Chapter 15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Please come now, I think i'm falling. I'm holding on to all I think is safe."

-Creed-

Membuka mata perlahan-lahan kala sayup-sayup mendengar suara yang diselingi umpatan. Saat nyawa terkumpul setelah terbuai mimpi indah bertemu George, aku tercengang bukan main sudah berada di tempat berbeda. Kubuka selimut memastikan bahwa bajuku tetap utuh termasuk celana dalam yang masih terpasang di sana. Butuh jeda beberapa detik sampai sadar bahwa kasur empuk dengan selimut bermotif bintang dan bulan ini adalah milikku. Oke, setidaknya aku tidak terbangun di tempat kalau sudah berada di kamar. Terakhir yang kuingat, aku berada di mobil Andre kemudian rasa kantuk tiba sampai tertidur pulas. Apakah dia menggendongku sampai ke sini?

Sambil bangkit dan menguap lebar, aku menangkap detak jam beker yang menampilkan pukul satu pagi. Ah, siapa pula yang sedang berdebat kusir di malam seharusnya orang-orang terlelap? Seraya menggaruk tengkuk leher, kuseret kaki keluar kamar berharap mereka bisa menghentikan pembahasan yang bisa saja menguras energi itu. 

Sayang, tangan yang hendak memutar kenop pintu terhenti saat suara Andre--kuyakin begitu--menyebut namaku berulang kali dan menyangkut pautkan dengan insiden beberapa waktu lalu. Aku mengernyitkan alis, menempelkan telinga untuk mendengar pembicaraannya lebih jelas. Apakah dia sedang adu argumen dengan Emilia?

" ... sudah kubilang bahwa aku tidak akan membuka mulut, Ms. Hall. Kenapa kau keras kepala sekali? Bahkan kepada Elizabeth pun aku tidak akan menceritakannya," kata Andre. "Apa pun hubungan kami dengan pelaku, kau hanyalah orang luar yang tidak berhak tahu."

Apa Emilia masih berusaha mengorek informasi itu?

"Kau pikir aku akan diam saja sementara mental temanku kau abaikan?" Emilia terdengar sinis. "Jika kau memang menyukai Elizabeth haruskah kau menyimpan rahasia yang bisa saja terkuak dan melukai hatinya?"

"Diamlah!" Andre berseru. "Rahasia akan tetap menjadi rahasia kalau kau tidak lagi ikut campur! Apa uangku masih tidak bisa menutup mulutmu sebagai jurnalis, hah!"

Mendadak terdengar sebuah lemparan barang yang membuatku merinding seketika. Aku hendak membuka pintu untuk menyumpahi si Jhonson itu namun terhenti lagi ketika Emilia membalas ejekan si pria kopi.

"Uang tidak bisa menjamin keselamatan temanku, Mr. Jhonson! Dan aku bertanya kepadamu, apa motifmu sebenarnya mendekati Elizabeth? Dia hanyalah karyawan--"

"Ucapanmu berbelit-belit, sudah kukatakan aku tertarik padanya, titik!" sela Andre. "Masalah perubahan sikapku ini anggap saja aku sedang mabuk, oke. Apa kau tidak mendengar penjelasan dokter waktu itu? Temanmu hampir bunuh diri, dia mengalami depresi dan aku ... aku yang menyebabkan dia seperti itu dan aku juga yang harus menjadi obatnya."

Apakah dokter Stephani memberitahunya juga?

"Kau memang alasan dia bunuh diri karena memperkosanya saat dia tidak sadar, munafik sekali!"

"Aku tidak memperkosanya secara langsung, oke. Hanya membuatnya ... ehm ... melepaskan sesuatu akibat obat perangsang itu. Kalau kau tidak percaya silakan cek apakah dia hamil."

"Kau kira apa gunanya pengaman?"

"Kau kira aku sebodoh itu bercinta dengan perempuan mabuk?"

Kesabaranku sudah habis sampai membanting pintu dan ternyata mereka berdiri dengan pandangan saling melotot. Emilia tercengang bukan main sementara Andre mengusap wajahnya seperti salah tempat untuk mengomunikasikan hal yang seharusnya tidak diperdebatkan. 

Dadaku naik-turun mengeluarkan gejolak emosi bahwa selama ini kukira Andre memperkosaku dalam arti sebenarnya. Lantas kenapa dia harus berdusta? Kenapa dia tidak bilang yang sebenarnya apa yang kuminta malam itu?

"Kau kira semudah itu membuatku tertarik padamu, Jhonson!" sambarku emosi. "Apa karena kita menghabiskan malam bersama waktu itu dan sekarang bisa membuatku luluh? Menganggapmu mabuk? Hah! Ya! Kau memang mabuk sampai mau mendekati perempuan yang hampir bunuh diri, lantas apa!" 

Emilia mendekat berusaha menenangkan luapan amarah yang bisa saja meledakkan diri. Ah, sial! Kenapa pula ruangan ini begitu panas dan terasa sempit!

"Kau salah paham, Elizabeth." Andre berusaha mengelak. "Aku--"

"Pergi!" usirku menunjuk pintu tepat di belakang punggungnya. 

"Ms. Khan ..." suaranya berubah lirih. 

"Pergi, kubilang!"

Dia terdiam sejenak, melirik Emilia yang berada di sisi kiriku lalu dia meninggalkan kami sambil menutupnya dengan keras. Seketika itu pula aku jatuh terduduk, menangisi kebodohan atas sikap manisnya malam ini. Ah, sial! Kenapa pula aku membiarkannya masuk ke dalam hidup seorang Elizabeth Khan. Apalagi kami ... di bianglala ... bahkan sensasi lembut bibirnya masih begitu terasa di bibirku. 

"Aku minta maaf," lirih Emilia mengelus punggungku. "Aku hanya ..."

Tanpa mampu berkata lagi, kurengkuh tubuh gadis itu dalam dekapan sebagai ucapan terima kasih telah membuatku sadar bahwa memang tidak ada lelaki yang bisa dipercaya di dunia. Sekali pun baik, mereka memiliki sebongkah rahasia yang dibalut dengan bualan manis di bibir. 

"Apa kau percaya padaku?" tanya Andre selepas kami berciuman. 

Air mataku makin deras, dalam hati merutuki Mr. Jhonson dan berharap Tuhan bisa memberikannya karma. Emilia tidak melontarkan sepatah kata, hanya memberiku ruang untuk melampiaskan semua kekesalan yang tercampur aduk dengan kesedihan. Tak peduli jika tetangga apartemen kami mendengar tangisan bak anak kecil di malam hari yang baru saja terkena mimpi buruk. Ya, mimpi buruk telah menaruh secuil harapan pada lelaki yang kukira bisa menjadi terapi untuk diriku sendiri. 

"Hei, Lizzie ..." Emilia membuka suara menangkup wajahku dengan jemari lentiknya, mengunci iris mata yang sudah hilang harapan ini. "Masih ada aku untukmu, oke ..."

"Kukira ..." Aku menarik ingus, memukul dada dengan kepala tangan agar bongkahan batu besar yang menyumbat kerongkongan keluar. Ah, kenapa begitu sesak di sini? Kenapa begitu sakit dada ini, Tuhan?

"Kita adalah wanita mandiri yang kadang tak perlu kehadiran lelaki, Elizabeth," ucap Emilia tegas. "Ini lebih bagus daripada akhirnya kau terlanjur jatuh cinta padanya--"

"Aku tidak jatuh cinta padanya!" pekikku. "Aku hanya ... kau tahu kan bagaimana ketika mulai menerima lelaki yang mau menerimamu dengan segala kegilaan ini, Emilia. Dan ... dia ternyata ... ada motif tersendiri yang tidak pernah aku pahami."

"Tidak kau saja, bahkan aku juga tidak memahami Sam," keluh Emilia. "Tidak kakaknya tidak adiknya, mereka sama saja."

Aku menganggukkan kepala, mengusap bekas air mata yang belum kering. "Haruskah kita menonton film horor agar tidak galau."

"Haruskah aku memesan piza dan dua botol kola?" tawarnya sambil tertawa. 

###

Waktu bekerja adalah waktu yang paling membuatku malas sekarang. Sebisa mungkin kuhindar sosok Andre untuk tidak membuat mood yang jelek semakin jelek. Bahkan tiga film horor yang kutonton bersama Emilia kemarin rasanya tidak bisa membangkitkan semangat walau senyum paksa harus terukir kala bertemu Ketty. 

"Kenapa menatapku seperti itu?" tanyaku lalu mendapati sebuah kotak kecil dengan secarik kertas berwarna merah muda di sana. 

"Yang kulihat kalau asistennya si bos datang untuk menaruh itu di sana," jawab Ketty. "Apa yang terjadi di antara kalian berdua?"

"Tidak ada. Tolong jangan bicarakan tentang dia," kataku memohon. 

"Maksudmu aku?"

Suara menyebalkan itu akhirnya muncul. Dia berdiri di sana, bersandar di pintu melipat kedua tangan di dada dengan wajah tak bersalah atas apa yang dilakukan kemarin. Entah ada urusan apa sampai si bos besar mau menyempatkan waktunya untuk datang ke ruang karyawan. 

"Aku ingin berbicara denganmu sebentar," pintanya. 

Ingin mengumpat kasar tapi tenagaku belum sepenuhnya terisi dan kini harus mengais sisa-sisa tenaga untuk bisa melawan Andre. Tak perlu menjawab ajakan lelaki berjas hitam itu, Aku memilih berjalan keluar ruangan, melempar tatapan sinis yang seakan muak. 

Di lorong yang sepi dengan dikelilingi dinding-dinding kaca yang memantulkan berkas-berkas sinar matahari serta gedung-gedung pencakar langit. Gumpalan awan putih menghiasi angkasa yang terlihat berbeda dari kemarin. Seolah mereka seperti mendukung Andre untuk tetap mendekati gadis yang dia bodohi. 

"Apa lagi yang akan kau katakan," ketusku melipat tangan di dada.

"Aku ingin kita kembali seperti sebelumnya," ucap lelaki itu penuh pengharapan. 

"Kita tidak pernah memulai, Mr. Jhonson, apa yang harus diulang lagi?"

"Kau dan aku ... aku senang kemarin malam--"

"Sampai kau mengatakan bahwa kau menganggap perubahan sikapmu karena kau mabuk. Kukira kau tulus!" seruku memotong kalimat Andre lantas meninggalkan dirinya.

"Lizzie, please!" Dia menahan lengan kiriku.

"Bisakah kau melepas tanganmu dariku?" ketusku

"Bukankah kemarin kau suka menggandeng tanganku?" balasnya membuatku bungkam seketika. "Mari kita kencan lagi."

Apa dia sudah gila? Dia tidak lebih dari penjilat kan?

"Kau kenapa? Kau tak merasa ingin pingsan sekarang, kan? Aku bisa menggendongmu seperti kemarin."

Melepas paksa genggamannya di tanganku lalu kuinjak kaki kanan dengan sepatu mengkilap nan mahal dengan heels cukup keras. Seketika Andre melotot, menggeram menahan teriakan untuk tidak membuat lorong kala ada beberapa orang melintas. Kali ini aku aku membisiki dirinya.

"Kau tak merasa ingin pingsan sekarang, kan? Aku bisa menyeret atau menggelindingkan tubuhmu dengan kakiku."


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro