:: Memanjakannya ::

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Katanya yang pertama paling keras kepala
Si tengah yang kadang terlupa.
Ketiga paling tersiksa
Si bungsu yang paling dimanja.
Namun, itu tidak berlaku bagi putra-putri Ayah.
Semua sama, semua adalah buah hatinya.

🍂🍂🍂

Kegiatan pengajian yang katanya tidak sampai azan isya justru lewat dari jadwal biasanya. Elvan pulang bahkan nyaris lewat tengah malam. Ia memilih pulang meski beberapa kali dipaksa untuk menginap.

"Bawa, atau nggak usah ke sini sekalian." Rista melemparkan hoodie all size miliknya yang berwarna hitam ke arah Elvan.

"Siap, Nona, terima kasih. Besok aku cuci dulu."

'Nggak usah. Besok aku jemput ke rumah. Jani jadi balik besok 'kan?"

"Sepertinya begitu."

"See you tomorrow, El."

Rista melambaikan tangan pada Elvan yang telah selesai mengenakan pemberiannya. Berbalas dengan lambaian tangan dari Elvan untuknya. Beruntunglah Rista meminjaminya hoodie karena cuaca tengah malam memang sedingin itu.

Elvan berjalan perlahan sampai ia melihat gerbang rumahnya yang sudah tertutup. Ia membuka perlahan pengait di pintu dan menutupnya secara perlahan juga. Tubuhnya mendadak menggigil karena terpaan angin malam yang tak enak ini.

Ia berjalan menuju dapur, mengambil gelas kosong, ia tadahkan di bawah dispenser, tepat di bawah keran yang bergagang merah. Seketika uap mengepul dari dalam gelas. Sebelum duduk di meja makan, terlebih dahulu ia mengambil satu saset jahe instan yang biasa menjadi penolong saat tubuhnya kedinginan.

"Alhamdulillah. Tidur, yuk! Biar besok bisa leha-leha sambil nonton tv," monolognya sambil berjalan menuju kamarnya.

Lelaki itu menaiki ranjang lengkap dengan pakaian yang ia pakai sebelumnya. Baju koko peninggalan sang ayah, sarung, dan hoodie pinjaman dari Rista. Tidak lupa dengan selimut tebal yang ada di kamarnya.

Ia terlelap dengan sensasi hangat yang mulai menyebar di tubuhnya. Bersama dengan kenangan yang mulai merambahi otaknya ketika ia sedang tidak enak badan. Saat kebiasaan sang ayah harus ia hilangkan dan sakit harus ia hadapi sendiri.

"Kak El, sudah salat subuh?" tanya Jani sambil mengetuk pelan pintu kamar sang kakak. Merasa tidak ada jawaban, Jani mengetuk sekali lagi. "Kak El, Jani masuk, ya?"

Perlahan ia membuka pintu kamar sang kakak. Ia mendapati Elvan masih terlelap dalam balutan selimut tebal. Tidak lupa tudung hoodie yang menutupi kepalanya.

"Kak, sudah subuh. Bentar lagi habis waktu subuhnya."

Jani mengguncang pelan sambil meraba kening sang kakak. Sensasi panas langsung menyapa indera perabanya. Pemilik nama panjang Anjani Dwi Syahreza itu semakin gencar membangunkan sang kakak.

"Pelan-pelan, Jan. Kak El masih pusing. Kamu kapan datang?"

"Pas azan tadi sudah sampai di sini, Kak," jawab Jani.

Suara serak yang terdengar semakin meyakinkan Jani bahwa sang kakak tidak baik-baik saja. Ia membantu sang kakak untuk duduk. Sampai beberapa menit kemudian, Elvan beranjak dan mempersiapkan dirinya untuk salat subuh sebelum ketinggalan.

"Kak, kalau sudah selesai istirahat dulu. Lagian kedai libur 'kan?"

"Iya, Jan. Sekalian minta tolong bilangin Mbak Ina, Kak El minta bikinin bubur, ya?" sahut Elvan dari kamar mandi

"Siap, Kak," balas Jani sambil berlalu meninggalkan kamar Elvan.

Matahari rupanya sudah tinggi. Namun, Elvan belum juga turun untuk sarapan. Jani yang hendak menyusul sang kakak lagi terpaksa urung karena mendengar suara salam dari arah pintu.

"Asalamualaikum. Jani, jam berapa sampai?" Rista langsung berlari mendekati sosok yang berdiri di ruang tengah.

"Kakak, Jani kangen. Pas subuh tadi yang sampai."

"Semua oke? Kamu bahagia nggak dengan mata kuliah dan kegiatannya?"

"Alhamdulillah semuanya lancar, Kak. Jani suka dengan semuanya, Jani bahagia, Kak," ujar si bungsu dan mendapat hadiah pelukan dari Rista.

Rista menanyakan perihal kenyamanan Jani selama seminggu belakangan. Apalagi setelah kepergian ayahnya yang terbilang mendadak. Lagi pula, Rista memang diajarkan untuk tidak mengajukan pertanyaan yang sensitif pada orang-orang di sekitarnya.

Berbeda dengan kebanyakan orang yang akan mencecar menanyakan hal sensitif pada seseorang yang baru ditinggal pergi keluarganya. Semisal soal usia, status pernikahan, sudah punya pacar atau belum. Dan yang lebih parah, ada pula yang menanyakan bagaimana firasat ketika keluarga akan meninggal? Sungguh hal itu tidak etis untuk ditanyakan.

Dua keluarga ini benar-benar mendidik anak-anaknya untuk lebih menjaga perkataan supaya tidak menyakiti. Dan, seperti inilah hasilnya. Lima anak dari dua keluarga itu sangat pandai menata bahasa supaya lebih menghargai lawan bicara.

"El mana, Jan? Biasanya jam segini sudah turun buat sarapan."

"Di kamar, Kak. Ini mau aku susul."

"Nggak usah. Aku sudah di sini."

Suara Elvan membuat kedua gadis itu menengadahkan kepala dan melihat lelaki yang dicari mulai menuruni tangga.

"Ih, hoodie-ku dipakai tidur? Cuci dulu sebelum dibalikin!"

"Iya, ntar dicuci dulu. Sekarang biar aku puasin dulu makenya, ya?"

"Lah, dari semalam pakaiannya belum juga ganti, El?"

"Nanggung. Udah kedinginan, sekalian saja tidur. Lumayan buat ngangetin badan, Ta."

Elvan langsung duduk, menelungkupkan kepalanya di meja dan menjadikan lengannya sebagai bantal. Ia juga kembali menaikkan tudung hoodie sampai kepalanya tidak terlihat lagi.

"Kak, buburnya mau dimakan sekarang atau nanti?"

"Sekarang saja."

Suara yang lebih mirip gumamam itu membuat Rista langsung mendekati Elvan ketika melihat sesuatu tidak beres. Ia meraba sejenak, kemudia melepasnya ketika panas menyebar dan membuatnya kaget. Rista mengangkat wajah Elvan.

Bibirnya dan matanya tampak memerah. Berbeda dengan sorot mata secara keseluruhan, terlihat sendu. Jangan lupakan juga kantung mata yang tampak menghitam sudah lebih mirip panda daripada manusia.

"El, ke dokter, ya?"

Elvan menggeleng sambil membuka mulutnya ketika Jani menyodorkan sendok berisikan bubur tawar pesanannya itu.

"Ibu," teriak Rista. "Anaknya bandel, nggak mau dibawa ke dokter, padahal panasnya tinggi."

"Ta, percuma teriak-teriak. Ibu jam segini lagi nemenin Mbak Ina ke pasar."

"Jan, kalau demam gini biasanya digimanain?"

Rista mengabaikan jawaban Elvan dan justru bertanya pada Jani yang masih sibuk menyuapi sang kakak. Usia lebih dari seperempat abad tidak menjamin akan mandiri ketika sakit. Apalagi untuk Elvan yang memang biasa diperlakukan dengan sangat baik oleh sang ayah.

"Biasanya sama Ibu dibikinin wedang jahe, terus sama Ayah dipijat sampe tidur. Baru bisa turun demamnya, Kak."

Rista yang sudah sering berkunjung ke rumah itu rupanya sedikit kaget. Ia tidak menyangka bahwa Ayah Rudi memperlakukan anak-anaknya dengan baik. Bahkan ia yang anak tunggal tidak sebegitunya diperlakukan ketika sakit.

Mungkin beberapa orang menilai itu terkesan manja, tetapi tidak dengan Rista. Sebab gadis itu sudah menduganya. Ia sendiri pernah mendengar dari Ayah Rudi bahwa anak itu adalah titipin. Sudah sepatutnya dirawat, dijaga, dan diperlakukan sebaik mungkin.

Ia menjadi semakin kagum pada mendiang ayah Elvan. Ada banyak yang ia tinggalkan, tidak sekadar harta, tetapi juga ilmu yang bermanfaat untuknya nanti, ketika ia sudah mulai merawat anak-anaknya.

Elvan menghabiskan buburnya dan langsung beranjak ke ruang tengah. Ia menidurkan dirinya di karpet yang sengaja digelar di sana.

"El, tidurnya di kamar saja, yuk? Nanti makin nggak enak, loh."

"Di kamar sepi, Ta," jawab Elvan. "Jani, Kak El minta tolong pijitin kepala, boleh?"

"El, Jani ke kamarnya. Sama aku saja, mau?"

Elvan tidak menjawabnya. Ia malah fokus menatap layar televisi sambil sesekali menekan pelipisnya yang berdenyut. Elvan menghentikan kegiatannya ketika sebuah tangan beralih memijat pelan kepalanya. Perlahan dan pasti, mata Elvan tertutup menikmati sensasi nyaman dan kelopak mata yang memang semakin memberat.

🍂🍂🍂

Day 9
Arena Homebattle Anfight
Bondowoso, 12 April 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro