Chapter 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"My first mistake was loving you."
-Brian McFadden-

Apa dia sedang mabuk?

"Kenapa kau diam saja, Ms. Khan?"

Bibirku masih terbungkam walau isi kepala saling melontarkan sumpah serapah. Bagaimana tidak, si pria kopi yang ternyata penguasa super perfeksionis ini adalah bos di atas bosku. Dan tadi pagi aku mendoakannya agar dia disiram kopi panas, sementara di atas meja terdapat sebuah bungkusan berisi kemeja baru sebagai tanda penyesalannya. Apakah aku perlu melakukan pengakuan ke pastor bahwa lidahku sudah merapal umpatan kepada lelaki ini.

"Apa Anda tidak mengomeliku karena terlambat menemui Mr. Lawren atau membalas kelakuanku pagi ini karena bersikap kasar dan tak sopan?" Hanya pertanyaan itu yang bisa meluncur setelah otakku saling kompak merangkai kata dan mengingat kembali perkataan Ketty. Mana ada bos yang tiba-tiba membelikan sebuah kemeja untuk karyawan baru yang sudah berlaku tak hormat padanya kecuali dia meminta imbalan.

Cih!

"Apa kau mengira atasanmu mengadu padaku?" tebak Mr. Jhonson menaikkan sebelah alisnya.

Ya! Tentu saja! Apalagi?

Dia terbahak-bahak seperti tak punya masalah, sementara aku merasa dipermainkan. Ketty salah persepsi tentang lelaki gila ini. Ketakutan yang menyelubungi hati berganti dengan kekesalan sampai ke ubun-ubun. Aku beranjak dari tempat duduk merasa waktu terbuang sia-sia di sini.

"Ms. Khan! Tunggu!" seru lelaki itu menghentikan langkah kakiku. "Bukankah tidak sopan jika kau pergi tanpa pamit dan menolak barang pemberianku? Aku hanya tidak suka melihat perempuan tak rapi di kantor."

Meremas tanganku kuat, menahan amarah untuk tidak mengutukinya lelaki tak tahu diri. Aku berpaling dan berkata, "Tapi, saya lebih dari mampu untuk membeli sebuah kemeja, Tuan. Jika Anda risi dengan penampilan saya, bukankah Anda juga harus mengoreksi siapa yang salah?"

"Maksudmu aku yang salah?" tunjuknya pada diri sendiri.

Aku tidak menjawab dan memilih berpamitan pergi secara benar 'menurut' versinya. "Permisi, saya harus kembali bekerja."

###

"Kau hebat dan gila!" puji Ketty saat mengetahui alasan bos besar memanggilku.

Tak menanggapi ucapan Ketty ketika jemari dan mataku masih sibuk memasukkan berbagai jenis transaksi untuk laporan akhir bulan di komputer. Ya Tuhan, jika dibandingkan dengan mengerjakan tugas akhir kampus rasanya tak jauh beda. Otot pundak dan leher rasanya sudah tegang dan butuh relaksasi, secangkir cokelat panas, serta lilin aroma terapi.

Ketty menarik kursinya lebih dekat denganku, menopang dagunya sambil tersenyum penuh arti. "Aku tidak pernah melihat bos besar seperti itu."

"Jangan mengada-ada, Ketty. Dia hanya merasa bersalah tapi merendahkanku seakan tidak bisa membeli kemeja lagi," sambarku meliriknya sekilas. "Apa kau tidak punya pekerjaan lain?"

"Pekerjaanku sudah kau tangani," candanya. "Aku hanya penasaran saja bagaimana bisa dia--"

"Jangan bicarakan itu lagi, please."

Gadis bergincu merah bata itu mundur melihat perubahan mood-ku. Lagi pula apa untungnya juga membahas satu topik yang ujung-ujungnya pasti mengarah 'dia pasti mengajakmu berkencan'.

Jangan harap!

"Maafkan aku, Ketty. Hanya saja ... untuk masalah bos dan siapa pun itu aku sedikit tidak tertarik," kataku untuk tidak membuatnya marah.

Ibu pernah bilang bahwa hidup harus seimbang walau kau adalah manusia paling individualistis. Meski tak punya banyak teman, setidaknya jangan pernah menambah musuh apalagi satu lingkungan. Oleh karena itu, aku mengalah atas ucapan yang mungkin tak enak didengar oleh Ketty. Jika sikapku di hari pertama buruk, pasti besok akan menjadi lebih buruk dan bisa saja ini awal bencana lain.

"Maksudmu kau tidak suka pria?" Ketty melontarkan pertanyaan lain seolah bisa membaca tulisan di dahiku 'Aku benci pria'.

Kuanggukkan kepala. "Itu hal yang rumit. Sudahlah, aku minta maaf dan harus menyelesaikan ini sebelum jam makan siang."

"Tidak masalah."

Memasuki akhir bulan Februari cuaca Manhattan sedikit mendung, mungkin musim panas sudah mengintip malu-malu padahal masih dua bulan lagi. Namun kali ini, berdasarkan berita cuaca di televisi hujan sepertinya akan turun mengingat gumpalan awan tebal nan gelap perlahan bergerak menutupi kota. Sembari mengaduk kopi untuk senior yang lembur, aku menatap dinding kaca tebal sambil bertanya-tanya apakah Emilia bisa menjemputku. Tapi, jika dipikir, rasanya pekerjaan dia lebih berat karena mesti mencari berita terkini di setiap sudut terpencil kota.

Aroma biji kopi ini mengingatkanku kepadanya, bagaimana dia terlihat bersikeras memberi kemeja baru. Aku menggeleng cepat, menepis bayangan wajahnya yang mulai menyelinap dalam pikiran. Selain itu, entah mengapa wajah si bos besar seperti tak asing. Mata sebiru samudra, bibir tipis merah delima, bintik kemerahan yang sedikit menghiasi pipi serta alis tebal seperti ...

Robert Pattinson!

"Jika Emilia di sini, dia pasti kegirangan bertemu si pria kopi," gumamku sambil terkikik lantas merogoh ponsel dari saku celana pipa.

To : Emilia

Aku baru ingat kalau bosku adalah imitasi Robert Pattinson. Harusnya kau bekerja di sini.

Tak lama temanku membalas dengan banyak emotikon hati. Aku terbahak-bahak, Emilia memang menggilai aktor pemeran Twilight itu dan apa pun film yang diperankan oleh si Pattinson, temanku akan menontonnya ratusan kali.

To : Elizabeth

Serius? Haruskah aku resign dan jadi sekretarisnya? Seberapa hot dia?

To : Emilia

1-10 akan kunilai 2. Dia menyebalkan.

Sebelum pesan teks makin panjang. Aku memberikan terlebih dahulu tiga cangkir kopi kepada senior. Mereka menerima dengan senang hati lalu menyuruhku untuk membantu selagi hujan tiba-tiba turun deras. Ketty juga termasuk yang belum pulang, hanya saja dia tidak seberapa menyukai kopi. Dia bilang kopi bisa membuat dadanya berdebar dan asam lambungnya naik. Mungkin karena efek kafein, pikirku.

Kami yang masih setia di kantor sibuk membuat rekapan bulanan. Ketty bilang Mr. Lawren akan membuat perencanaan keuangan selama enam bulan ke depan serta ingin mendiskusikan masalah kebutuhan perusahaan terutama di bagian perawatan dan pemasaran. Maklum saja, Jhonson Corp merupakan perusahaan besar di bidang software dan menjual berbagai macam alat elektronik. Mungkin yang diinginkan oleh Mr. Lawren adalah peningkatan perlindungan software yang membutuhkan biaya lebih banyak daripada sekadar menjual satu buah komputer.

Beberapa detik kemudian, ponselku bergetar dan memunculkan notifikasi dari nomor tak dikenal. Jika diingat, rasanya aku tidak pernah membagikan nomor pribadi kepada orang lain.

Sender: +1 2989xxx

Jangan pulang dulu, hujan masih lebat. Aku akan mengantarmu.

Mr. Jhonson

Dari mana dia tahu nomor ponselku? Apa dia penguntit?

"Kenapa, Elizabeth?" tanya Ketty menangkap gelagat wajahku yang tercengang seperti orang bodoh.

Aku tergagap, menyembunyikan isi pesan itu dari Ketty sebelum dia meledek habis-habisan. Mendadak jantungku berdebar tak karuan. Si Jhonson itu gila! Tidak cukupkah dia kutolak tadi pagi?

Detik berikutnya dia mengirim pesan kembali.

Sender: +1 2989xxx

Kenapa pesanku tak kau balas?

Sender : Elizabeth

Maaf, aku sedang menelepon kekasihku.

Bisakah aku menjuluki diri sebagai orang gila? Bisa-bisanya aku mengirim jawab yang sungguh tidak masuk akal. Kugelengkan kepala memantapkan hati bahwa berpura-pura memiliki kekasih cukup efektif untuk menjadi tameng bagi pria penggoda sepertinya.

Sender: +1 2989xxx

Oh, kau ada kencan? Dengan siapa?

"Apakah dia juga suka mencampuri urusan orang lain?" dengkusku membuat Ketty menatapku penuh tanda tanya. "Sorry. Kurasa aku harus pulang, Ketty."

"Baiklah, hati-hati. Jaga langkahmu, Nona."

Tak perlu menunggu waktu lebih lama lagi daripada bertemu dengan lelaki menyebalkan itu. Lalu dari mana juga dia mendapatkan nomor ponselku? Atau ... ah, karena dia bos besar yang bisa mengakses data pribadi karyawan? Sialan! Apakah dia menggunakan kekuasaannya untuk merayu perempuan?

Lift terbuka dan tubuhku rasanya ingin menghilang saat itu juga kala sosok tinggi dengan jas hitam yang masih terlihat rapi, berdiri seraya melambaikan sebelah tangannya.

"Pacarmu sudah datang?" tanyanya dengan penuh selidik. "Kenapa kau tak masuk? Kau takut padaku?"

Lebih tepatnya bagaimana dia tahu aku mau pulang. Mau tak mau, aku terpaksa menggunakan lift yang sama dengannya, berdiri memojokkan diri dan berpura-pura menganggapnya tidak ada di sini. Kutekan tombol lantai paling bawah dalam diam.

"Aku ingin melihat bagaimana wajah pacarmu, sehingga kau begitu mudahnya menolak atasanmu," kata Mr. Jhonson terdengar sombong, "apa dia lebih kaya dan tampan dariku?"

Bisakah aku memuntahkan isi lambungku ke wajahnya itu? Mendengar dia melontarkan kalimat dengan tingkat kepercayaan diri yang begitu tinggi membuatku tidak betah di dekatnya.

"Apakah Anda tidak terlalu jauh mengusik kehidupan orang lain?" ejekku tanpa menoleh ke arahnya.

"Aku suka mengusik kehidupan orang yang menolak kebaikanku. Aku tidak suka ditolak, Nona."

"Aku tidak suka orang lain ikut campur, Tuan."

"Benarkah?" Suaranya terdengar semakin menantang.

Kesabaranku sudah hilang, sambil melipat tangan di dada dan menatapnya sinis aku berkata, "Biar kuperjelas, Mr. Jhonson. Aku seorang lesbian jika kau ingin tahu orientasiku. Jadi, kalau kekasihku tahu kau menggangguku seperti ini, dia tidak segan-segan mematahkan adik kecilmu."

Kurasa Emilia justru akan bertekuk lutut kepada lelaki di sampingku ini daripada mengebirinya.

Lift berdenting, kutinggalkan lelaki itu dengan langkah cepat walau stiletto sialan ini menyiksa kaki seharian. Kuharap dengan dia mengetahui statusku sebagai penyuka sesama jenis 'walau berpura-pura' membuatnya menjauh. Sayang, tanganku tiba-tiba ditarik paksa dan dicengkeram kuat sampai aliran darah mendadak berhenti.

Akibatnya, seluruh sel saraf di tubuhku menimbulkan gejolak hebat dan bayangan masa lalu yang kelam mendadak datang. Tatapan Mr. Jhonson yang tadinya terlihat menyebalkan berganti menakutkan seperti ayah tiriku. Aku menjerit ketakutan, berusaha melepaskan diri berbarengan rasa sesak yang menyiksa dada. Dia melepaskan genggamannya, aku berlari sekuat tenaga sampai terjatuh.

Aku menjadi pusat perhatian lagi. Aku merasa cacat dan tak normal. Orang lain akan menganggap perlakuan itu hanyalah hal yang biasa, sementara aku ... aku tidak suka disentuh secara paksa dan tiba-tiba dengan tatapan penuh hasrat.

Air mataku mengucur deras sementara lututku nyeri. Aku berusaha berdiri tapi rasanya kakiku terkilir. Sialan! Persetan dengan bos itu!

"Ms. Khan ..." Mr. Jhonson berusaha membantu tapi kutepis tangannya.

Melepas sepatu sialan ini kemudian berdiri susah payah dan terpincang-pincang. "Tidak bisakah Anda tidak mengangguku?"

"Aku hanya--"

"Aku tidak suka ada orang lain menyentuh seperti ini, Tuan, please, jangan memaksa."

"Kenapa?"

Bibirku membisu, orang-orang masih melihatku dengan penuh tanda tanya. Aku menggeleng lemah sambil sesenggukan, melangkah cepat pergi dari hadapan si pria kopi. Rahasia terkelamku biarlah menjadi rahasia, tidak perlu orang lain tahu betapa hina diriku. Jikalau tahu, apakah semua akan sama?

Tidak bukan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro