Chapter 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"If I drift in the wrong direction, you turn the tide and you calm the wind."

-Alex & Sierra-

Lelaki itu datang saat aku telah selesai diperiksa oleh perawat bersama seorang dokter yang bernama dokter Albert. Perawat yang wajahnya mirip dengan salah satu karakter telenovela Betty La Fea tengah sibuk melepas infusku, sedangkan Mr. Jhonson berdiri sedikit menjauh dan terlihat berbisik dengan sang dokter sambil sesekali melirik. Dari pandangannya, aku tidak bisa membaca arti sorot mata itu dan lebih berpaling ke arah jendela di mana bangunan pencakar langit yang angkuh berdiri menantang. Aku merindukan kamarku dan semua suasananya walau interiornya sederhana, bukan mewah seperti di sini. Selain itu, aku merindukan suara ibuku ... ah, benar juga, apakah dia mencariku? Sial! Di mana ponsel itu?

Setelah perawat menempelkan plester putih di tempat bekas tusukan jarum infus, lantas membereskan alat medis dan berpamitan bersama dokter Albert. Seketik atmosfer di isni mendadak terasa panas dan kaku. Dia bergerak, duduk di pinggiran kasur sambil mengamatiku dan bertanya,

"Bagaimana keadaanmu?"

"Tidak pernah merasa baik setelah bertemu denganmu, Mr. Jhonson. Di mana ponsel dan tasku?"

"Dibawa pasangan lesbianmu."

"Baiklah, aku harus pergi. Setelah ini ... aku ingin kita tidak saling kenal sekali pun di perusahaan. Aku ... hanya ingin hidup damai.

"Jangan pergi selama belum kusuruh pergi," cegahnya meraih tangan kiriku.

Refleks aku mengelak dan menampar pipi kanannya sekuat tenaga sampai telapak tangan terasa panas. Aku harus berterima kasih pada dokter Albert atau pengurus rumah ini tidak memberiku nutrisi baik. Setidaknya tenaga untuk menepaknya masih penuh. Kutarik napas sebanyak mungkin kala merasakan dada begitu dipenuhi beban.

Rasa benciku padanya semakin menumpuk. Dia sama saja dengan ayah tiriku, merenggut apa yang seharusnya tak direnggut. Membuka luka yang sudah sembuh dan membuatnya seperti ditaburi garam. Sambil menangis, kupukul dada bidangnya sementara Mr. Jhonson hanya terdiam tanpa berhenti menatap wajahku. Dia sungguh bajingan!

"Aku menderita sejak bertemu denganmu, sialan!" rutukku. "Aku membencimu. Kau pikir kau siapa bisa menyentuhku dan melewati batas yang kubuat?"

Dia tak menjawab, memilih menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Aku berusaha melepaskan diri namun yang ada dia malah mempererat seakan tidak ingin kehilangan. Aku menjerit, dia tidak tahu bahwa diri ini sudah kehilangan segalanya dan menyisakan seonggok daging bernyawa yang tak memiliki hati.

"Aku hanya melindungi apa yang seharusnya dilindungi, Elizabeth. Aku tak peduli kau berontak, membenciku, atau membunuhku nantinya, aku tak peduli. Aku hanya ingin membuatmu aman. Aku ingin membantumu sembuh dari traumamu," jelasnya.

"Kau? Traumaku? Tahu apa kau tentang diriku, Mr. Jhonson! Aku hanyalah pegawaimu dan kau hanya berpura-pura peduli. Kau mengatakan hal itu karena kasihan kepadaku setelah bercinta denganku, kan?"

Dia melepas pelukann, menarik daguku untuk melihat kedua mata birunya. "Apa mata ini bohong padamu? Jika aku kasihan padamu, kenapa pula aku harus melibatkan perasaanku sendiri, Ms. Khan? Jika aku mengatakan tertarik berarti aku memang memiliki perasaan lebih padamu."

Kupalingkan pandangan tidak bisa melihat dirinya lagi. Dia menangkup wajahku lalu menempelkan dahinya ke dahiku. Bisa kurasakan betapa hangat embusan napasnya, melihat pantulan mata biru yang penuh dengan rasa egois dan teka-teki serta aroma maskulin yang selalu beradu dengan kopi.

"Kau gadis paling keras kepala yang pernah aku temui, Ms. Khan," desahnya lalu mencium keningku. "Dan kau semakin membuatku penasaran."

"Kau tak akan sanggup menerima kenyataan yang ada di masa laluku, Mr. Jhonson."

"Karena kau tidak percaya padaku," bela Mr. Jhonson.

"Sudahlah, aku hanya ingin pulang, Mr. Jhonson. Aku sungguh lelah."

####

Kembali ke apartemen yang memiliki balkon dengan beberapa tanaman yang dibawa Emilia dari rumahnya, merupakan hal yang paling menyenangkan. Kami berpelukan layaknya saudara yang tidak bertemu selama bertahun-tahun. Emilia berkata bahwa ibuku menelepon tapi dia beralasan bahwa ponselku rusak selama beberapa hari.

Ya, tentu saja, ibuku pasti khawatir anak gadisnya tidak memberi kabar seperti biasanya. Selain itu, masih banyak hal yang ingin kutanyakan kepada Emilia terkait malam itu dan apa yang terjadi selanjutnya sampai dokter Albert turun tangan.

Bertanya kepada Mr. Jhonson juga tidak ada hasilnya, dia selalu meminta untuk melupakan malam yang dinilai sangat kelam itu dan berakhir dengan omelan yang membuat telinga panas. Katanya, akibat insiden itu, dia sampai memecat beberapa petugas keamanannya karena dianggap tidak profesional menjalankan tugas.

"Apa kalian akan terus mengabaikan aku di sini?" protesnya.

"Pulanglah, bukankah kita sudah tidak ada urusan lagi?" usirku ketus.

"Hei!" Emilia menyahut tak suka. "Setidaknya berterima kasihlah padanya, Lizzie. Dia--"

"Thanks!" selaku kemudian berdecak. "Bisakah kau meninggalkan kami sekarang?"

Dia tersenyum tipis, mendekatiku dan merengkuh pinggang sampai kakiku refleks menjinjit. Setiap kali tangan hangatnya menyentuh tubuh, debaran di dada kembali muncul dan menimbulkan sensasi yang bisa meledakkan diri. Rasanya seperti 'teori Bing Bang'dalam galaksi yang meletus sampai menciptakan banyaknya bintang-bintang. Bedanya, rasa itu membuat seluruh sel sarafku lemah dan bangun secara bersamaan.

"Jangan lupa telepon aku," bisiknya.

"Jangan harap," ketusku.

"Baiklah, nanti jawab teleponku, oke?"

"Aku berpura-pura sibuk," jawabku.

"Kalau begitu, Ms. Hall, aku bergantung padamu," titahnya pada Emilia yang dibalas kerlingan di mata.

Tunggu! Apa mereka sekarang bersekongkol untuk membuat diriku bertekuk lutut pada pria bajingan seperti dirinya?

Mr. Jhonson pergi setelah sempat memberikan kecupan singkat di bibir yang tidak bisa kubalas dengan pukulan di pipi. Emilia justru cekikikan tanpa dosa dan aku melotot ke arahnya.

"Jadi, apa yang terjadi selama aku tidak sadar sampai kau mau saja diperintah olehnya?"

"Cerita yang panjang, Lizzie, dan aku bahagia kau sudah di sini lagi bersamaku."

Dia menarik tanganku untuk duduk di sofa. Rasa kantuk yang sempat menyapa kini lenyap seketika kala Emilia kembali menceritakan detail malam itu. Pikiranku langsung melayang ke kejadian 14 tahun lalu, di mana ayah tiriku memberi segelas jus apel yang ternyata diberi obat tidur. Hal yang sama ternyata terjadi di malam itu, minuman yang kuteguk mengandung obat perangsang dalam dosis yang cukup tinggi.

"... Mr. Jhonson bilang kau sempat mengalami henti jantung beberapa kali, Lizzie dan terakhir di kamar mandi akibat hipotermi itu. Jika mengingatnya, kata maaf tidak bisa memperbaiki semua."

"Apakah pelakunya sudah ditemukan?"

Emilia mengangguk, raut wajahnya berubah pucat. "Aku tidak yakin akan hal ini tapi ... lelaki itu memanggil Sam dan menerima pukulan Mr. Jhonson seperti mereka saling kenal."

"Maksudmu? Aku tidak mengerti."

Emilia beranjak menuju kamarnya dan beberapa saat keluar lagi dengan membawa laptop. Tatapan matanya masih menyiratkan ada sesuatu hal besar yang patut disembunyikan. Dia menunjukkan layar yang menampilkan berbagai macam artikel termasuk wawancara ekslusif di akhir 1989. Entah dari mana Emilia bisa mendapatkan semua ini, tapi satu hal yang menarik di mata.

Mereka resmi diadopsi setelah ditemukan kedinginan ...

"Aku juga bingung tapi kuyakin mereka dan pelaku ini memiliki keterkaitan di masa lalu. Masalahnya, identitas pelaku dirahasiakan oleh Mr.Jhonson sendiri, Lizzie, sulit sekali mengorek informasinya,"ungkap Emilia.

Seketika itu pula, aku langsung teringat dengan ucapan Mr. Jhonson tadi. Lantas, apakah serangan itu ada hubungannya denganku dan Mr. Jhonson? Tapi, apa?

Baca Loving Secrets lebih cepat di Karyakarsa. Hari ini sudah sampai bab 18. Nanti malam update dua bab lagi!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro