Chapter 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"I need a love, but I can't find my heart" -Jacob Lee-

####

Gelora semangat di dada semakin berkobar bak bunga api yang meledak di tengah gelapnya malam, mengalahkan ratusan milyar pendar bintang. Seraya membusungkan diri begitu bangga kala tanda pengenal menggantung manis di leher. Jika aku bisa berdiri di puncak Empire States, mungkin kuberitahu ke setiap penjuru Amerika bahwa seorang Elizabeth Khan yang dulu lemah tak berdaya kini menjadi seorang karyawan di perusahaan impian. Sayang, jiwa introvert yang sudah melekat ini membekap dan memadamkan hasrat untuk melakukan hal gila itu.

Meski ada insiden 'hampir terlambat' karena semalam begadang menonton adaptasi novel Nicholas Sparks sampai hidung memerah. Padahal aku sudah menolak ajakan Emilia untuk tidak menonton film drama romantis yang mengharubiru. Tapi, dia membisiki bahwa ini menjadi yang terakhir sebelum disadarkan oleh dunia nyata bahwa pria romantis yang mau menitikkan air mata demi wanitanya adalah mustahil. 

Berjalan di atas stiletto hitam yang beradu dengan lantai marmer seperti menapaki seutas tali. Hati-hati dan jangan sampai terjatuh. Untuk seorang gadis yang jarang menggunakan hak tinggi nan tipis layaknya kumpulan pasta yang diikat karet adalah malapetaka. Jujur saja, selama di kampus, aku lebih suka menggunakan sepatu Vans atau flat shoes yang nyaman di kaki. Tapi, hal itu tidak berlaku saat kau menjadi seorang karyawan yang mengharuskan berpenampilan rapi dan sempurna.  

Pandanganku menyebar ke sekeliling, orang keluar-masuk terutama di lift seperti memaksa menjejalkan diri agar muat dalam kotak besi itu. Mendadak napasku terasa sesak jika membayangkan berdiri di sana apalagi sampai terimpit laki-laki.

Oh, Tidak! 

Tidak ada pilihan lain selain menanti lift berikutnya atau pilihan terburuk adalah menggunakan tangga darurat, sementara ruang kepala divisi yang perlu kutemui berada di lantai lima belas.

Ah, sialan!

Tanpa sadar aku menggigit kuku jari saat bergulat dengan sisi lain dalam diri yang tiba-tiba datang tanpa permisi. Selalu saja seperti ini setiap kali akan melakukan sesuatu. Padahal ritual pagi yang bisa kujalani sudah cukup kuat untuk menumbuhkan sisi positif seorang Elizabeth. Ekor mataku mengawasi sekitar dan mendapati laki-laki berjas abu-abu yang terlihat mahal berhenti dan menjabat tangan seorang perempuan dengan gulungan rambut yang tinggi. Mereka terlihat santai sedangkan tubuhku mendadak ngeri melihatnya. Bagaimana bisa mereka saling bersentuhan tanpa rasa takut? 

Aku harus ke toilet! Aku merasa ingin muntah melihatnya!

Tak sengaja, aku menabrak seseorang yang sedang membawa segelas kopi dan tumpah mengenai kemeja baru. Kemeja putih yang kucuci dan setrika penuh hati-hati dan berharap tak terkena noda sedikit pun. Aku menjerit tak rela bercampur kopi panas yang membelai kulit dada walau sudah dirangkap tank top. 

"Maafkan aku, Nona ... harusnya--"

Aku semakin panik karena menjadi atensi di hari pertama bahkan sebelum bekerja. Bergegas ke toilet namun Dewi Fortuna memang sedang menggoda kesabaran sampai tersandung kaki sendiri. Oke, aku malu, kesal, marah, ketakutan atas pikiran yang merusak mood yang sudah terbangun baik. Ingin mengutuk keras atas insiden kopi dan stiletto sialan ini tapi mereka tak akan bisa mengubah waktu yang sudah berlalu. 

"Apa kau baik-baik saja?" suara bass yang terdengar tegas bersamaan dengan uluran tangan yang dilingkari jam tangan keperakan nan berkilau.  

Aku mendongak melihat si empunya suara. Lelaki berambut cokelat tembaga yang begitu klimis dengan iris mata biru samudra terlihat bersalah, di tangan kirinya masih menggenggam gelas kopi, sedangkan tangan kanan masih setia menunggu seperti menyuruhku untuk menerima bantuan itu. 

Sekuat tenaga aku berdiri di atas stiletto sialan dengan lutut yang terasa nyut-nyutan. Tak perlu bantuannya jika dia sudah merusak baju baruku. Entah harus berkata apa kepada kepala divisiku nanti. Karyawan barunya ceroboh, terlambat, dan ...

"Kau tak apa? Kau pucat ... Ms. Khan," kata lelaki itu melirik sekilas tanda pengenalku.

Aku menggeleng lemah sambil tersenyum tipis terpaksa. Dadaku masih terasa penuh seperti seseorang berusaha meremukkannya dari dalam. Kurasa obat penenang dalam tas bisa meredakan rasa panik ini. "Terima kasih." 

Kutinggalkan lelaki pembawa bencana itu mengabaikan panggilannya. Toilet adalah tujuanku saat ini tuk membersihkan sisa kopi dan memastikan dadaku tidak ikut melepuh. Jika ada Emilia di sampingku, bisa dipastikan lelaki itu akan habis diomeli si wonder woman. 

"Kemejamu? Aku bisa menyuruh asistenku untuk membawanya ke binatu," tawar lelaki bermata biru mengekori jejakku. "Aku sungguh minta maaf."

"Tidak, terima kasih!" ketusku memasuki toilet wanita. 

Ah, Tuhan bisakah Engkau siram dia dengan kopi juga?

### 

Setelah berjuang menghapus noda kopi walau masih berjejak, akhirnya aku duduk di ruangan Mr. Lawren usai mendapat beberapa pertanyaan kenapa bisa terlambat menemuinya. Untungnya kepala divisi keuangan yang gagah itu tak berkomentar pedas. Ruangan yang digunakan oleh sekelas manajer ini cukup besar.

Catnya dominasi warna putih dan beberapa bingkai foto tergantung manis di sisi ruangan. Terdapat sofa berbentuk L berwarna lime terletak di sebelah kanan berserta meja kaca. Di sisi kiri ruangan, sebuah rak kayu bercat metalik untuk meletakkan buku- buku tebal yang terlihat terawat. 

Di bagian meja Mr. Lawren sama dengan pimpinan pada umumnya, terdapat tumpukan file di kanan dan cangkir putih dengan asap yang mengepul.  Aku yakin itu kopi dari aroma yang terendus di ruangan ini.  Di belakang kursi kantor yang diduduki Mr.  Lawren ada beberapa kaktus kecil diletakkan dekat jendela sebagai kesan sejuk serta background kota New York yang menawan.

Manajerku sendiri berperawakan tinggi tegap, berpotongan cepak, sedikit tumbuh kumis, memiliki iris mata biru gelap, dan kulit yang putih sedikit kemerahan seperti terbakar sinar matahari. Jika bisa kutebak, mungkin pria itu berumur sekitar 40 tahun atau mungkin lebih muda.

Dia mengajakku ke ruang kerja karyawan dan bertemu Ketty―staff administrasi keuangan― untuk menjelaskan lebih detail mengenai daftar apa yang harus dilakukan. Ruang kerja yang bersebelahan dengan ruang manajer ini terdiri dari enam meja dan terbagi dua di sisi. Nuansa ruangannya juga hampir sama degan ruangan lain, bedanya di sini memiliki dua mesin fotokopi besar yang terletak di ujung ruangan. 

"Kupikir sebaiknya kau ganti kemejamu, Elizabeth," saran Ketty menurunkan kacamatanya. "Hari pertama adalah hari penentuan kau dinilai baik atau tidak."

"Ah, ya, aku paham, Ketty. Tapi, aku--"

"Aku bisa telepon bagian binatu langgananku sementara kau mengenakan kemeja lain. Kita akan sibuk hari ini, Nona," selanya meyakinkan.

Mau tak mau aku menuruti ucapan Ketty, membeli sebuah kemeja secara online dan mengirimnya pada hari itu juga. Ah, belum apa-apa rasanya aku sudah dipojokkan oleh kesalahanku sendiri. 

Itu kesalahan si pria kopi, Lizzie! 

Sembari menunggu barang datang, Ketty memberiku tugas untuk menginput semua transaksi ke dalam program yang ada di komputer perusahaan. Ketika dia memberiku setumpuk kertas berisi segala jenis transaksi dengan kerlingan mata, maka dari sinilah aku tahu bahwa hari ini akan menjadi sangat panjang dan melelahkan. 

Oke, baiklah, seharusnya memasukkan data saja hal yang mudah, bukan?

Detik berikutnya telepon di depanku berdering dan terdengar suara sang manajer kala mengangkat panggilan itu. 

"Pergilah ke ruangan Mr. Jhonson di lantai tiga puluh. Dia memanggilmu," titah Mr.Lawren.

Aku terdiam sejenak, Mr.Jhonson? Siapa dia? Kenapa memanggilku? Kenapa tak meneleponku langsung? 

"Kau masih di sana Ms. Khan?" 

"Ah, ehm ... ya, Pak! Aku akan ke sana, terima kasih," ucapku lantas memutus sambungan telepon. "Ketty?" Aku memutar kepala saat melihat wanita itu sedang mengopi beberapa file.

Dia menoleh, "Ya? Ada apa?"

"Siapa itu Mr. Jhonson di lantai tiga puluh?" tanyaku yang justru menimbulkan reaksi hebat di wajah manis perempuan keturunan Afrika-Amerika itu. "Apakah ada yang salah?"

"Apa kau tidak tahu apa benar-benar sok polos? Bukankah sebelum masuk ke sini kau bertemu dengan beberapa petinggi perusahaan?"

Keningku mengerut cukup lama berusaha mengingat kembali siapa saja yang mewawancaraiku saat seleksi karyawan. Tidak ada yang nama belakangnya Jhonson, kalau pun ada harusnya dia datang bukan? Aku menggeleng lemah dan penasaran sehebat apa si Jhonson ini sampai Ketty berlebihan seperti itu. 

"Dia pimpinan tertinggi di sini, Elizabeth. Ayolah ... kau tidak mabuk kan saat memasukkan aplikasimu di Jhonson Corp?"

Mulutku menganga bak menyentuh lantai marmer yang bercumbu dengan mesin pendingin di musim panas. Ah, benar juga. Kenapa bisa lupa bahwa aku berada di perusahaan yang dimiliki oleh keluarga super kaya raya. Lantas, ada apa gerangan dia memanggil seorang karyawan baru yang terlambat menemui manajer pagi ini?

Atau Mr. Lawren telah mengadu kepadanya?

"Baiklah." Hanya itu respon yang bisa kuberikan kepada Ketty seraya beranjak dari kursi yang masih ingin menahan pantatku untuk berlama-lama menemui Mr. Jhonson. Bisakah aku menghindari pimpinan di atas pimpinan ini? Kenapa pula Mr. Lawren mengadu atas keterlambatanku? 

"Kenapa kau seperti orang linglung?" sindir Ketty. "Dia tidak akan memakanmu bulat-bulat. Tapi, aku ingatkan jika dia tipikal pria perfeksionis." Sorot mata lentik Ketty menunjuk ke arah bekas noda kopi yang masih bertengger di bajuku. 

Oke, mungkin aku segera didepak karena membuat dua kesalahan. Terlambat dan kemeja kotor. 

"Haruskah aku meminjam kemejamu sebentar?" pintaku penuh harap. "Kurasa kita memiliki ukuran baju sama."

Ketty tertawa menampakkan deretan gigi behel dengan karet pink yang kontras dengan kulit eksotisnya. "Bukan aku jika berbagi barang dengan orang lain, maafkan aku, Elizabeth."

Berbekal rasa pasrah, akhirnya memberanikan diri berjalan menemui pimpinanku di lantai tiga puluh setelah Ketty membisiki bahwa aku harus menebalkan telinga jika mendapat omelan. Kutarik napas panjang, setidaknya satu obat penenang di pagi hari tadi sudah bisa menetralkan rasa takut yang bisa berubah menjadi histeria.

Lift membawaku sampai ke lantai tiga puluh, mataku was-was mengamati angka demi angka hingga pintu besi itu terbuka. Suara ketukan stiletto kini bagai gema yang menggaung memenuhi koridor yang tampak sepi dan tak banyak lalu lalang orang. Inikah lantai VIP di mana ruang para pemimpin perusahaan berada? 

Tepat di depan pintu lift ada meja bertuliskan sekretaris dan perempuan berambut ikal dan bergincu merah bata sedang sibuk menelepon seseorang. Tatapan kami bertemu dan dia menyiratkanku untuk menunggu beberapa saat. Usai menutup panggilan itu, dia berkata, "Ms. Elizabeth Khan?"

Kuanggukkan kepala. Oke, obat penenang itu tidak menenangkanku sekarang. Aku merasa akan ditendang dari sini. 

Dia menekan tombol dan berbisik mungkin melaporkan kedatanganku kepada Mr. Jhonson. Tubuhku rasanya sudah separuh lumpuh kala si sekretaris menyilakanku masuk. Ingin kabur tapi kakiku bergerak dengan sendirinya mengekori perempuan berlekuk tubuh bak gitar itu. Ah, Sial!

Pintu bercat hitam metalik terbuka, menampilkan sosok lelaki tengah duduk di belakang meja kerja membelakangi garis matahari yang memaksa masuk melalui dinding kaca. Melihatnya duduk di sana dengan cahaya yang menyinari tubuh atletisnya seperti Tuhan baru saja menurunkan manusia kejam dari langit.

Dia melempar garis senyum tipis dan sorot mata penuh arti di balik iris biru yang terlihat menggelap itu. Di saat itulah seluruh ketakutanku semakin membekap kuat, mengingat pria berambut cokelat tembaga di sana adalah seseorang yang sama yang sudah membuat kekacauan di hari pertamaku. 

"Fuck!" desisku pelan. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro