:: Mencoba Kuat ::

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Aku tidak diajarkan untuk kuat,
tetapi ditempa supaya kuat
Aku tidak diajarkan untuk bertahan,
tetapi diuji supaya mampu menahan.

🍂🍂🍂

Terlalu lama berdiam dalam sedih sangat tidak baik, tetapi memaksakan untuk baik-baik saja juga bukan jalan terbaik. Kehilangan seseorang adalah hal yang rumit dan sulit. Beberapa proses juga biasanya perlu dilalui untuk yang ditinggalkan.

Mungkin Elvan dan keluarganya termasuk yang bisa mengatasi proses itu dengan baik. Untuk sementara bisa dikatakan begitu. Hal ini didukung dengan keberangkatan Dina tepat setelah acara tujuh harian digelar.

"Maaf, Bu, Dina nggak bisa tinggal lebih lama lagi. Masa cuti Mas Faza sudah habis dan besok juga harus kembali bekerja."

"Nggak apa-apa, Mbak. Ibu memakluminya. Jangan lupa jaga kesehatan, sering-sering telepon, ya?"

Dua perempuan berbeda usia itu berpelukan dengan sangat erat. Kini putri sulung keluarga Syahreza resmi menjadi warga perantauan. Dina dan suaminya berangkat berdua karena keluarga besan sudah lebih dulu pulang tiga hari setelah prosesi akad nikah dilangsungkan.

"El, jaga Ibu dan adik-adik, ya? Mbak percaya sama kamu. Kamu memang ada sebagai pengganti Ayah."

"Iya, Mbak."

Hanya sepenggal kata yang Elvan ucapkan. Mendengar ucapan sang kakak Elvan merasa sedikit sakit. Ia sama sekali tidak pernah berharap menggantikan ayahnya. Ia juga tidak ingin posisi sang ayah tergantikan. Jika boleh meminta, mungkin ia lebih rela jika sang ayah yang tinggal dan dirinya yang pergi.

"El, jangan khawatir sama Dina, Mas akan menjaganya. Kamu juga nggak usah sungkan. Kalau ada hal yang ingin dibahas, langsung hubungi Mas Faza."

Akhirnya Dina benar-benar berangkat. Meski mereka sudah mengetahui dari lama tentang keberangkatan ini, kesedihan tetap saja tidak bisa dihindari. Hari itu menjadi tahap pertama keberangkatan karena dua hari berturut-turut Alvan dan Jani juga berpamitan.

Alvan harus memulai pekerjaannya di kota sebelah. Ia diterima di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang periklanan sesuai dengan jurusan yang diampunya. Hal ini membuat ia tidak leluasa jika setiap hari pulang.

"Nggak bisa, Kak. Jam kerja Alvan sampai sore. Belum lagi kalau sudah lemburan dan ada proyek. Bisa-bisa tidurnya di kantor, Kak."

Anak ketiga itu menjawab ketika Elvan memintanya untuk tetap tinggal di rumah. Namun, keputusan memang sudah bulat. Alvan sudah mendapatkan rumah kontrakan yang akan menjadi tempat tinggalnya di kota sebelah.

Lain halnya dengan Jani yang memang harus melanjutkan studinya dan kembali ke asrama. Selama ini memang ia menempati asrama kampus. Selain lebih dekat, lebih hemat biaya transportasi juga.

"Kalau ada waktu untuk pulang disempatkan, ya? Kasihan Ibu kalau harus sendirian. Apalagi Kak El juga harus kerja," pesan Elvan pada si bungsu.

"Iya, Kak. Jani usahakan free setiap akhir pekan. Kalau semisal jadwal lain ada yang kosong Jani juga akan pulang.

Elvan tidak yakin apakah ibunya akan nyaman jika di rumah itu hanya ada dirinya ditambah seorang ART bernama Mbak Ina. Bukan apa-apa, terbiasa menghabiskan waktu berdua dengan sang ayah, dan kini kebiasaan itu harus berubah. Elvan hanya takut ibunya sulit untuk beradaptasi.

🍂🍂🍂

"Alhamdulillah, akhirnya Mas El buka lagi," ucap seorang pramuniaga minimarket yang baru saja tiba.

"Iya, Mas. Baru bisa ninggalin rumah."

"Turut berduka, ya, Mas. Maaf, kami tidak bisa ikut semua pas takziah."

"Nggak apa-apa. Terima kasih atas bantuan doanya, Mas. Titip salam untuk yang lainnya."

Elvan mulai menata ulang kedai minuman kekinian yang sudah berhari-hari ia tinggalkan. Semua peralatan ia pilah dan dipindah ke belakang kedai untuk dicuci. Bahan-bahan yang sudah tidak layak konsumsi segera ia pisahkan untuk dibuang.

Belum setengah jam membersihkan kedainya, sang pemilik kedai sebelah datang dan langsung menepuk punggung Elvan yang sedang berjongkok mencuci peralatan.

"Selamat datang lagi, Kakak. Ada yang bisa saya bantu?" goda Rista.

Gadis yang selalu mengikat rapi rambutnya itu menampilkan senyum terbaik untuk menyambut kembalinya Elvan ke dunia perniagaan.

"Banyak, Mbak. Bisa bantuin pijitin punggung? Sudah mulai pegal nunduk, nih. Sekalian minta sarapan burger plus telur mata sapi, ya?"

"Siap. Hitungan belakang, Kakak."

Elvan tertawa melihat tingkah Rista. Jika diingat ulang, sepertinya ini adalah tawa pertama yang mampir setelah kesedihan beberapa saat yang sudah lalu. Tawa lepas yang tanpa beban.

"Receh banget, tapi makasih banyak, Ta."

"Makasihnya itu masuk ke hitungan belakang juga, Pak. Sepaket sama burger dan bantuan lainnya."

"Perhitungan banget, Bu. Sama teman juga."

Teman. Kata yang selalu menjadi dinding pemisah antara ia dan Rista. Bersembunyi di balik kata teman dan bercanda selayaknya teman. Padahal dalam tanpa disadari ada degup berbeda dalam dada Elvan.

Di lingkungan rumah, mereka bertetangga meski terpisah beberapa blok. Di tempat kerja mereka juga terpisah, tidak banyak. Hanya sejauh satu meter saja jarak antar kedai mereka.

Setelah selesai, Elvan memilih duduk di teras minimarket. Saat pagi sampai siang, posisi kedainya memang tidak enak untuk ditempati karena posisinya menantang panas matahari. Apalagi dinding kedai yang terbuat dari seng membuat udara dalam kedai mini itu semakin panas.

"Apa gunanya kipas dinyalakan kalau di dalam nggak ada orangnya?" Rista mendekati Elvan dengan membawa piring berisi dua buah burger. "Ini yang pakai telur, tanpa bawang bombay."

Gadis dengan baju kasual lengkap dengan apron yang menutupi bagian depan tubuhnya itu langsung menyodorkan burger pesanan Elvan.

"Biar es batunya nggak kepanasan, Ta. Alhamdulillah, akhirnya sarapan juga." Elvan langsung menerima pesanannya dengan wajah berbinar.

Rista langsung melirik jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang dan Elvan mengatakan itu adalah sarapan.

"Sarapan yang kesiangan, El? Ibu nggak masak?"

Elvan menggeleng. "Aku bebasin Ibu dari kegiatan di dapur, termasuk Mbak Ina juga."

"Kenapa?"

Elvan mulai menggigit burgernya dengan sangat lahap. Perut yang sudah lama bernyanyi akhirnya terisi. Ia menghabiskan makanan dalam mulutnya dan baru menjawab pertanyaan Rista.

"Biar mereka cari kegiatan yang berbeda untuk sedikit ganti suasana. Mereka pilih menata ulang ruangan."

"Pilihan yang bagus, El," jawab Rista sambil mengambil tisu dan menghapus saus yang bertengger di sudut bibir Elvan.

"Kalau mereka pilih menata ruangan, aku lebih milih menata hati, memperkokoh bahu, menguatkan fondasi saku yaitu dompet."

Rista menghela napasnya. Mengunyah perlahan makanan yang ia buat sambil sesekali menatap lelaki di hadapannya yang terdiam setelah bersuara panjang. Gadis dengan rambut yang diikat ekor kuda itu menatap dalam manik mata Elvan.

Jauh di dalam mata Elvan masih tersimpan hal yang tidak bisa ia terjemahkan. Sorot mata kehilangan masih tersisa. Belum lagi raut wajah lelah mulah tampak.

"Jangan diliatin terus, Ta. Nanti aku meleleh."

"Siapa yang ngeliatin? Kamu tuh kalau makan memang nggak pernah bener! Belepotan terus. Ngarep aku peka terus dilap?"

Elvan tertawa mendengar pernyataan Rista. Ia melepas topi yang ada di kepala dan mencoba menghapus bekas-bekas saus sambal dan mayonaise yang menempel di bibirnya. Ia kembali menatap Rista dengan harapan si gadis peka dan lanjut membantu membersihkannya.

"Biasanya emang nggak perlu diminta kamu sudah peka, Ta."

"Maumu, El!"

"Ta, bosan nggak gini terus?"

"Biasa aja. Nggak masalah gini-gini aja. Dibawa santai, El."

"Ta, sebelum aku ubah status jadi kepala keluarga di kartu keluargaku buat gantikan Ayah, mau nggak nama kamu aku masukkan sekalian?

Rista yang awalnya fokus menghabiskan gigitan terakhir burger di tangannya mendadak terdiam dan mencerna kembali apa yang Elvan ucapkan. Seketika Rista merasa wajahnya memanas. Ia juga salah tingkah. Namun, sebisa mungkin ia tahan supaya tidak terlihat.

"Ha? Gimana?"

🍂🍂🍂

Day 5
Arena Homebattle Anfight
Bondowoso, 08 April 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro