? Kenapa nggak waktu Ayah sehat Pak De tanya soal itu semua? Kenapa baru sekarang setelah Ayah nggak ada Pak De berani ungkit semua ini?"

Meledaklah amarah Elvan yang sedari tadi menahan diri. Nyaris saja lelaki berkemeja hitam itu melemparkan sebuah vas ke arah lelaki yang jauh lebih tua darinya. Namun, perbuatannya terhenti ketika si bungsu Jani langsung berlari dan memeluk dirinya.

"Kakak jangan marah-marah, Jani takut."

"Maaf, Kakak kelepasan. Ta, minta tolong bawa Ibu dan Jani ke kamar dulu."

Bukan tanpa alasan Elvan meminta hal itu pada Rista yang turun bersama dengan Jani. Ia merasa tidak baik jika adik dan ibunya terbebani dengan masalah harta. Beban fisik dan batin saja sudah terlalu memakan tenaga. Bagaimana jika ditambah dengan lainnya?

Kakak dari sang ayah itu mendadak bungkam ketika melihat amarah Elvan yang menggebu. Nyalinya seketika menciut. Bahkan di hari kedua, ketiga, sampai hari di mana Dina akan berangkat mengikuti Faza ke luar pulau Jawa, lelaki yang dipanggil Pak De itu sudah tidak menampakkan hidungnya.

Baru genap seminggu kehilangan sang ayah, keluarga Syahreza harus rela kehilangan Dina. Seperti yang direncanakan sejak awal, Dina memang akan ikut ke mana saja suaminya ditugaskan.

Selama masih memijak bumi yang sama, selama masih menatap lagit yang biru, selama masih menghirup udara yang sama, Dina masih bisa terjangkau dan kembali lagi kapan saja ia mau. Berbeda dengan sang ayah, ia sudah telanjur pergi dan tidak akan kembali.

🍂🍂🍂

Day 4
Arena Homebattle Anfight
Bondowoso, 07 April 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro