Chapter 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"I love to see you shine in the night like the diamond you are."

-Khalid-

Samar-samar membuka kedua mata untuk mengumpulkan segenap nyawa memandangi langit-langit bercat putih lalu memandangi sekeliling. Menarik nafas panjang mendapati diri ini berada di ruang kesehatan perusahaan. Sekelabat bayangan saat magang dulu menyapa dan ternyata aku pernah berbaring di sini pertama kali namun lupa apa penyebabnya. Kuhela nafas sekali lagi, memejamkan kedua mata merutuki diri yang begitu berbanding terbalik dengan hati yang berusaha berkobar-kobar.

Bersamaan dengan itu, kurasakan perut bawah terasa nyeri sampai tembus ke tulang punggung. Sambil bangkit, kudapati seorang wanita muda berpakaian jas putih memandangku sambil membawa gelas dan obat dalam plastik kecil.

"Jika pucat, kenapa Anda memaksa bekerja, Nona?" tanyanya sambil memberikan tablet berwarna merah kepadaku. "Kau mengalami anemia ringan."

Aku menangguk sambil menelan obat itu dan meneguk air dalam gelas.

"Sepertinya aku menstruasi," tebakku. "Maaf aku memiliki sedikit kelainan hormon di sini."

Dokter itu duduk di sampingku, "Tidak apa-apa. Pengaruh stress atau terlalu banyak pikiran bisa memengaruhi hormonmu, Ms. Khan. Aku memberimu obat penambah darah dan vitamin agar tidak pucat seperti itu."

"Terima kasih," kataku sambil tersenyum tipis. "Ehm ... bolehkah aku tahu siapa yang membawaku kemari?"

"Mr. Jhonson," jawab dokter itu.

Ah, lagi-lagi dia.

"Di mana dia sekarang?"

"Di ruangannya. Dia menyuruhmu untuk istirahat saja."

"Tapi aku harus mengerjakan laporan rapat tadi, Dokter," kataku sambil bangkit dari kasur untuk melangkah pergi.

Dokter itu pun menahan tanganku. "Maafkan aku, Nona, tapi kau tidak bisa bekerja dengan wajah pucat seperti orang sekarat."

###

Setelah dua jam berdiam diri layaknya orang tak berguna di ruang kesehatan, aku segera mengerjakan laporan karena yakin Mr. Lawren akan marah jika aku absen lagi. Sambil menahan nyeri perut karena haid serta perut keroncongan, aku mulai mencetak laporan kerja yang cukup banyak. Padahal ada asisten atau Ketty yang lebih paham, kenapa pula aku yang disuruh mengerjakan banyak hal. Selain itu, aku benci saat haid datang mendadak seperti ini, nyerinya bisa sampai tiga hari bertuut-turut sampai pernah pingsan dibuatnya.

"Hei, kau kenapa?" tanya Ketty sambil meletakkan sebungkus roti di atas meja kerjaku. "Makanlah. Wajahmu sudah seperti vampir sampain pingsan di toilet pria."

Aku menganga dengan kening mengerut. "Toilet? Pria?"

Gadis itu mengangguk sambil tertawa lalu berkata, "Kau halusinasi atau apa? Aku tahu rapat kerja tadi memang membuat pusing tapi jangan sampai pikiranmu juga pusing, kita hanya mengikuti perintah bukan memikirkan strategi agar perusahaan tidak bangkrut."

Aku hanya bisa tertawa mendengar perkataan Ketty yang konyol. Dan baru sadar pula jika aku tadi memasuki toilet pria, astaga ... pantas saja dia tiba-tiba muncul.

"Untung Mr. Jhonson menolongmu, kau harus berterima kasih padanya, Nona," sindir Ketty. "Jangan menolak perhatian dari pria tampan itu." Dia mengerlingkan sebelah mata seolah aku akan luluh dengan perlakuan manis si bos besar. "Ah, ada tugas untukmu. Berikan ini kepada Mr. Jhonson dan jangan memintaku menemanimu seperti anak TK." Ketty memberikan sebuah file dalam map biru kepadaku.

"Oh, baiklah."

"Sudah berani ke sana sendirian?" goda Ketty sambil terkikik. 

"Berani atau tidak ... aku harus cepat-cepat keluar dari sana," kataku membawa file sekaligus laporan yang dititipkan Mr. Lawren kepadaku untuk diserahkan kepada Mr. Jhonson.

Berdiri di depan pintu hitam dengan tulisan 'CEO's room' membuat diriku beberapa kali harus menarik napas untuk mengumpulkan keberanian. Mengetuk pintu ruang kerja itu dengan perasaan campur aduk antara ragu, malu, dan takut. Ragu untuk berterima kasih dan malu karena aku salah masuk toilet serta takut akan tatapan tajamnya itu. Tapi ... bagaimana pun juga aku harus menyerahkan file-file sialan ini kepadanya kan?

Serahkan lalu pergi, Lizzie!

Memutar kenop pintu ruangan dan mendapatkan pria bermata biru samudra itu sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Sedikit terkejut, dia terlihat marah-marah bahkan mengeluarkan umpatan kasar yang tak seharusnya kudengar. Dia berbalik dan seketika pandangan mata kami bertemu. Mr. Jhonson terpaku walau mulutnya masih saja mengomel tanpa henti membicarakan tentang masalah perusahaannya. 

"Kau urus saja hal itu lalu berikan tunjukkan hasilnya, aku tidak ingin ada komplain!" tegasnya lalu menutup telepon.

"Ini ha--"

"Bisakah kau diam sebentar?" selanya ketus.

Oke, sepertinya aku sudah membangunkan singa.

Dia masih sibuk mengutak-atik ponselnya, berdiri membelakangi Empire State yang lebih angkuh daripada lelaki di depanku ini. Suasana begitu kaku, hatiku menyuruh untuk meninggalkan ruangan ini tapi otakku berkata tidak. Kini kaki yang berpijak pada lantai marmer hanya bisa menunggu kapan waktunya untuk kabur. Ah, sial, kenapa bukan Ketty saja yang menyerahkan ini, kenapa harus aku? 

"Oke, apa yang kau bawa," ucapnya sambil melangkah mendekatiku. Tatapan mengintimidasi itu masih tak berubah, kerutan di keningnya masih saja tercetak jelas membuat wajah itu bakal cepat keriput setahun kemudian. 

Tak sempat menjawab perkataannya, dia meraup bibirku hingga kertas hasil rapat tadi jatuh di lantai. Seolah tak peduli, dia mendorong tubuhku hingga jatuh ke sofa. Entah angin mana yang membuat kedua lenganku perlahan melingkari leher pria itu, menikmati pagutan bibirnya merasakan candu baru yang begitu memabukkan. 

"Wow, kukira kau akan pingsan lagi," desis Mr.Jhonson di bibirku.

What? Yang benar saja!

Seperti nyawa yang hilang dipaksa kembali, biji mataku melebar dengan wajah merah merona sambil melepas ciuman kami. Sial! rutukku yang mulai terlena dalam permainannya. Apa ini karena efek hormon estrogen-progesteron? Bukankah jika dalam masa haid libido tidak begitu meningkat seperti pada masa subur?

"Bisakah kau pergi dari atas tubuhku, Mr.Jhonson?" pintaku dengan nada sedikit tinggi. 

"As you wish." Dia mengerlingkan mata seraya tersenyum sinis, bangkit dari posisinya sambil merapikan kemeja yang berantakan.

Mendudukkan diri sambil merapikan kemeja dan tatanan rambut yang acak-acakan, mencuri-curi pasokan udara di sini untuk menetralkan kembali debaran dada. Sial, letupan di dalam rongga paru-paruku tak kunjung berhenti malah membuncah seperti kembang api di malam natal. Aku menggeleng kepala, menepis getaran yang masih bisa kurasakan sampai menembus tulang. Bibirnya ... aromanya ... ah sial! 

Kemudian, aku berjongkok, memunguti kertas-kertas yang berceceran lalu menyerahkannya pada lelaki yang tak mau membantuku sama sekali. "Ini hasil rapatnya."

"Ayo kita kencan, Ms. Khan," ajaknya mengabaikan file yang diterima, menaruh di atas meja begitu saja seolah masalah perusahaan bisa disingkirkan sejenak. 

"Aku sibuk," tolakku meninggalkan Mr. Jhonson tanpa berpamitan.

"Apa kau tak ingin mengenalku?" tanyanya membuat langkahku terhenti di ujung pintu. "Atau ... sekadar mengucapkan terima kasih atas kekacauan yang kau buat, pingsan di kantorku misalnya? Kau tahu, membawa tubuhmu yang berat itu menyakitkan pinggangku. Jujur saja." 

What the fuck! Haruskah dia menyinggung masalah berart badan di depan seorang perempuan?

Membalikkan badan, menyorot iris mata biru itu tajam. "Thanks! Aku sudah cukup mengenalmu, Mr. Jhonson. Tidak ada yang perlu kita ketahui lagi." 

###

Bisakah kubilang bahwa dia cukup gila, agresif, naif, atau apa pun. Ditolak berulang kali bukannya mundur, malah dia gencar menunjukkan kebenaran atas gosip yang beredar di perusahaan. Api yang terlanjur berkobar semakin berkobar kala dia begitu santai berdiri di depan pintu ruang karyawan, menyapa beberapa pegawainya dengan senyuman lebar. 

Jika aku bisa lompat dari jendela tanpa harus merasakan patah tulang, ingin sekali kulakukan saat ini juga. Sayang, nyawa yang diberikan oleh Sang Pencipta hanyalah satu dan aku pernah hampir kehilangannya berulang kali. Mau tak mau dan suka tak suka, terpaksa aku melewati Mr. Jhonson setelah selesai membereskan meja kerja. 

"Hei, sekarang gosip itu akan menjadi kenyataan." Ketty mendadak muncul, mengerlingkan mata penuh arti. "Ceritakan padaku jika kau melewati malam panas, Elizabeth."

"Ketty!" pekikku tak terima dengan nada suaranya yang bisa terdengar jelas dari telinga si bos besar. 

Gadis manis itu terbahak-bahak, pergi begitu saja dan menyapa si Jhonson. Aku meniup poniku, rasanya sepatu heels bisa meretakkan batok kepala Ketty agar sadar bahwa tidak ada rasa ketertarikanku kepada si pria kopi. 

"Kuantar kau pulang," kata Andre setelah benar-benar tidak ada orang di ruangan.

"Aku bisa pulang sendiri."

"Oh, ayolah, kau tahu aku tidak suka dibantah, Ms. Khan. Penolakanmu menantangku," ucapnya seraya berkacak pinggang. "Atau aku perlu membopongmu lagi?"

Harus ke mana lagi aku membeli stok kesabaran saat dia menguras semua kemurahan hati. Tanpa menunggu jawaban, dengan seenaknya dia menarik tangan kiriku menggeret paksa keluar ruangan. Kulit yang saling bersentuhan itu kembali menggetarkan seluruh sel saraf, mengirim jutaan volt listrik yang bisa saja melumpuhkanku saat ini juga.

Kuharap aku tidak pingsan lagi di lift. Oh Tuhan, bisakah dia tidak menyentuhku sedikit saja?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro