Chapter 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"If I drift in the wrong direction, you turn the tide and you calm the wind."

-Alex & Sierra-

Melangkahkan kedua kaki yang kini mengenakan heels yang tak terlalu tinggi kala memasuki lobi perusahaan milik keluarga Jhonson. Jika diingat, hampir seminggu lebih aku tidak masuk kerja semenjak insiden tak menyenangkan itu. Kuharap pihak manajemen tidak memotong gaji terlalu banyak walau berita itu pasti sudah tersebar ke mana-mana. Selain itu, aku juga merindukan Ketty dengan berbagai gosip dan omelannya.

Pandangan semua orang mengarah kepadaku, beberapa dari mereka berbisik. Ah, mungkin gosip yang menerpa Mr. Jhonson waktu itu kini semakin melekat dan semuanya dikaitkan denganku. Aku merasa bahwa pegawai perempuan yang ada di sini seperti ingin mendorongku dari atas gedung sambil mengumpat bahwa diri ini hanyalah karyawan baru yang berani menggoda atasan mereka. 

"Aku tidak menggodanya, dia yang menggodaku," gumamku lalu melihat Ketty tengah berjalan dengan membawa segelas kopi di tangan kanan dan tas Prada di tangan kiri. Gadis itu kini terlihat seperti wanita sosialita yang tak pantas bekerja sebagai staff keuangan. Bagiku dia lebih cocok jadi seorang manajer atau pemilik sebuah toko busana.

"Ketty!" panggilku melambaikan tangan. Kami berhenti tepat di depan lift.

"Elizabeth! Syukurlah, aku merindukanmu, Sayang. Kau sakit apa?" tanya Ketty. "Maaf, aku ingin memelukmu tapi aku membawa kopi dan tas ini. Hei, kau hampir dua minggu tidak masuk dan ..." Ketty memandangi diriku dengan kerutan di kedua alisnya. "Ini mataku yang salah atau kau yang semakin kurus dan begitu pucat?"

"Hanya kelelahan, pusing, dan sedikit mual, Ketty. Aku juga merindukanmu," kataku. "Apa benar dua minggu aku tidak masuk?"

"Anggap saja benar," kata Ketty terkekeh. "Mual muntah? Bukankah kau seperti orang hamil, Elizabeth. Hahaha..." kata Ketty membuatku memukul lengannya lemah. "Sorry."

"Kau harus mentraktirku makan siang nanti, baru kumaafkan," kataku sambil tertawa lalu kami masuk ke dalam lift bersamaan dengan beberapa orang.

"Hei." Kali ini giliran Ketty yang menunduk dan berbisik. "Apa kau tidak apa-apa saat ada penyusup di rumah Jhonson?" bisiknya di telinga. "Kudengar kau sempat...," Ketty memandangiku lekat tak berani melanjutkan kalimatnya.

Dengan ekspresi sedih aku mengangguk perlahan.

"Sungguh aku khawatir saat mendengar berita itu Elizabeth, tapi kuyakin Mr. Jhonson akan melindungimu."

"Terima kasih," kataku,"dengan begini kau akan mentraktirku, kan?"

Ketty hanya memutar bola matanya lalu dia mengangguk.

"Segelas kopi dengan sandwich, atau cola dan burger?" godanya.

"Oh ayolah, setidaknya aku butuh lebih banyak protein," belaku sambil tertawa.

###

Kembali bekerja berarti bersiap kembali menjalani rutinitas sibuk dengan beberapa omelan Mr. Lawren yang jika kuhitung ini sudah kelima kali. Kami sibuk menyiapkan berkas untuk rapat dadakan pukul sebelas siang karena kudengar ada kejanggalan antara pembayaran pajak dengan pemasukan serta evaluasi ulang tentang peluncuran aplikasi baru. Ketty sempat bergosip bahwa salah satu produk perusahaan ini dinilai gagal, padahal mereka sudah menguji coba sekitar dua tahun. Akibatnya banyak komplain berdatangan dari pengguna aplikasi itu.

"Padahal mereka sudah bekerja sama dengan beberapa bank di luar negeri," kata Ketty.

"Aplikasi apa memangnya?"

"Aplikasi yang memudahkan orang mengirim dan menerima uang dari luar negeri tanpa perlu ke bank, Ms. Khan. Perusahaan menawarkan dengan biaya kirim lebih murah dari aplikasi manapun dan menjamin bahwa uang yang dikirim akan sampai kurang dari 24 jam. Nyatanya tidak."

"Lalu apa hubungannya dengan divisi kita?" tanyaku tak mengerti.

Dering telepon membuyarkan lamunanku, buru-buru menjawab panggilan darurat dan seketika mendengar suara Mr. Lawren. 

"Tolong print laporan keuangan bulan Januari sampai April sebanyak sepuluh lembar. Dna tolong kau revisi bagian yang sudah aku tandai, filenya sudah aku kirim ke emailmu."

"Oke, Pak."

"Dan satu lagi, kuharap kau jangan absen lagi, Ms. Khan walau kau punya hubungan spesial dengan Mr. Jhonson," ucapnya lalu menutup telepon. 

Memandangi ganggang telepon berwarna hitam dengan kerutan di kening dengan perasaan bersalah. Tapi, semua itu tidak hanya berasal dariku melainkan Mr. Jhonson yang telah memaksa untuk mengajakku ke acara sosial dan berakhir dengan kejadian tak menyenangkan. Lagipula, aku juga tidak tertarik dengan si pria bermata biru itu. 

Oke, mulai hari ini aku harus lebih giat bekerja. Aku tidak ingin mereka mengolok dan mengaitkan apa yang telah terjadi karena kedekatanku dengan si bos. Tidak. Aku adalah wanita karir yang punya prinsip. Pria adalah pembawa bencana dan mereka tidak seharusnya didekati barang sejengkal pun. 

Membuka email dan menerima file yang dikirim oleh sang manajer, mencetaknya dengan kilat seraya merevisi apa saja yang perlu diperbaiki terutama pengecekan kembali pengeluaran dan pemasukan keuangan perusahaan. Aku bingung padahal semua yang kukerjakan sudah benar bahkan file dari Ketty pun yang seharusnya benar menjadi salah. 

"Mau kubuatkan kopi, Sir?" tanyaku usai berhasil menyelesaikan tugas ke ruangan Mr.Lawren.

"Ah, tentu boleh. Tolong tambahkan creamer agak banyak. Terima kasih," kata Mr.Lawren sambil menerima filenya.

Melangkah menuju dapur kantor lalu mengambil dua cangkir berwarna biru muda. Aku menuangkan serbuk kopi, gula, dan creamer  lalu menuangkan air panas dari ketel. Sejenak pikiranku melayang mengingat kejadian di penthouse hingga membuat hampir satu perusahaan ini tahu. Kugigit bibir bawah merasa bahwa aku memang tak pantas berada di tengah-tengah orang-orang seperti mereka. Sejak kejadian pelecehan seksual itu aku merasa orang lain memandangku seperti gadis jalang dan murahan. 

Lalu tangan kananku meraba leher di mana bekas luka itu berada. Rasanya seperti menguliti luka yang belum kering membuat tubuh seketika merinding. Kemudian, bayangan Mr. Jhonson yang menyapa bibirku dengan bibirnya, menggetarkan jiwa sampai perutku terasa digelitiki oleh sesuatu sampai ke kerongkongan. Mendadak darahku berdesir kencang bersamaan dengan debaran dada yang bertalu-talu dan menyuarakan bahwa sensasi yang diberikan oleh si pria kopi itu tak dapat dilupakan begitu saja.

"Apa yang kau pikirkan, Lizzie!" seruku pada diri sendiri. "Jangan berkhayal dan antar kopi ini kepada manajermu!"

####

Mr.Lawren berdiri di depan ruang rapat dengan ekspresi tegang seperti malaikat siap mencabut nyawanya detik ini juga. Bahkan di ruangan ini atmosfernya serasa di planet Merkurius meski udara dari AC begitu dingin. Memang sedikit berlebihan, tapi itulah kenyataannya. Dan hal yang lebih aneh lagi, kenapa pula aku duduk di sini seperti orang bodoh? Jikalau tidak dipaksa untuk mendampingi sang manajer dengan alasan asistennya sedang berhalangan hadir, aku tak akan pernah menginjakkan kaki di sini. Selain itu, aku hanyalah pegawai yang tidak terlalu ingin menonjolkan diri perusahaan setelah insiden itu, apalagi saat ini ada lelaki berdasi abu-abu dengan jas navy sedang memandang lurus ke arah layar proyektor.

Yang bisa kucerna, permasalahan utama hanyalah komplain pelanggan terhadap peluncuran aplikasi dan terkendalanya pengiriman ke beberapa negara. Mr. Lawren hanya menjelaskan tentang hambatan pembayaran pajak akibat harus melunasi biaya maintenance aplikasi yang ramai diunduh, seperti aplikasi antivirus serta penyimpanan data online yang menggunakan database lebih besar. Selain itu, dia juga menerangkan penurunan pembelian beberapa barang elektronik yang dinilai kalah saing dengan perusahaan lain.

"Kenapa kalian yang ada di divisi pemasaran tidak memasang diskon? Bukankah aku sudah berulang kali bilang, barang itu harus dijual sebelum ada yang lebih bagus spesifikasinya. Jikalau seperti ini, aku bisa rugi!" ketus Mr. Jhonson. 

"Kita perlu seseorang seperti publik figur untuk meramaikan kembali produk kita, Tuan. Atau ... selain memberi potongan harga bagaimana kalau kita memberinya bonus seperti true wireless stereo yang sedang kita rancang," usul Mr. Lawren.

"Bisa juga. Lantas bagaimana kelanjutan dengan komplain pelanggan itu? Apakah uang yang gagal dikirim sudah kalian kembalikan?"

"Sebagian besar sudah, Tuan, sebagian lagi ternyata sudah berhasil dikirim namun mereka tidak menerima notifikasi," sahut salah seorang laki-laki berambut putih. 

"Perbaiki masalah teknis itu dan hubungi bank yang bermasalah!" perintah Mr. Jhonson.

Wow, harus kuakui auranya berbeda dibanding saat kami berdua. Begitu tegas dan berwibawa. Pantas saja banyak perempuan yang menggandrungi sosok itu, tatapan dingin mampu mengintimidasi lawan bicara. Beberapa detik kemudian, Mr. Jhonson berpaling ke arahku, pandangan mata yang sama ditunjukkan saat dia murka karena aku meneguk minuman yang dicampur obat perangsang.

Rapat usai, buru-buru aku beranjak untuk membasuh muka dengan air tuk mendinginkan pikiran yang terus-menerus terbayang wajahnya. Kugelengkan kepala lalu merogoh obat yang dalam plastik kecil dari saku kemeja.

Saat akan menelan obat itu sebuah tangan besar berhasil menampiknya sampai jatuh ke dalam wastafel. Spontan aku menoleh dan lagi ... tatapan kami bertemu seperti di dalam rapat tadi. Dia menatap lekat dengan genggaman tangannya yang mencengkeram tanganku.

"Jangan diminum," desisnya tanpa berkedip.

Aku berusaha melepaskan genggaman tangannya namun sia-sia karena tenaga Andre yang jauh lebih besar. 

"Lepaskan aku, Mr. Jhonson," ucapku kesal sambil mengalihkan pandangan ke arah lantai toilet, tangan kanannya menarik daguku untuk tetap melihat iris mata biru samudra itu. "Jangan diminum, jika kau masih bisa mengendalikan rasa panikmu, Ms. Khan. Apa kau takut denganku?"

"A-aku ... a-aku...," nada suaraku bergetar jika memandang dirinya seperti ini. Wajahnya begitu dekat hingga bisa kurasakan embusan napasnya.

Tiba-tiba kepalaku terasa begitu pusing berbarengan dengan perasaan aneh yang menyelimuti diri. Aku menggeleng keras berusaha menajamkan penglihatan namun detik berikutnya tubuhku ambruk ke lantai.

Gelap!

Samar-samar aku hanya mendengar suara Mr. Jhonson memanggil namaku, tapi semakin lama suaranya semakin menjauh dan ... semakin membuatku tidak bisa mendengar apa-apa kecuali suaraku sendiri.

Apa aku mati? Ada apa denganku? Kenapa aku begitu lemah? Ayah .. aku anak gadismu yang kuat, kan? Kau mengatakan hal yang benar padaku, kan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro