:: Tamparan ::

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pada akhirnya, keadaan yang mendewasakan.
Keadaan pula yang memberi banyak pelajaran.
Keadaan menamparku, menghajarku sampai sadar bahwa semua sudah berakhir

🍂🍂🍂

Sebuah halaman yang tidak terawat menyambut kedatangan keluarga Syahreza. Rumah dengan cat dinding dan pagar yang memudar menandakan si pemilik rumah sudah lama tidak merawat ini semua.

Padahal, dulu ini adalah tempat di mana Dina dan Elvan lahir sembelum pindah ke rumah yang sekarang mereka tempati. Rumah megah milik kakek dan nenek dari pihak sang ayah hanya menyisakan bangunannya saja.

Tidak ada lagi kesan megah, tidak ada lagi kesan yang bisa menarik mereka untuk betah. Langkah keluarga Syahreza berhenti di depan pintu. Debu dan dedaunan kering tampak menghiasai tempat itu.

"Tante," ujar putri sulung Pak De Har menyapa ibu Elvan.

"Tante nggak tahu kalau ayahmu sakit, Nduk. Maaf kami baru sempat menjenguknya."

"Ayo masuk dulu, kita ngobrol di dalam saja. Di luar terlalu berdebu."

Ibu Elvan berserta ketiga anaknya masuk dan menginjakkan kaki lagi di rumah itu setelah sekian lama tidak pernah mereka kunjungi. Ketika sang kepala keluarga Syahreza masih ada, mereka memang mengurangin untuk datang ke sana.

Pak Rudi pernah berpesan untuk tidak sering ke sana sebab beberapa kali sang ayah mampir justru dianggap ingin meminjam uang pada Pak De Har. Padahal, niatan Pak Rudi hanya ingin mengunjungi bangunan tempat ia dibesarkan bersama kakak dan adiknya.

Setelah dipersilakan duduk, keempat anggota keluarga itu langsung mengamati sekitarnya. Dindingnya sudah mulai mengelupas. Beberapa sarang laba-laba juga menghiasi sudut-sudut ruangan.

Tampak jelas si pemilik rumah memang tidak sempat untuk merawat rumah karena sibuk dengan kegiatan lainnya. Puas bernostalgia, Elvan dan sang ibu langsung menatap manik mata si sulung.

"Ayah ada di kamar, sudah lumayan lama yang nggak bisa jalan. Setelah pelunasan utang itu tekanan darah Ayah melonjak dan terkena serangan stroke. Tiba-tiba saja dan langsung nggak bisa gerak semuanya."

"Pak De di kamar sebelah mana, Mbak?" tanya Elvan pada si sulung.

"Masih sama, El. Di kamar yang lama. Ibu juga ada di sana nemenin Ayah. Soalnya, sekali nggak kelihatan Ibu, pikiran Ayah langsung macam-macam. Dikira Ibu cari suami baru."

Elvan dan Alvan beranjak dan menuju ruangan yang sudah mereka ketahui. Sayup-sayup mereka mendengar ocehan dari Pak De Har. Bukan ceramah panjang lebar yang menunjukkan keangkuhannya, melainkan hanya suara meracau tidak jelas yang telinga mereka tangkap.

"Asalamualaikum, Bu De, Pak De,"

Wanita yang sudah tampak keriput di wajahnya itu menoleh dan langsung menghampiri kedua pemuda yang berdiri di depan pintu dengan berkaca-kaca. Setelah tangannya dicium secara bergantian, si wanita menarik keduanya untuk mendekat pada pamannya yang terbaring di ranjang.

Alvan langsung berpaling, ia menatap langit-langit karena tidak tahan melihat kondisi pamannya itu. Tangan kanannya tertekuk dan menempel rapat di dada Pak De Har. Kaki kanannya juga terangkat dan tertekut.

"Gimana ini, El? Pak De kamu nggak bisa apa-apa. Bisanya nangis dan ngoceh nggak jelas."

Elvan terdiam, ia melihat kondisi sang paman begitu memperihatinkan. Tubuh tambun yang pernah ia peluk terakhir kali kini sudah menyusut. Pancaran mata yang biasanya berapi-api kini redup. Bibir yang biasanya pedas berkomentar hanya bisa terkatup rapat dan sedikit berliur.

"Pak De, ini El dan Al datang jenguk Pak De. Maaf kami baru sempat datang ke sini. Di depan juga ada Ibu dan Jani yang juga menjenguk Pak De."

"Ibumu ikut? Kalian temani Pak De, ya? Bu De mau menemani ibumu dan Jadi di depan." Wanita yang berusia nyaris enam puluh tahun itu lalu mendekati Elvan. Ia mendekat di telinganya dan berbisik, "Maafkan atas semua kesalahan, Pak De, ya? Mungkin ini karma yang harus kami terima."

"Jangan bicara seperti itu, Bu De. Semua sudah takdir Allah." Alvan yang berdiri tepat di belakang Bu De langsung menanggapinya.

"Bu De ke depan dulu, ya."

Dua kakak beradik itu mengangguk. Elvan mendekati ranjang sang paman. Ia duduk di tepian sambil memijat lengan kiri Pak De Har. Alvan menarik sebuah kursi dan mulai menyentuh pelan kaki kiri dan memijatnya dengan lembut.

"Pak De, apa yang dirasa? El minta maaf kalau pertemuan terakhir kita nggak baik. El juga nggak bermaksud begitu, Pak De."

Lelaki yang tak berdaya itu hanya mampu menatap Elvan dengan mata yang berkaca-kaca. Mulutnya bergerak seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun, apalah dayanya hanya racauan tak jelas yang terucap.

Elvan melihat sang paman dan menghapus tetes bening yang mulai menetes. Pak De Har menangis dalam diamnya, dan tidak bersuara. Sorot matanya menyiratkan ada penyesalan dan sakit yang datang bersamaan.

Alvan yang semua duduk kini berpindah ke lantai dan meletakkan kepalanya di kasur, sejajar dengan kepala Pak De Har. Kedua kakak beradik itu sama-sama tidak kuasa menahan sesaknya.

Seketika itu mereka tersadar dan ditampar oleh keadaan. Manusia itu hanyalah, bukan adalah. Manusia itu tempatnya salah, jika sudah takdir yang bermain, bisa apa? Tidak ada kuasa manusia yang mampu menandingi kuasa Tuhan. Karena itu manusia hanyalah, hanya makhluk yang diciptakan dengan akal, nafsu, dan sifat lainnya.

"Pak De, Al minta maaf semisal Ayah punya salah. Atas nama Ayah, Al meminta maaf sama Pak De dan keluarga."

Pak De Har tiba-tiba saja menggeleng, ia juga menangis sambil meraung-raung sangat memilukan. Ia seperti tidak terima ketika Alvan meminta maaf. Berkali-kali Elvan dan Alvan menenangkan pamannya, kakak dari sang ayah.

"Mm, Mma-a, mma-a," ujar Pak De Har dengan terbata-bata sambil tangan kirinya bergerak memukul dadanya sendiri.

Setelah kata-kata itu terucap kembali, barulah Elvan dan Alvan sadar bahwa Pak De Har tengah berusaha meminta maaf pada mereka.

"Maaf? Pak De mau minta maaf? Sama siapa?"

"Bbu-e, bbu-e." Kata itu terasa sangat menyulitkan untuk Pak De Har.

Kedua lelaki itu beradu pandang, keduanya mengangguk ketika menemukan padanan kata yang dimaksud. Ya, sang paman ingin meminta maaf pada ibu Elvan. Alvan yang mengerti langsung keluar dan memanggil semua keluarganya.

Ajang maaf memaafkan mengisi rumah itu. Sekeras apa pun batu, ketika terus ditetesi akan hancur. Sekeras apa pun baja, ketika ditempa, dipanaskan, didinginkan, maka nantinya akan terbentuk.

Pada akhirnya, pergulatan batin Elvan mulai terbuka. Ia memilih untuk berdamai. Benar-benar berdamai dengan keadaannya dan keluarganya. Tidak ada dendam yang ia pelihara, tidak ada sakit yang ingin ia pertahankan.

Semua keangkuhan itu mendadak sirna. Apalagi ketika melihat derai air mata Pak De dan Bu De yang meminta maaf di hadapannya. Bahkan si putri sulung juga menjanjikan untuk mengembalikan uang yang sudah ayahnya gunakan untuk.

"Nggak usah, Mbah. Itu untuk berobatnya Pak De saja. Kalau memang ada, Mbak nggak usah repot-repot."

"Itu hak kalian, tinggal sedikit lagi Mbak mengumpulkannya, El. Beri sedikit waktu lagi, ya?"

"Nduk, nggak usah. Mendengar niatan baik itu saja kami sudah bahagia. Uang yang kamu kumpulkan untuk berobatnya ayahmu saja." Ibu Elvan berujar sambil memeluk keponakan suaminya itu.

Semua yang sudah berpindah dari kamar ke ruang tamu setelah sesi maaf-maafan harus berlari lagi ke kamar Pak De Har ketika sang istri berteriak memanggil suaminya. Suara histeris memenuhi kamar itu.

Elvan langsung mendekat dan memeriksa kondisi Pak De Har. Tidak ada pergerakaan di perut dan dada. Begitu juga ketika Elvan menyentuh pergelangan dan leher Pak De Har, ia tidak lagi menemukan denyutan pada nadinya. Semua terjadi begitu saja, cepat dan benar-benar tidak terduga.

🍂🍂🍂

Day 22
Arena Homebattle Anfight
Bondowoso, 27 April 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro