:: Menghadapinya ::

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mungkin aku pengecut.
Mungkin juga aku terlalu lelah.
Ketika semua berbalik arah dan menghadapi,
tetapi tidak dengan diriku.
Aku justru ingin lari.
Lari dari kenyataan yang nyatanya menyesakkan

🍂🍂🍂

Tidak ada keluarga yang mengharapkan sesuatu buruk terjadi pada yang lainnya. Mereka selalu mendoakan yang terbaik. Entah ketika kesulitan, atau saat bahagia menyapa.

Jani setia menemani sang kakak yang tertidur di ruang tengah. Jam sudah hampir menunjukkan pukul sepuluh lebih tiga puluh menit. Ia mendapat mandat dari Rista untuk tetap menemani Elvan dan tidak meninggalkannya. Sesekali sambil mengecek suhu tubuh lelai yang masih terlelap.

Lambat laun, Jani merasakan kram di perutnya. Ia beranjak dan menuju kamar mengambil hotpack yang biasa ia gunakan kala tamu bulanannya datang dan menyiksanya seperti saat ini.

"Dari mana? Kak Rista ke mana, Jan?"

"Ambil ini sebentar, Kak. Kak Rista sudah pulang begitu Kakak tidur. Katanya mau buka kedai, ada pesanan yang lumayan. Kak El masih pusing?"

Elvan memegang kepalanya yang terasa sedikit berat. Ia menggeleng sejenak lalu menepuk sisi kosong di sebelah kanannya dan meminta Jani untuk duduk bersamanya.

"Sini, temani Kak El. Ibu ke mana?"

"Ibu lagi istirahat, Kak. Kakak lajut istirahat lagi."

"Tanggung, lagi pengin nonton tv bentar, abis itu lanjut Jumat-an" jawab Elvan sambil mengganti saluran televisi dan mencari acara yang ia nilai ringan untuk ditonton.

Jani duduk di sebelah Elvan dengan meletakkan hotpack di perut dan diganjal dengan bantal untuk meredakan nyerinya. Sesekali gadis itu meringis ketika merasakan sakit di sekitar pinggang dan punggung.

Elvan yang masih fokus dengan tontonannya mendadak menoleh dan melihat wajah kesakitan adiknya.

"Masih sering sakit kalau datang bulan?"

Jani mengangguk, matanya sudah memerah dan mulai berkaca-kaca. Biasanya ketika seperti ini ayahnya yang paling peka. Menyediakan makanan kesukaannya dan mengusap punggungnya. Karena tangan sang ayah jauh lebih hangat dari hotpack yang ia kenakan.

"Kak, masa waktu Jani bikin SW soal rindu Ayah, teman Jani ada yang komen kalau Jani nggak ikhlas. Harusnya Jani ikhlas biar Ayah nggak berat. Ikhlas yang bagaimana lagi yang harus Jani lakukan?"

Air mata yang Jani tahan karena kesakitan akhirnya tumpah juga. Selain sakit fisiki, hatinya juga sakit karena dinilai tidak ikhlas ketika kehilangan sang ayah.

"Ikhlas itu bukan yang bisa diucapkan di bibir, Jan. Bilang sama temannya, ini bukan perkara ikhlas atau tidak ikhlas. Ini hanya soal rindu saja, karena ikhlas dan rindu itu beda."

"Kak, katanya lagi kalau kita rindu sama yang sudah meninggal, mereka di sana nggak akan tenang, apa itu benar?"

Elvan mengusap pelan kepala sang adik. Setelahnya ia beralih mengusap punggung hingga pinggang adiknya. Ia sungguh tidak tega melihat si bungsu yang kesakitan dan menangis.

"Rindu yang kita jalani sekarang itu spesial, Jan. Nggak usah dibikin ribet. Kalau mereka belum merasakan posisi kita yang pernah kehilangan memang begitu, tetapi ketika mereka mengalaminya, mungkin komentarnya akan berbeda."

Lelaki dengan hidung mancung itu terus mengusap punggung Jani dengan telaten sambil menjelaskan perihal rindu yang istimewa. Rindu mereka yang tidak akan terbalas, tentang rindu yang hanya akan tersampaikan melalui doa.

Keduanya larut dalam percakapan sampai akhirnya panggilan tiba. Elvan bergegas pamit pada Jani untuk pergi bersiap-siap menuju masjid. Tidak lupa ia menawarkan akan membelikan makanan kesukaan Jani untuk memperbaiki mood-nya yang sedang tidak baik.

🍂🍂🍂

Meski sudah mendapat larangan dari sang adik dan ibunya, Elvan memaksa untuk berangkat dan membuka kedai. Alasannya, hari sabtu biasanya banyak pelanggan yang akan singgah di tempatnya. Apalagi ketika malam hari. Pengunjung kedainya akan meningkat pesat.

"Baru saja turun demamnya, sudah mau buka kedai, El. Di rumah dulu, istirahat."

"Kasih tahu Kak Rista saja, Bu. Biar dimarahi. Kalau sama Ibu Kak El nggak mau nurut, nanti nurutnya itu kalau sudah sama pawangnya."

"Jani, jangan bilang sama Rista. Biar nanti Kakak hadapi di kedai saja."

Benar saja, begitu sampai di kedai, seorang gadis sudah menantinya sambil melipat kedua tangan di dada. Belum lagi dengan tatapan tajamnya. Elvan turun dari motor dengan canggung.

"Awas bola matanya loncat, loh, Ta."

"Sudah sehat, El?"

"Yang dilihat gimana?"

"Keliatannya begitu, sih. Beda banget sama kemarin yang persis orang sekarat."

"Omongannya tajem, tapi kemarin jadi yang paling khawatir. Emang beda perhatiannya kalau sudah sayang."

"Maksudnya?"

"Nggak ada maksud apa-apa," jawab Elvan sambil membuka kedai dan mulai membenahinya.

Benar dugaan Elvan, ketika akhir pekan pelanggannya meningkat. Sampai menjelah sore saja ia sudah menjual hampir lima puluh cup minuman dengan berbagai rasa.

Bahkan beberapa pesanan dari aplikasi daring juga tidak sepi dengan pembeli. Hal itu juga menimpa Rista. Gadis dengan apron hitam itu nyaris satu jam terakhir tidak bisa duduk karena pesanan yang terus saja datang.

Tepat saat azan asar berkumandang, Elvan menghampiri Rista dengan membawa satu cup besar es coklat susu. Gadis itu menerimanya dengan mata berbinar. Beruntung pesanan kloter terakhir juga baru saja ia selesaikan.

"Ta, balik dulu?"

"Seperti biasa, El. Nanti balik lagi ke sini setelah magrib saja sekalian. Lumayan nih, ntar malam pasti ramai."

"Oke, motormu tinggal sini, kita balik bareng saja."

Setelah mencapai kesepakatan, keduanya menutup bagian depan dan belakang kedai saja. Untuk beberapa barang berat seperti meja dan kursi mereka biarkan begitu saja.

Sepanjang perjalanan keduanya bertukar cerita sambil sedikit mengenang masa lalu ketika nakal bersama. Jarak usia yang saling berdekatan antara saudara Elvan dan Rista membuat kelimanya sering bermain bersama.

Ketika hampir sampai di rumah Elvan, mendadak telepon sang lelaki berdering. Merasa tanggung, ia tetap melajukan motornya dan parkir di depan rumah. Rupanya, di halaman depan rumahnya sudah banyak orang.

Pak RT mencoba menghalangi dua orang lelaki bertubuh besar dengan pakaian hitam yang akan menyusul masuk. Ada kurang lebih lima orang bertampang preman masuk ke rumah Elvan. Dua orang di luar, dan sisanya mulai mengeluarkan barang-barang keluarganya.

Elvan langsung naik pitam, ia menerobos kerumunan dan masuk ke rumah.

"Siapa yang mengizinkan kalian masuk ke rumah saya?"

"Kalian menunggak cicilan utang, maka sesuai perjanjian yang ada kami berhak mengusir dan merampas yang ada di sini," ujar lelaki yang berada paling dekat dengan Elvan.

"Nggak bisa! Kami tidak merasa ada pinjaman. Kalau ada, serahkan buktinya, bukan seperti ini caranya!"

Putra kedua keluarga Syahreza itu sudah tidak sabar. Ia merampas barang yang dibawa lelaki kedua dan meletakkannya. Aksi saling dorong terjadi. Bahkan mereka tidak segan mendorong Jani dan ibunya yang berdiri di garasi.

Pak RT beserta bapak dan ibu yang menjadi penonton juga ramai bersuara untuk mengusir mereka. Melihat sang ibu sampai terjatuh, Elvan langsung maju, ia melayangkan tinjunya ke hadapan si lelaki yang mendorong ibunya.

Belum juga tinju Elvan mendarat, Rista yang sedari tadi masih menyambungkan koneksi di otak, mendadak maju dan memegang erat satu tangan Elvan yang mengepal. Seketika itu, satu lengan yang terangkat mulai turun perlahan.

"Mas Elvan, jangan pakai kekerasan. Nanti malah jadi masalah," ujar Pak RT.

"El, kita hadapi sama-sama. Kita minta bantuan Papa," bisik Rista pada Elvan.

"Tunjukkan buktinya."

Elvan meminta surat bukti penyitaan dan perjanjian utang piutang yang membuat keluarganya kesulitan. Ia tidak akan semudah itu percaya jika ayahnya yang berutang.

Apalagi dengan bukti buku tabungan, seharusnya itu lebih dari cukup sebagai bukti bahwa hidup keluarganya berkecukupan tanpa harus berurusan dengan rentenir seperti ini.

Selembar kertas keluar, surat pernyataan yang menyatakan bahwa rumah dengan alamat yang tertera, dan nama pemilik yang disebut adalah penjamin untuk satu nama peminjam. Rahardjito, satu nama familiar yang Elvan tahu itu adalah nama kakak dari ayannya.

"Dalam waktu lima menit kalau kalian tidak pergi dari sini, saya tuntut kalian dengan pasal berlapis. Pertama, perbuatan tidak menyenangkan karena merusak aset rumah saya. Kedua, bunga pinjaman yang melebihi batas yang ditentukan pemerintah. Ketiga, penganiayaan terhadap ibu dan adik saya."

"Silakan saja, kami tidak takut. Nanti saya akan kembali lagi untuk menagihnya. Jangan lupa sampaikan pada Rahardjito, ya? Kalau berani berutang, harus berani membayarnya," ujar si pemilik badan kekar yang sedari tadi menatap Elvan dengan tajam.

Kelima lelaki berwajah preman itu pergi diiringi dengan sorakan dari para tetangga. Setelah pergi, warga yang ada menonton masuk dan mulai membantu membereskan kekacauan yang baru saja terjadi.

Elvan terduduk di tangga teras. Ia menunduk dan meremas kertas fotokopian yang diberikan si preman tadi. Ia tidak menyangka Pak De yang dianggap keluarga justru menjerumuskan hidupnya.

🍂🍂🍂

Day 10
Arena Homebattle Anfight
Bondowoso, 13 April 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro