Chapter 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"You and I, we don't wanna be like them."

-One direction-

Aku terdiam lalu pandanganku beralih pada pelayan yang mengantarkan pizza dan dua minuman ke meja kami. Mengucapkan terima kasih, kami pun melahap makanan itu dalam diam di pikiran masing-masing.

"Kenapa kau beda hari ini, Mr. Jhonson?" tanyaku usai meneguk lemon hangat. Ah, lambungku rasanya sudah sedikit bisa diajak damai. Rasa mual itu mulai berkurang. "Kau berbeda dari yang kukenal di kantor dan membuatku bertanya-tanya apa motifmu."

Andre meneguk kola sebentar, lalu meletakkan botol yang sudah kosong itu dan berkata, "Apakah harus ada alasan? Kau tahu aku tertarik padamu."

"Aku tidak tertarik," jawabku mematahkan harapannya. "Walau kau cukup menyenangkan."

"Haruskah kita membahas hal itu di sini, Lizzie?" Dia tampak emosi. "Nikmati saja malam ini selagi kau muda. Jangan terlalu serius."

"Menikmati masa muda sampai kau bercinta denganku waktu itu?"

Andre yang hendak melahap potongan piza pepperoni langsung terlihat tak minat. Dia melipat kedua tangan di dada meniru gayaku. Dia tak kunjung membalas ucapanku malah menatap lekat seperti ingin mengajak berkelahi. Ah, andai saja tubuhnya tidak sebesar itu, aku sudah memukul dan menjambaknya selagi bisa.

"Karena kau yang meminta, Ms. Khan," tegasnya. "Kau yang membuatku melakukan itu dan--"

"Pelakunya? Siapa dia?"

Raut wajahnya seketika tegang. Iris mata biru itu mendadak segelap malam berbarengan rahang yang terkatup rapat. Beberapa kali dia menjilati bibir sendiri, tapi aku tidak bisa meraba apa yang di pikiran lelaki itu. Selama ini aku berusaha menahan semua pertanyaan semenjak insiden di rumah keluarga Jhonson, terutama pelaku yang kutakuti adalah dia.

Lelaki dengan rambut ikal sebatas tengkuk leher. Lelaki berkulit pucat bak pualam dengan mata yang memancarkan nafsu seperti binatang.

"Dia dihukum. Tenang saja."

"Hanya itu? Kau tak mengatakan namanya padaku?"

"Untuk apa?" Suara Andre meninggi. "Kalau kau tahu dia, lantas apa yang kau lakukan? Memukulnya dengan tubuh kurusmu itu?"

"Itu bukan urusanmu, Mr. Jhonson--"

"Itu urusanku, Ms. Khan dan selamanya menjadi urusanku. Kau kira aku bisa hidup tenang sejak insiden itu?"

Kali ini aku yang mengerutkan alis, jutaan pertanyaan baru langsung bermunculan. Seketika aku teringat dengan apa yang dikatakan Emilia tempo hari, bahwa pelaku memanggil Sam dan diduga saling kenal dengan Andre. Masalahnya tidak ada satu pun media yang berhasil mengorek pelaku dan sialnya penguasa di Manhattan mampu membungkam pencari berita untuk melupakan kasus itu. Termasuk keluarga Jhonson.

"Aku hanya ingin membuatmu melupakan malam itu, Ms, Khan," ucap Andre lagi. "Tidak bisakah kau percaya padaku?"

"Percaya pada orang yang meniduriku dalam keadaan tak sadar?"

"Jangan mengulangi pertanyaan yang sama kalau kau tahu jawabannya, Elizabeth Khan!"

"Karena jawabanmu membautku semakin bertanya-tanya, Alexandre Jhonson!"

Andre mendengkus, membuang muka seolah aku tidak layak untuk diajak bicara. Dia mengusap wajah lalu mengacak rambutnya. Aku tak yakin jika kami menjalin hubungan akan berjalan baik, buktinya tidak ada satu pun dari kami yang mau mengalah. Andre terlalu bebal menutupi rahasia itu, sementara aku butuh penjelasan detail. Sangat salah jika Andre tertarik pada gadis keras kepala sepertiku.

"Kau akan tahu jawabannya nanti," putusnya. "Sekarang aku ingin kita bermain lagi, Ms. Khan. Jangan membuat mood-ku rusak."

Aku beranjak, melempar tatapan sinis meninggalkan dirinya. Tidak hanya dia saja, tapi aku pun sama. Mood-ku sudah hancur dan saat ini ingin pulang atau setidaknya menikmati kembali es krim vanilla dengan taburan oreo.

"Hei!" Andre menahan lenganku. Tatapannya kini berubah memelas dan penuh harap. "Aku minta maaf. Hanya saja semuanya rumit."

"Kau sendiri yang membuatnya seperti itu," kataku melepas cengkeraman tangannya.

"Aku akan membayar kekesalanmu nanti, Elizabeth, bisakah kita melanjutkan kencan ini?"

Sudah terlalu malas menanggapi Andre namun pergi dari sini sebelum puas dengan semua wahana. Akhirnya kuiyakan saja ajakannya, seketika wajah Andre sumringah layaknya matahari yang bersinar setelah hujan deras. Dia membawaku ke Brooklyn Flyer di mana ada banyak kursi bergelantungan dan diayunkan hingga batas tertinggi.

Mendudukkan diri di salah satu kursi secara acak lalu menoleh ke arah Andre yang duduk di belakangku. Wajahnya kembali berubah, ada ekspresi ragu yang tersirat di sana. Mana mungkin lelaki angkuh nan egois itu takut sementara dia kegirangan di roller coaster?

"Kau takut?" tanyaku.

"Tidak, hanya saja...," dia tidak melanjutkan kalimatnya

"Kau takut pusing?" tebakku

Dia mengangguk.

"Impossible jika kau seperti itu, Andre. Ini tidak seseram kita menaiki roller coaster."

Seorang petugas berpakaian kuning mencolok berkeliling tuk mengecek satu persatu pengaman kami agar tidak terjatuh. Setelah selesai, dia melangkah ke pusat pengendali dan terdengar suara nyaring pertanda permainan akan dimulai.

"Ya Tuhan, Ya Tuhan," desis Andre yang terdengar begitu jelas di telinga saat mesin itu bergerak mengangkat gantungan kursi. Lalu perlahan kami pun berputar dengan gerakan turun lalu naik lagi dan diayunkan hingga rasanya seperti dilempar. Aku berteriak sambil merentangkan kedua tangan menikmati permainan favorit yang membuatku merasa bebas untuk menggapai langit di atas sana.

"Aku mual ... aku mual..." teriak Andre, wajahnya sudah sangat pucat membuatku tertawa terbahak-bahak.

"Oh seriously, is that you Mr. Jhonson?" ejekku namun tak dihiraukan.

Setelah permainan selesai giliran Andre yang mual membuatku merasa bersalah dengan wajahnya yang begitu pucat.

"Kau baik-baik saja?" tanyaku khawatir.

"Jika seperti ini, apakah aku terlihat baik?" ketusnya.

"Salahmu sendiri, jangan marah seperti itu padaku."

Dia membersihkan mulut dengan tisu lalu memandang penuh arti. "Ayo kita coba tantangan yang lain," katanya sambil melangkah cepat.

Melanjutkan permainan di Whac a Mole di mana kami akan memukul hewan yang muncul dari sekitar enam lubang dengan tongkat pemukul untuk mendapat poin sebanyak-banyaknya. Pemukul dengan pukulan yang tepat dan poin terbanyak akan mendapatkan hadiah seperti boneka beruang, minion, panda, hingga Pikachu yang terpajang di etalase.

"Jika kau kalah, kita akan main balap mobil atau thunderbolt di sana," tantang Andre menunjuk roller coaster paling besar di Luna Park.

Aku menelan ludah lalu menatap dirinya dengan senyum miring. "Let see, Mr.Jhonson."

Kami memasang kuda-kuda, memegang erat tongkat pemukul di masing-masing meja permainan. Detik berikutnya muncul hewan tupai dari dalam lubang itu dari kecepatan lambat sampai kecepatan yang membuatku kewalahan. Bahkan tidak sempat melihat poinku apakah sudah melampaui Andre atau tidak. Kupukul boneka tupai menyebalkan sambil berteriak karena beberapa kali gagal. Sedangkan Andre tertawa saat dia mulai merasa dirinya menang. Aku tidak mau kalah, kupukul terus boneka itu dari segala arah.

"Yeah!" teriak Andre ketika berhasil memenangkan poin lebih besar.

Aku merengut, sial! Kulihat lagi thunderbolt yang benar-benar tinggi itu sambil menelan ludah.

"Thunderbolt, I'm coming!" teriaknya berlari ke area ekstrem itu.

Deru napasku berlomba dengan deru napas Andre setelah kami menaiki wahana roller coaster paling menakutkan. Jika tadi aku hanya mual, tidak dengan thunderbolt! Aku muntah dan sukses mengeluarkan semua isi perut hingga cairan kuning dari lambung. Jantungku bahkan tak hentinya berdegup kencang serta kedua kaki terasa begitu lemas tak bertulang. Sedangkan pria itu mengamati penuh kelelahan sambil meneguk botol mineral dengan cepat. Dia juga berteriak ketakutan bahkan sempat memanggil nama ibunya.

"Sekarang kita ke bianglala, aku ingin duduk sejenak di sana," kataku dengan suara gemetaran.

"Ide bagus, tidak ada area yang menantang adrenalin."

Diulur tangannya padaku dengan tatapan penuh harap bahwa aku harus percaya padanya. Ragu-ragu tapi kami sudah sejauh ini walau sedikit ada perdebatan tadi. Kuraih tangan itu, menggenggamnya tanpa takut lantas berjalan beriringan sambil sesekali mengejek tentang siapa yang paling takut.

Tak terasa waktu bergulir cepat dan berakhirnya permainan gila malam ini. Sembari duduk berdampingan di kotak besi bianglala, kami berdua menikmati suasana syahdu di Luna Park yang begitu indah dengan lampu warna-warni diikuti semilir angin yang menggoyangkan anak rambut. Kami berdua terdiam menikmati pemandangan indah yang hanya beberapa detik sebelum kami dibawa turun oleh mesin bianglala.

Mataku beralih pada garis siluet Andre yang masih sibuk menatapi lampu di bawah sambil sesekali tersenyum. Perlahan tapi pasti tangan kiriku menyentuh pipi kirinya membuat lelaki itu tercengang. Dia terdiam membiarkan jemariku meraba wajah yang terpahat begitu sempurna.

Lelaki ini dengan segala argumennya mampu menguras kesabaran. Entah angin apa yang bisa membuatnya tertarik dengan seorang gadis sepertiku. Dan baru tersadar pula bahwa debaran di dada ini tak bisa berhenti begitu saja tiap kali di dekat Andre. Anehnya, getaran di dada itu tak menimbulkan reaksi hebat seperti sebelum-sebelumnya melainkan menciptakan gelenyar aneh yang membuat bibir ini tak bisa berhenti tersenyum.

"Terima kasih."

Hanya itu kalimat yang keluar dari mulutku. Ucapan sederhana atas perlakuannya dan sikap protektif yang masih menjadi misteri. Andre tersenyum lalu memegang tanganku yang masih menempel di wajahnya tanpa berkata apa pun. Mungkin terbawa suasana, tanpa sadar wajah kami semakin dekat dan dekat. Kedua mataku memandangi bibir merahnya lalu menutup mata kala bibir kami berhasil bersatu.

Tuhan, apakah aku boleh merasakan hal bahagia seperti ini? Jika ya, bisakah kau hentikan waktu untukku bisa mengenalnya lebih jauh, Tuhan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro