Chapter 23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kukira duduk menikmati sunset  di Brooklyn Park adalah akhir perjalananku bersama Andre. Terlebih dia menyatakan perasaannya lagi dan lagi. Nyatanya tidak, dia mengajakku tuk berkeliling di sepanjang Times Square bersama orang-orang yang memenuhi tempat populer ini. Setiap sudut tempat yag kupijak bercahayakan lampu neon dengan papan-papan iklan yang berukuran cukup besar untuk menarik perhatian. Andre menggenggam tangan kananku erat sambil sesekali menoleh dan melempar senyum manisnya. Entah sudah berapa kali lelaki itu tersipu-sipu seperti remaja padahal usianya sudah tak lagi muda. 

Ingatlah bahwa dia 14 tahun lebih tua, Lizzie!

"Jangan lepas tanganku, oke?" titahnya mengecup punggung tanganku. 

Sial! Apa aku bisa menahan pesonanya? Tuhan, aku harus bagaimana?

"Kita akan ke mana?" tanyaku lalu berpaling untuk menutupi debaran di dada. Kuharap dia tidak mendengarkan betapa keras degup jantung ini. 

"Broadway."

"Broadway?"ulangku antusias karena hanya tempat itu yang memiliki tempat pertunjukkan seperti drama musikal, drama romansa, dan komedi. Serta ada salah satu gedung bertuliskan museum Madame Tussauds. Ah, dari dulu aku ingin sekali ke sana bersama Emilia. Karena pekerjaan dan kesibukan Emilia yang tidak bisa diganggu gugat, rencana itu tetaplah rencana tanpa tahu kapan menjadi kenyataan. 

Dia melenggut melempar gelak tawa, sampai tak sengaja bahu kananku menabrak seseorang. Aku memutar kepala dan orang itu membalikkan badan seraya menyeringai seram ke arahku. Entah mengapa bentuk wajahnya mengingatkanku pada seseorang, tapi aku tidak yakin. Pria tinggi, kurus, dengan kulit pucat dan bibir tipis. Orang itu berpaling, menghilang di antara kerumunan tapi mendadak ada suara yang mendekat dan berbisik. 

"...i'll find you easily."

"You'll remember me."

Spontan saja, tubuhku terpaku di tempat. Ucapan itu ... rasa-rasanya aku pernah mendengar. Di rumah? Kantor? Ah! Rumah sakit, si petugas kebersihan itu! Aku memutar kepala lagi dengan wajah tegang, mungkinkah itu Billy yang katanya menjadi buronan kota? Apakah dia tahu bahwa aku di sini? Times Square? 

"Are you okay?"  Andre menepuk bahu sampai aku berjingkat kaget. Dia mengernyitkan alis lalu menatap lurus ke arah pandanganku tadi. "Apa yang kau lihat?"

"A-aku tak apa, Andre. A-Ayo."

"Kau yakin? Wajahmu pucat," selidik Andre. "Kalau kau tidak nyaman, kita bisa pulang sekarang, Ms. Khan."

Pulang? Dengan meninggalkan kesempatan yang datang sekali ini? Tapi ... aku ragu. Sementara orang itu ... apakah ini halusinasiku saja? 

"Hei, apa benar semua baik saja? Kau kelihatan begitu gelisah, Lizzie. Ingat yang kukatakan kan, kalau kau bisa menceritakannya padaku?"

Aku menganggut. "Aku ..." ucapanku hanya tertahan di kerongkongan saja, aku masih merasa tak yakin sementara hatiku berteriak bahwa orang tadi sangat mencurigakan. Bisa saja kan dia kembali dan menguntit? Bukankah kejadian ini sama halnya di rumah sakit?

"Aku ... merasa ada orang yang mengikuti diriku, Andre."

Kali ini raut wajah Andre mendadak cemas lalu mengedarkan pandangan waspada seraya mendekap tubuhku erat. Yang kudengar dari bibirnya kalau di tempat ramai seperti ini orang akan lebih mudah menyamar dan melakukan penyerangan. Sontak saja aku mendongak, merasakan dia juga gelisah sama sepertiku. Bisa kurasakan pula dentuman di dadanya berirama dengan milikku dengan embusan napas yang cepat. Dia menawari untuk mengakhiri perjalanan ini, tapi aku menolak.

"Mungkin itu hanya imajinasiku saja," ujarku mencoba menenangkannya juga menenangkan diri ini. "Hei, Mr. Jhonson. Aku akan baik-baik saja jika kau ada di sampingku, itu benar kan?"

"Tapi―"

"Sungguh, aku tak apa," potongku.

Bibirku menyunggingkan seulas senyum tipis memastikan si pria kopi tidak perlu merasa cemas seperti itu. Akhirnya garis bibir itu mengembang walau dipaksakan. Untuk berjaga-jaga, dia merengkuh tubuhku layaknya sebuah selimut yang bisa menghangatkan diri kala menyusuri jalanan W 42nd st Broadway. Banyak toko berjejer yang menawarkan potongan harga yang cukup gila padahal ini bukan high season liburan. Beberapa kali Andre menawariku untuk masuk ke sana, tapi aku tidak mau. Lalu dia pun berbisik kalau ada yang lebih baik daripada mengunjungi toko seraya mengeluarkan sesuatu dari balik saku jeans.

"Apa kau menyiapkan ini jauh-jauh hari?" tanyaku kala dia mengacungkan dua buah tiket American Airlines Theatre. Oke, aku setuju dengannya daripada berbelanja hal yang tidak penting lebih baik menonton pertunjukan drama. 

"Tentu saja, bukankah kita sedang kencan satu hari penuh?" godanya saat kami sampai di depan pintu masuk teater yang dimaksud. Wow, aku dan Emilia saja belum ke sini dan ... dia pasti iri kalau teman sekamarnya sudah datang bersama si bos besar. 

Kami menelusuk masuk lebih dalam area teater yang sudah dipenuhi banyak orang. Andre menarik lenganku menuju kursi yang berada di posisi tengah-tengah gedung ini. Posisi yang strategis, tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh.

"Ini pertunjukkan favoritku," bisiknya mendudukkan diri. "Kujamin pasti kau tertawa melihatnya."

"Jika tidak?" Aku duduk di samping kanannya, menaikkan alis. Menurutku Andre bukan tipikal orang yang bisa melucu, justru dia pandai membalas lawan bicaranya sampai ada rasa ingin mencakar wajah tampan itu. 

"Kubuat kau tertawa dengan caraku."

"How?"  Aku menelengkan kepala sambil bertanya-tanya membayangkan Andre akan bertingkah seperti Mr. Bean atau Charlie Chaplin. Ah, tetap saja, dia tidak cocok dan benar kata orang-orang, Andre lebih pantas menjadi seorang aktor daripada bos besar. Bibirnya luwes mengucapkan rayuan dan sarkasme dalam waktu bersamaan. 

Dalam sekejap dia mencium bibirku lagi, selalu melakukannya tanpa aba-aba. Walau hanya sekedar menyapa sebentar tapi rasa bibirnya tak bisa dilupakan begitu saja. Dia tertawa saat aku tersenyum malu hingga memilih menghadiahinya cubitan di lengan. Oh Ya Tuhan, aku tidak tahu berapa kali dia membuat jantung ini berdetak kencang hingga rasanya ingin meledak.

####

Otot perutku kaku!

Sialan! Andre tak hentinya bertingkah konyol dengan meniru salah satu pemain teater tanpa memedulikan orang-orang di sekeliling kami. Aku lelah tertawa sampai rasa lapar datang kembali. Dia menawariku untuk makan di restoran fast food tapi kutolak karena ingin merasakan street food di Broadway Bites yang menjajakan lebih banyak variasi menu. 

Tak sanggup menolak, Andre menyetujui begitu saja. Dan lihat saat kami sampai di deretan stan makanan yang menjual berbagai menu Asia dan Eropa, mata biru Andre membulat seperti anak yang menemukan taman bermain rahasia. Kami pun mengisi perut untuk ketiga kali, mungkin?Aku membeli makanan ala Korea seperti kimchi dan ayam pedas dengan bumbu gochujang yang tak terlalu berat di lambung tapi pedas di lidah, sementara Andre membeli biryani--makanan khas India yang terbuat dari nasi yang diberi bumbu rempah dan potongan daging kambing.

Puas makan di Broadway Bites, kami butuh makanan penutup yang manis dan segar. Akhirnya, Andre membeli dua ice cream cone ditaburi dengan meises yang dihias potongan biskuit cokelat serta saus stroberi. Sepertinya aku harus menimbang berat badanku nanti di apartemen setelah menelan begitu banyak kalori hari ini. Perutku mengembung seperti seorang permepuan yang hamil muda, bedanya di dalam perutku sudah terlalu banyak makanan yang ditimbun. 

Menyusuri jalanan Broadway 47th St untuk melihat pertunjukkan musik secara gratis sambil menjilati es krim. Sayup-sayup kudengar alunan musik seperti era 80-an yang membuatku ingin menggoyangkan badan. Apalagi liriknya sangat mewakili sosok Andre bahwa seorang pria kaya yang membeli cinta dari gadis hanya dengan uang dan hadiah, namun pria itu tak dapat memenangkan perhatian si gadis karena tidak ada yang berharga selain cinta yang tulus. Apa penyanyi itu sedang menyindir si pria kopi?

Money rains from sky above

But keep the change cause I've got enough

A little time and some tenderness

You'll never buy my love

No other thing that's as precious to

Than a heart that feels and a heart that's true

Something that you've got to know this girl (This girl by Kungs Vs Cookin On 3 Burners)

Lalu tiba-tiba beberapa orang melakukan gerakan shuffle dance entah itu dengan temannya atau dengan pasangan kekasih mereka sesuai dengan tempo musik yang semakin keras. Beberapa detik kemudian kulihat Andre mencoba tarian yang pernah populer di akhir 80-an itu dengan sangat lincah mengikuti irama. Aku terpukau bahwa dia bisa menari sangat kompak sambil menyanyikan liriknya kemudian menarik tangan kananku membuatku memutar tubuh.

"Take my hand to win over,"  kata Andre mendendangkan lagu sambil mengerlingkan mata. "Ayo cobalah, ini mudah." Dia menunjukkan gerakan kakinya yang luwes. 

"Aku tidak bisa," ucapku sambil tertawa lalu mencoba melakukan gerakan the running man--menggerakkan kaki kanan ke atas lalu menarik kaki kiri ke belakang--mengikuti Andre.

Dia bertepuk tangan sambil mengangguk-anggukan kepala. "Yeah, that's right baby,"pujinya.

Kami berpegangan tangan selanjutnya merentangkan tangan lalu menariknya lagi dan kembali merentangkan lagi dan menarik tubuh. Andre memeluk pinggangku sambil menempelkan dahinya ke dahiku hingga bisa merasakan embusan napasnya yang lembut menerpa wajah. Dia tersenyum tipis sambil melantunkan lirik lagu itu dengan suara lirih.

Dan seakan waktu berhenti berdetak, memberi ruang untuk kami menikmati atmosfer ini sambil tergelak dan menggesek-gesekkan hidung. Kemudian Andre terdiam mengunci diriku di iris manik mata dan perlahan-lahan dia memiringkan kepala lalu mengecup bibir pelan.

Memejamkan mata saat bibirnya membelai bibirku, mengirimkan jutaan rasa yang melumpuhkan seluruh tulang juga saraf tubuh. Dia menahan pinggangku agar tidak jatuh, sementara tangan kirinya memegang pipi. Dia memagut bibirku begitu lembut lalu menggigitnya perlahan. Entah setan mana yang merasuki kini, kulingkarkan kedua tangan di lehernya seolah menikmati ciumannya yang memabukkan. 

Dia berhasil meledakkan bunga api di hati atas semua sikap manisnya hari ini. Oke, aku tahu kadang dia menyebalkan tapi ... perempuan mana yang tidak akan luluh dengan lelaki sepertinya? 

"Would you be mine?" tanya Andre disela ciumannya.

Waktu berjalan kembali saat aku mendengar suara tepuk tangan meriah dari orang- orang di sekeliling kami. Aku salah tingkah bahkan rasanya ingin menghilang sekarang juga. Mereka semua melihat kami berdua berciuman begitu panas. Bukankah itu memalukan?

"Hei." Andre menarik daguku. "Aku jatuh cinta padamu, Ms. Khan."

Sebelum aku menjawab, pandanganku beralih pada seorang pria berjaket kulit berdiri cukup jauh di belakang Andre. Dia mengenakan topi bertuliskan New York sehingga tak bisa melihat wajahnya begitu jelas. Tapi, tarikan di bibirnya itu seolah mengejek ke arahku lalu perlahan kulihat dia mengacungkan pistol kecil berwarna hitam. Seperti diperintah, seketika aku memekik keras,

"Andre! Awas!" 

DORRRR!!!!

"Arrghhh!!!!"



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro