Chapter 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"I like me when I'm with you, I don't know what it is but I got that feeling."

-Lauv-

"Lizzie!" teriak Emilia saat aku baru saja selesai membersihkan diri. "Lizzie!"

"Ya!" balasku tak kalah kencang dan keluar dari kamar mandi. "Oh, astaga!"

Emilia berdiri sambil melipat kedua tangan dan melotot ke arahku di ruang tamu. Bukan raut wajah Emilia yang membuatku takut, melainkan sosok di belakangnya yang membawa buket bunga mawar berwarna merah muda. Pandangan mataku beralih pada Emilia yang menyiratkan 'bisakah kau jelaskan mengapa pria ini datang layaknya remaja yang dimabuk cinta?'

Haruskah aku jujur bahwa lelaki yang kini berpenampilan sangat berbeda itu sudah kutolak mentah-mentah? Tapi, hei ... rasanya dia terlihat lebih tampan mengenakan jeans yang dipadu T-Shirt putih, jaket kulit serta sepatu kets hitam. Rambut cokelat tembaga yang biasanya ditata klimis sekarang sedikit dibuat acak-acakan. Pantas saja jika banyak perempuan yang menggandrungi sosok itu dan mungkin aku ...

Wait! Sadarlah Elizabeth Khan!

"What are you doing, Emilia!" seruku ketika Emilia tiba-tiba menyeretku masuk ke dalam kamar. Tanpa membalas ucapan teman sekamarnya, dia membongkar lemari baju dan melemparkan beberapa pakaian di atas kasur.

"Tentu saja memilihkanmu baju terbaik untuk kencan pertama dalam 22 tahun hidupmu, Elizabeth Khan!" tegasnya. "Oh Tuhan, aku harus mengatakan pada Ibumu bahwa kau kencan dengan pria tampan dan sialan kaya. Ibumu pasti tahu Robert Pattinson kan? Kalau tidak aku akan memberikan semua fotonya dalam folder laptopku. Dan Jangan lupa traktir temanmu ini untuk makan selama setahun penuh!"

Sepertinya Emilia lebih menggebu-gebu daripada aku yang memilih menidurkan diri di atas kasur berpura-pura tidur. Aku yakin dia mengeluarkan rangkaian kalimat panjang itu tanpa bernapas barang sedetik. Lihatlah kedua lubang hidungnya sudah kembang kempis. Emilia mengumpat seperti ibu yang mendapati anaknya terlambat sekolah. Dia menyingkirkan selimut dan berkata,

"Bangun dan nikmati masa mudamu, Ms. Khan!"

"Aku sudah menolaknya, oke. Tak bisakah kau beralasan bahwa kita akan kencan sendiri menonton film Nicholas Sparks seperti biasanya?"

"Aku sudah menemukan belahan jiwaku, Lizzie, sudah kubilang singkirkan label lesbian padahal kita berdua adalah normal," dengkusnya sambil memandangi baju-baju yang ditaruh di atas kasur. Diraih kaus putih bermotif stripe lalu mencocokkan dengan jeans. "Aku baru sadar kalau lemarimu penuh dengan sweater, ingatkan aku saat Natal tiba biar kubisiki Santa agar memberimu pakaian yang lebih berwarna. Ayo ganti baju, aku akan mendandani wajahmu agar tidak pucat dan menyedihkan seperti itu."

"Kau lebih mirip penjaga asrama, Emilia," ejekku tak ikhlas mengenakan baju pilihannya.

"Dan kau lebih mirip gadis SD yang keras kepala, Elizabeth," balasnya berkacak pinggang.

Tangan ajaib Emilia begitu lihai memulas wajahku dengan berbagai macam make up yang dimiliki. Padahal aku juga bisa berdandan tapi dia bersikeras untuk menyulapku menjadi seorang Cinderella yang sudah dijemput oleh sang pangeran. Pulasan bedak, maskara, eye shadow bernuansa cokelat muda serta sentuhan lipstik coral memang lumayan mengubah wajahku menjadi lebih segar.

"Oke selesai," kata Emy. "Keluarlah dan tunjukkan kecantikanmu pada pria itu."

"Aku berharap ibu peri mengutukku menjadi buruk rupa agar Mr. Jhonson tidak repot-repot mengajakku kencan," pintaku kesal sambil mengambil tas dan flat shoes berwarna senada di sudut kamar.

Keluar dari kamar dan disambut oleh Mr. Jhonson yang menyunggingkan senyum lebar. Rasanya aku benar-benar tidak ingin meninggalkan kasur kesayanganku untuk menghabiskan malam bersamanya. Emilia malah mendorongku dengan mata membelalak seperti ingin menelan bulat-bulat.

Mau tak mau, menghampiri dirinya yang memberiku buket bunga itu dan berkata, "Cantik."

"Sejak lahir," timpalku asal. Ah, klise! Kenapa semua pria selalu membawakan bunga? Bukannya uang atau sekotak cupcakes?

"Aku pinjam―"

"Diizinkan tuan Jhonson, kembalikan dia sebelum jam 12 malam," potong Emilia di belakangku.

"Baiklah," katanya lalu mengulurkan tangan kanan. "Kau takut pingsan?"

Aku mengangguk. "Aku tidak suka ada kontak fisik di antara kita."

"Setelah kita berciuman di kantorku?"

"What!" pekik Emilia menepuk pundakku dari belakang.

"Em!" Kali ini aku melotot sampai bola mataku ingin menggelinding. Yang benar saja si pria kopi itu membocorkan apa yang tak seharusnya bocor. Lagi pula dia menggodaku dulu. Dan aku terlena.

"Perlahan saja, aku tak memaksamu," ucapnya. "Pertama, pegang kelingkingku dulu."

Aku mengikuti perintahnya dengan rona semerah tomat di pipi. Tanpa banyak kata lagi, kami bergegas pergi diikuti siulan Emy yang membuatku malu setengah mati.

###

Wow!

Hanya itu yang keluar dari mulut kala Mr. Jhonson memarkirkan mobilnya di parkiran Luna Park Coney Island. Aku tersenyum lebar seraya keluar dari mobil dan menghirup atmosfer tempat ini dalam-dalam. Jujur saja, sudah lama aku tidak pernah ke taman bermain semenjak George meninggal serta kejadian tak menyenangkan yang membuatku mengurung diri selama berbulan-bulan. Dulu, saat liburan musim panas dan liburan Natal, George akan membawa kami sekeluarga berlibur. Hal yang kami sukai waktu itu adalah bermain di pantai membangun istana pasir dan berjemur di bawah terik matahari.

"Kau suka?" tanya Mr. Jhonson yang ternyata sudah berdiri di sampingku. "Aku ingin ke sini sejak lama. Sam tidak pernah suka dengan taman bermain, Jessica lebih suka pergi ke mal daripada roller coaster di sana." Dia menunjuk kereta yang meliuk-liuk di atas sana diiringi teriakan penumpang yang kegirangan.

"Kukira yang ada di pikiranmu hanyalah masalah perusahaan, Mr. Jhonson," sindirku.

"Apakah itu terlihat jelas di dahiku sekarang?"

Menganggukkan kepala membenarkan apa yang dikatakan.

"Ayo," ajaknya. "Ah, bukankah sudah kuingatkan jangan memanggilku terlalu formal?"

"Kau juga."

Dia tertawa, mungkin mulai kesal karena aku pintar membalas ucapannya.

"Lizzie? Itu nama panggilanmu kan? Sekarang, panggil aku Andre jangan Mr. Jhonson, lagi pula ini bukan di kantor."

"Andre. Baiklah."

Mr. Jhonson maksudku Andre mengulurkan tangannya dan berkata, "Karena kau tidak pingsan saat memegang kelingkingku, apa boleh kutambah dengan jari manis?"

"Ayolah, kau kira aku akan selemah itu, Alexandre Jhonson?" tantangku menyebut nama lengkapnya dan melingkarkan jariku ke jari kelingking dan jari manis kanannya.

Hangat. Seolah hanya dengan menyentuh seperti ini mampu membuat denyut jantungku tak karuan. Bukannya rasa sakit akibat meningkatnya kerja jantung melainkan perasaan aneh yang tidak bisa didefinisikan. Selain itu, rasa panik yang biasanya mendadak datang kini sirna begitu saja. Ajaib? Aku berusaha tidak percaya jika terapi ini mulai terlihat hasilnya.

Kami memasuki toko gelato Coney's cones yang sangat terkenal karena cita rasanya. Interior yang didominasi warna putih membuat kami serasa masuk ke surga yang begitu menyilaukan. Ada sebuah papan besar bertuliskan barisan menu serta beberapa foto pelanggan yang ditempel di dinding. Ternyata sudah ratusan orang berkunjung dan salah satunya Justin Bieber. Beruntung sekali jika aku bisa merasakan apa yang pernah dipesan oleh penyanyi papan atas itu.

"Rasa white chocolate macaroon dengan hazelnut crunch saja, please," pinta Andre kepada si penjual. "Kau?"

"Sama denganmu."

"Berarti kau juga punya rasa suka sepertiku?" godanya sambil mengerlingkan mata.

Refleks meninju lengannya membuat Andre mengaduh. Aku tidak peduli, dia membuatku malu setengah mati di depan penjual yang malah terkikik mendengar rayuan si pria kopi.

"Dia juga sama, Tuan," kata Andre kepada pria berbadan tambun.

Tak butuh waktu lama, kami menerima dua cone gelato yang tampak cantik dan lezat. Sayangnya, Andre merebutnya dari si pria tambun sebelum aku mengambil es krimku. Aku mendengkus kesal saat dia pergi begitu saja tanpa pamit. Lantas, berlari menyusul langkah panjangnya melewati area seni mural yang biasanya ramai untuk foto-foto. Kulihat si pria aneh itu menjilat es krimku tanpa ras bersalah. Dia menoleh, melepas tawa melihat ekspresi wajahku yang sangat ingin melemparinya dengan saus tartar.

"Kemarilah, Nona," perintahnya. "Untukmu." Dia menyerahkan es krimku.

"Kau sudah menjilatinya," ketusku bingung harus menjilat sebelah mana. "Aku sudah tidak minat."

"Aku hanya mengecek apakah rasa keduanya sama," balasnya santai. "Selain itu, apa kau tahu mitos seseorang minum atau makan dari bekas orang yang dia suka maka orang itu akan balik menyukai kita."

"Apa kau percaya dengan itu? Aku tak pernah mendengarnya bahkan terdengar menjijikkan bagiku."

"Aku percaya jika itu denganmu. Jilatlah, Lizzie. Kau tak akan mati hanya karena es krim itu tercampur ludahku."

"Kau gila," ejekku terpaksa melahap sekaligus es krim yang sudah mulai meleleh. Seketika gigiku rasanya ngilu merasakan betapa dinginnya olahan gelato ini. Tapi, rasanya menyenangkan, terutama cokelat yang dikombinasi dengan potongan kacang hazelnut adalah yang terbaik tuk mendinginkan emosi yang selalu muncul setiap beradu argumen dengan si pria kopi.

"Sekarang ayo kita foto bersama," ajaknya sambil mengeluarkan Iphone. "Sini, tunjukkan gelatomu. Aku akan kirimkan pada Ibuku."

Dia merapatkan tubuhnya, mengangkat tangan kanan untuk mengabadikan hari yang tak akan bisa diulang seperti ini. Sedangkan tangan kirinya merangkul bahu kiriku dengan menunjukkan es krim bak piala Oscar.

"Say Cheese!" teriaknya.

Dengan sekejap kami pun selfie dengan berbagai macam ekspresi. Aku tertawa ketika tak sengaja es krimku menyentuh hidung dan mulut Andre. Dia tak mau kalah, gelato yang dipegangnya pun dengan sengaja ditempelkan di pipi kiriku.

"Andre!" teriakku.

"Satu sama!" Dia melempar kerlingan nakal lalu berlari menuju roller coaster yang tak jauh dari posisi kami.

"Sialan kau!" umpatku mengejarnya sekuat tenaga.

Di depan arena roller coaster, Andre mengulurkan kembali tangan kanannya padaku. "Kelingking, jari manis, dan jari tengah," kata Andre sambil tersenyum.

Tanpa basa-basi aku mengikuti perkataannya sambil memegang ketiga jarinya itu lalu kami berlari kecil memasuki pintu masuk arena permainan roller coaster yang berkelok-kelok. Andre pun tertawa sambil berteriak 'tut-tut' seolah sedang berkamuflase menjadi gerbong kereta.

"Apa kau ingin muntah sekarang?" tanya Andre saat kami berdua duduk di bangku terdepan roller coaster dengan dibantu petugas untuk memasangkan sabuk pengaman.

"Tidak," kataku.

"Saat menyentuhku kau ingin muntah?'

Aku menggeleng.

"Bagus," katanya.

Sebelum aku mengeluarkan kalimat kereta yang dinaiki sekitar sepuluh orang ini melaju perlahan menaiki jalur menanjak. Refleks memejamkan mata, meski sebenarnya aku tidak takut pada ketinggian hanya saja sensasi duduk di bangku paling depan itu terasa menyeramkan sekarang. Sementara Andre berteriak tak sabar untuk menikmati puncak jalur ini.

Kereta sudah berada di puncak berhenti beberapa saat membuat kami bisa melihat seluruh area Luna Park, tapi detik berikutnya kereta mulai turun lambat kemudian melaju dengan kecepatan yang sangat tinggi membuat diriku berteriak sangat kencang. Tubuhku terombang-ambing ke kiri dan kanan kala kereta melewati jalur berkelok lalu turun lagi dan melintasi area lingkaran pertama membuat jantungku ingin lepas. Oh, sial! Perutku rasanya seperti diaduk-aduk hingga ingin muntah. Oh astaga, rasanya aku ingin mati sekarang juga!

Kakiku tak bertulang lagi saat kereta melaju makin lambat pertanda perjalanan ekstrem kami sudah selesai. Mual! Itu yang kurasakan setelah naik wahana ini. Aku pun melepas sabuk pengaman dan meloncat keluar dari tempat mengerikan itu untuk mencari tong sampah dan mengeluarkan isi perut. Tidak ada yang keluar dari lambung namun rasanya malaikat sudah siap mencabut jiwaku sekarang. Kupukul lengan Andre kesal telah mengajakku ke tempat itu. Dia hanya mengaduh sambil tertawa.

"Ini masih belum seberapa dibanding Disney Land," katanya membela diri. "Ayo beli makan, aku lapar."

"Aku masih mual!" tolakku namun dia menarik lenganku pergi ke Cyclone café.

Andre memilih tempat duduk dekat kaca di sisi kanan kafe dan menyuruhku untuk duduk. Tempat ini sangat cozy dengan kursi yang berwarna-warni yang terbuat dari kayu, meja bundar, lampu-lampu yang temaram, papan menu, serta alunan music pop awal tahun 2000-an mengalun lembut. Ah, harusnya kami duduk di sini saja daripada harus menikmati roller coaster.

"Kau pesan apa?" tanyanya. "Kau masih mual? Aku akan meminta obat pada wanitam" tunjuknya pada wanita paruh baya yang menyerahkan nampan berisi makanan pada pelanggan.

"Aku baik-baik saja," kataku menahan pusing.

"Kau yakin? Apa kau bawa obat dari dokter di kantor?"

Aku mengangguk, tunggu! Bukankah dia terlihat begitu manis dengan wajah khawatirnya itu?

"Bagaimana kalau kita makan piza dan segelas kola untukku dan segelas lemon tea hangat untukmu?" tawarnya.

"Aku ingin―"

"Jangan kola, kau mual. Aku masih ingin naik beberapa wahana lain," Sela Andre. "Mualnya kau lanjutkan saat di apartemen."

Ah! Jika tidak mual, mungkin sepatuku ini sudah menyumpal bibirnya. Sangat tidak sopan!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro