Chapter 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"I pray for this heart to be unbroken."
–Backstreetboys-

"Dad?" panggilku ketika berada di sebuah ruangan serba putih nan silau sambil memicingkan mata. "Mom?"

Tak ada jawaban, pun tidak ada seorang pun yang muncul. Ruangan ini begitu sunyi, hanya tarikan napasku saja yang terdengar. Mendadak kepalaku dipenuhi sesuatu yang menakutkan. Bagaimana jika di dunia ini tinggallah  manusia kecil dengan ... Aku terkejut setengah mati menatap diri ini mengenakan setelan dress yang dibelikan ibu saat pertengahan musim panas. 

Untuk beberapa saat bibirku mengulum senyum. Ini adalah gaun favorit di antara puluhan baju di lemari. Gaun ungu dengan motif bunga yang mengingatkan hamparan bunga Lavender yang cantik. Ditambah kaus kaki berenda dengan sepatu putih yang dulu kupakai ke mana-mana. 

Aku mendongak di mana ada sebuah cermin besar. Kugoyangkan badan, berputar layaknya balerina yang diajarkan di sekolah. Rambut cokelat nan bergelombang dikepang dua sementara senyum tak hentinya mengembang walau gigi seri baru saja tanggal saat akhir musim dingin. Kemudian, sosok George muncul tersenyum di belakangku dengan bangga.  

Refleks memeluknya erat tuk melampiaskan segala rindu yang sudah terpendam lama. George dengan aroma tembakau yang selalu melekat adalah aroma yang selalu kukenang. Sayang, tiba-tiba semuanya berubah menjadi gelap dan seseorang menarik tubuhku paksa sampai ke sebuah ruang makan. 

Detik itu juga, biji mataku mencuat beriringan dengan gejolak perut yang teraduk-aduk. Dadaku berdebar kencang, tenggorokanku seperti dicekik oleh sesuatu yang tak kasat mata melihat seorang lelaki tengah duduk di samping anak perempuan sambil menatap penuh nafsu. 

Berusaha sekuat tenaga, kudekati anak perempuan itu dan berteriak padanya, "Kau harus pergi, Lizzie! Dia jahat! Kau harus pergi! Please! Lizzie, dengarkan aku!"

Lelaki itu berpaling ke arahku seolah hanya dia yang bisa mendengar teriakkan yang tidak bisa didengarkan oleh si Elizabeth kecil. Dia menyeringai, sorot matanya berkilat membuatku bergerak mundur. Dia menempelkan jari telunjuknya untuk menyuruhku diam sementara tangan lain digunakan untuk membelai paha sang anak tiri. 

Murka, kulempar dirinya dengan vas bunga dekat dengan barisan bingkai foto keluarga kami. Tapi, tubuhku kembali terisap dan berhenti di sebuah kamar di mana aku dijamah oleh lelaki itu. Dia mengancamku akan membunuh ibu jika tidak melayaninya. Tak sampai di situ juga, dia mengeluarkan pisau kecil dan menyayat lengan serta leherku sampai berdarah, mengisapnya seperti orang gila. 

"Lizzie! Lizzie! Bangunlah, Hei!" suara Emilia serta guncangan hebatnya di pundak berhasil membawaku kembali ke alam sadar. 

Untuk beberapa saat, aku hanya menatapnya panik serta menepis kasar kedua tangannya yang masih memegang bahu. Napas rasanya tersekat layaknya seseorang menyedot habis semua oksigen di paru-paru membuat otakku tidak bisa berpikir jernih. Tubuhku berkeringat walau mesin pendingin ruangan masih setia menyejukkan kamar di tengah cuaca panas kota. Aku terengah-engah seperti ikan kehabisan air, tapi aku butuh oksigen untuk menenangkan diri bahwa itu hanyalah mimpi buruk. 

Mimpi yang pernah kau lalui di masa lalu, Lizzie. 

"Kau kenapa?" tanya Emilia cemas. "Beberapa hari ini kau selalu berteriak dalam mimpimu, Lizzie. Apa ada masalah?"

Kugelengkan kepala cepat, lidahku kelu tidak bisa membalas pertanyaan Emilia sementara irama jantung masih enggan untuk berdetak normal. Walau sudah sadar pun, rasanya sentuhan terlarang itu masih terasa sampai ke pembuluh darah. Kupejamkan mata, menjambak rambut sendiri sampai akar rambut rasanya ditarik paksa. 

"Hei, hei ..." Emilia merenggut kedua tanganku, kami saling mengadu tenaga. Aku ingin menghilangkan delusi ini dari kepala tapi Emilia seolah tidak mengijinkannya. "Kau kenapa, Lizzie, hei!"

"Pergilah, Emilia!" bentakku padanya nyalang. 

Gadis itu menganga, tercengang bukan main. "Ada apa denganmu?" lirihnya masih tidak mau pergi. "Belum pernah aku melihatmu seperti ini, Elizabeth."

"Kau tidak mengerti, Em!" tegasku sampai urat nadi di leher menonjol. "Kumohon tinggalkan aku sendiri, oke! I'm fine!" 

Gadis bermata biru itu akhirnya pergi tanpa mengatakan apa pun. Tapi, dari ekspresi Emilia,  aku tahu dia mempunyai banyak pertanyaan. Terutama saat mimpi buruk ini terus berdatangan tanpa henti seolah ingin membunuhku pelan-pelan. Kuembuskan napas panjang berusaha menetralkan diri tapi tetap tak bisa. 

Lantas, aku bangkit dari kasur, menatap diri di cermin seraya membelai bekas luka yang dulu ditorehkan oleh lelaki bejat itu. Luka melintang di tulang selangka kiri yang pernah terinfeksi akibat sering disayat berulang kali. Bekas jahitan yang berubah menjadi keloid itu meninggalkan bekas yang menyimpan banyak rahasia kelam. Aku merintih sekaligus gemetaran setiap mengingat sentuhan terlarang yang mengoyak-ngoyak tubuh.

Cepat-cepat kuambil botol obat penenang yang kusembunyikan di lemari. Mengambil beberapa butir sekaligus dan menelannya dengan harapan bahwa obat itu bisa meredakan rasa panikku ini. Aku jatuh terduduk bagai orang tak waras. Seperti dulu. Menangisi diri sendiri dengan jutaan pertanyaan yang bermunculan di kepala. 

Kenapa mimpi itu muncul lagi setelah aku berhasil diterapi?

###

Sesuai dugaan, Emilia berangkat lebih awal ke stasiun TV tanpa meninggalkan memo. Dia merajuk. Aku paham dengan sikap kepo yang sudah mendarah daging di dalam seorang pencari berita sepertinya. Tapi, sebagai teman, bukankah tidak semua harus diberitahu? Apakah aku salah? Toh, kuyakin dia juga memiliki rahasia yang tidak pernah dibagi kepada orang lain. 

Sialnya, lingkaran hitam di mata terlihat menyeramkan akibat seminggu ini tidak tidur nyenyak. Walau sudah menutupnya dengan concelear, tetap saja wajahku menunjukkan rasa letih yang teramat dalam. 

Apakah aku perlu menemui dokter Margaretha lagi dan bilang kalau terapinya tidak berhasil? Atau aku minta saja dia menambahkan dosis di obatku?

"Kau bisa mati jika terlalu banyak obat, Elizabeth," gumamku di depan cermin. "Apa yang membuatmu bisa memimpikan hal..."

Tunggu!

Bukankah mimpi ini datang semenjak aku menegur si pria kopi? Sejak saat itu, aku lebih sering menghindar kala bertemu dengan petinggi perusahaan Jhonson Corp walau dia berusaha mendekat. Sampai kapan pun, aku tak akan memaafkan kelakuannya hari itu. Dia cukup keterlaluan sebagai lelaki yang memiliki jabatan sebagai penguasa. Bahkan masih terekam dalam benak betapa kuat dia mencengkeram tanganku dan sorot matanya itu.

Tapi, mungkinkah mimpi burukku dipicu oleh Mr. Jhonson? Bisa jadi kan? Bukankah ekspresi mukanya hampir sama dengan ayah tiriku saat itu?

"Oke, baiklah, kurasa mungkin ... aku harus menemui dokter Margaretha," ucapku memantapkan diri lalu meraih tas jinjing dan mengenakan sepatu dengan hak yang tidak menyeramkan layaknya stiletto. "Memikirkan dia bisa membuat malapetaka lebih banyak lagi."

Di ruang kerja semua terlihat sibuk, termasuk aku yang harus mengarsip seluruh dokumen transaksi jual-beli perusahaan. Tidak ada waktu untuk memikirkan diri sendiri hanya saja beberapa kali aku hampir kehilangan kendali setiap ada orang yang menepuk pundak tiba-tiba. Selain itu kabar menyebar begitu cepat, termasuk Ketty yang beberapa kali menegurku untuk bersikap sopan kepada atasan. Yang dia maksud adalah si bos besar setelah dia menaruh bungkusan di atas meja beberapa hari lalu. 

Secara terang-terangan aku menolak pemberian kemeja itu. Bahkan kemejaku yang terkena kopi pun sudah kucuci bersih. Aku tidak tahu apa motif Mr. Jhonson hingga begitu keras kepala. Tidakkah dia begitu naif? Apa dia juga memaksakan kehendak kepada karyawannya?

"Elizabeth, berikan ini kepada Mr. Lawren." Ketty memberikanku beberapa lembar file yang telah dicetak. "Grafiknya sudah kubuat tinggal dicek olehnya. Sekarang kau tahu kan kalau divisi kita adalah divisi neraka."

Lebih tepatnya perusahaan ini juga neraka. Gegara Mr. Jhonson aku mendapat mimpi buruk. 

"... dan apakah kau akan membiarkan begitu saja hadiah pemberian si bos?" lanjut Ketty menunjuk bungkusan dengan dagunya. "Dia single jika kau takut menerimanya."

"Aku tidak tertarik," tukasku tak suka. "Bukankah kau sudah mendengar desas-desus bahwa aku lesbian?"

Ketty terbahak-bahak, sementara kutinggalkan sebentar gadis itu ke ruangan Mr. Lawren. Saat memasuki ruang kerja ini entah mengapa atmosfernya mendadak berubah. Manajerku terlihat berkutat dengan beberapa kertas dan sesekali menggerutu bahkan tidak menyadari kedatangan karyawannya. Aku berdeham membuyarkan konsentrasi Mr. Lawren dan seketika dia mendongak dan berkata, 

"Kenapa bukan Ketty yang mengantarnya?"

"Mungkin karena aku junior di sini, Pak," jawabku polos.

"Baiklah, jika seperti itu, bisakah kau membawakanku secangkir kopi tanpa gula? Lalu, tolong kirim file-file ini ke email Mr. Jhonson," pinta Mr. Lawren menyerahkan sebuah flashdisk. 

Aku? Kenapa harus aku? Kenapa bukan dia?

"Bukankah ini tugas asisten manajer?" tolakku halus yang berhubungan dengan si pria pemaksa. 

"Kau tak mau? Karena dia memberimu--"

"Baik, Pak!" seruku buru-buru keluar dari ruangan yang bisa memojokkan harga diri. Kuyakin Mr. Lawren sudah mendengar kejadian minggu lalu yang benar-benar drama dan memalukan. 

Oke, baiklah, hanya mengirim email tanpa harus bertemu harusnya lebih mudah bukan. Hanya perlu menyusun kalimat seformal mungkin sebagai bawahan di antara semua karyawan. Tapi, nyatanya ekspektasiku selalu salah. Dia justru membalas email dengan rayuan yang semakin membuatku kesal. Ya Tuhan, bisakah Engkau melenyapkan bos genit seperti dia? Aku hanya ingin bekerja dengan tenang. 

Kuharap kau memakai kemeja pemberianku. Dan aku benar-benar minta maaf. Bisakah kita makan siang bersama hari ini?

"Wow!" Ketty tiba-tiba di belakangku membaca email balasan Mr. Jhonson. Cepat-cepat kututup email itu dengan debaran dada yang ingin mencuat ke luar dan menari pompom karena berhasil dirayu oleh seorang pria kopi. "Kau-sangat-keren-Elizabeth." Dia melayangkan tatapan penuh arti. 

Apa maksudnya itu? Jangan menatapku seolah aku adalah pelacur!

"Kau mau menggantikanku? Bisa kukatakan padanya," ketusku yang dibalas cubitan di lengan. 

"Kau ikuti saja alurnya, siapa tahu dia memang ..." Ketty memelankan suara di telingaku sambil mengerlingkan sebelah mata lentiknya. 

"Jangan harap!"

###

Jika biasanya aku akan menghabiskan waktu makan siang di kantin bersama Ketty. Kali ini, aku lebih suka menahan rasa lapar dan berkutat dengan pekerjaan. Selain kulihat terlalu banyak lelaki yang memenuhi setiap sudut tempat makan itu, Mr. Jhonson bolak-balik menerorku melalui pesan teks dan telepon. Entah apa motifnya dia begitu gigih mendekatiku. 

Apa karena kemeja itu? Apa karena kejadian minggu lalu?

Kuraih ponsel dan menelepon dokter Margaretha untuk menemuinya secara pribadi. Banyak hal yang ingin kutanyakan termasuk mimpi burukku. Detik berikutnya, suara pelan dokter yang merawat mentalku sejak usia delapan tahun terdengar. Buru-buru aku beranjak pergi ke ruang kecil yang digunakan untuk membuat secangkir kopi. 

"Halo, Dok. Apakah kau ada waktu minggu ini?"

"Ada apa, Lizzie?"

Beberapa saat rasa ragu memenuhi benak, antara menceritakannya melalui telepon atau bertemu langsung dengannya. Tapi, mimpi itu mempengaruhi kualitas tidur yang berdampak ke etos kerja. Aku tidak ingin efeknya lebih luas lagi, terutama pada perubahan mood yang tiba-tiba. 

"Sejujurnya, aku mengalami mimpi buruk yang berulang selama seminggu, Dok. Aku bingung ... maksudnya semenjak kerja di sini ... semua itu kembali."

"Oh, maafkan aku ... apa kau bisa tidur setelahnya?"

Aku menggeleng pelan. "Tidak. Aku sering mengalami migrain karena tidak bisa tidur nyenyak. Apa kau bisa memberiku resep obat dengan dosis tinggi?"

"Obat tidak selamanya membantumu, Lizzie. Kurasa kita perlu bertemu, aku bisa datang ke New York akhir pekan ini," usul dokter Margaretha. 

"Jangan, biarkan aku ke Florida, Dok, please!"

"Kau yakin? Apakah tidak terlalu jauh, Nak?"

"Tidak apa-apa, aku bisa sekalian pulang ke rumah," kataku. "Baiklah, aku harus kembali bekerja."

Setelah menutup telepon, aku hampir menjerit kala sosok tinggi dengan tatapan khas yang ingin mengorek sisi lain kehidupan seseorang tengah berdiri entah sejak kapan. Seketika itu juga aku tidak yakin apakah dia menguping pembicaraan kami? Bukankah sebagai bos besar, tidak seharusnya di sini?

"Kenapa kau memakai sweater di saat cuaca panas seperti ini? Lalu kenapa kau bermimpi buruk semenjak di sini? Itu bukan karena aku kan?"

Apakah dia memiliki kepekaan tinggi? Cukup bagus jika dia sadar. Aku tidak perlu menjelaskannya lagi. 

"Kenapa kau tidak membalas pesanku? Kau masih menghindar?"

"Tidakkah Anda terlalu banyak bertanya, Tuan?" sindirku. "Maaf, saya harus pergi."

Mr. Jhonson menghalangiku pergi, justru dia ikut masuk ke ruang kecil ini dan menutup pintu. Dia bersandar di pintu, melipat kedua tangan seraya menaikkan alis begitu menantang. Sementara aku sudah gemetaran, meremas pinggiran rok selutut. Aku melihat sekitar merasa tercekik bukan karena ruangan ini sempit melainkan kehadirannya yang mengintimidasi. 

"Mari kita lihat sejauh mana aku menjadi mimpi burukmu, Ms. Khan," desis Mr. Jhonson.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro