Chapter 26

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'Take everything from the inside and throw it all away cause I swear for the last time I won't trust myself woith you.'

–Linkin park-

Tungkaiku tak bertulang berbarengan dengan gedoran di depan pintu bak rentenir. Aku menggigil ketakutan sementara panggilan di telepon masih berlangsung. Udara di sekitar seketika langsung menipis bersamaan dengan denging di telinga yang menimbulkan nyeri hebat di kepala. Tenggorokan rasanya dicekik, mataku membelalak seperti orang yang terkena serangan asma. Suara napasku 'ngik-ngik' saat mendengar suara Billy memanggil namaku sebagai perempuan binal yang hanya bisa memuaskan dirinya.

"Aku tahu kau di dalam, Sayang!" Billy berteriak dengan suara berat lantas tertawa terbahak-bahak seolah ada sesuatu yang lucu di depannya. "Come on, Lizzie. Temui ayahmu ini, Nak!"

Kepalaku menggeleng keras. Bagaimana bisa dia menyematkan diri sebagai seorang ayah namun memperkosa anak tirinya sendiri? Belum lagi menebar isu bahwa aku gadis gila yang melukai diri sendiri hanya karena tidak ingin kehilangan dia. 

Gebrakan di pintu terhenti, tapi suara di telepon masih belum terputus. Walau tidak dalam mode loudspeaker, aku mendengar suara Billy berkata, 

"Kau tak akan bisa menangkapku sekali pun meminta Alexandre, Lizzie." Dia terkikik lalu mendesah seperti seseorang sedang membuatnya terangsang. "Oh, bagaimana kau terlihat makin cantik sekarang? Aku cemburu pada Alexandre. Dia pasti sudah menikmati tubuhmu kan?"

"Kau gila, Billy!" teriakku dengan derai air mata. "Kau gila!"

"Gila?" Billy tertawa sampai s uaranya melengking. "Kita sama-sama gila, Sayang. Dan ada yang lebih gila lagi, Lizzie. Kau bisa tanyakan kepada anak-anakku, Alexandre misalnya? Aku pergi dulu, Sayang. Pastikan di apartemenmu tidak ada orang agar aku bisa bercumbu denganmu seperti dulu."

Panggilan itu terputus begitu saja, seketika suasana di sini hening menyisakan suara mesin pendingin. Aku membungkam mulutku sendiri mendengar jelas pernyataan Billy tadi. Andre? Alexandre Jhonson si tuan kopi adalah anak Billy Jenkins? Jadi selama ini dia berbohong? Mendadak jantungku berdentum keras, pandangan mata ini tiba-tiba buram dan semuanya menggelap, denging di telinga makin mendesing hendak meledakkan kepala. Aku menjerit menyingkirkan firasat yang selama ini selalu menghardik tuk menyadarkanku bahwa dia melakukan ini semua ada maksudnya. 

Benar saja kalau dia meminta orang suruhannya menyelidiki Emilia, mungkinkah lelaki bajingan itu berusaha menutupi kebejatan Billy? Di sisi lain, teringat pula percakapan kami di rumahnya yang mengatakan jika aku tak akan mudah menerima Andre setelah rahasia terbesar terkuak. Sungguh, kenyataan bahwa dia adalah anak lelaki Billy Jenkis menyayat hatiku sampai ke bagian terdalam dengan pisau tajam yang dipanaskan di atas bara api. 

Detik berikutnya, aku mendengar suara kombinasi sandi di balik pintu itu berbunyi. Buru-buru berdiri tuk mengambil pisau dapur, berjaga-jaga kalau Billy berhasil membobol masuk. Kuacungkan benda tajam itu tanpa rasa takut walau kaki ini masih tak bisa menahan beban tubuh. Kemudian, sosok Andre muncul dengan wajah memerah dan rambut berantakan. Langkah kakinya terhenti dengan tarikan dada naik-turun melihat pisau yang kupegang dan berkata, 

"Letakkan pisau itu, Elizabeth."

"Kau ... kau ..." suaraku gemetaran tidak sanggup menghadapi lelaki di depanku ini.

"Aku sudah bilang--"

"Kau anak Billy Jenkis!" teriakku menggema apartemen. "Bajingan! Dasar iblis! Kau ..." 

Lelaki itu bergeming di sana dengan mulut menganga kemudian mengetatkan rahang. Bisa kulihat kedua tangannya mengepal kuat, dia berjalan mendekat tanpa gentar kalau tanganku bisa menusuk dirinya dengan pisau. Sayangnya, ekspresi dan tatapan mata itu berubah menjadi sangat menakutkan hingga tanganku tak mampu membawa sebilah pisau dapur dan akhirnya jatuh ke lantai. Andre mendorong dan menerkam mulutku dengan mulutnya, aku memberontak kuat tapi dia tidak memberiku ruang sedikit pun. 

Tangan kanannya mencengkeram wajahku kuat dan berbisik, "Kau pikir kau siapa? Kenapa dia bisa menikmati tubuhmu sedangkan aku tidak?"

What?

Benarkah dia Alexandre Jhonson yang kukenal sebagai lelaki yang mau mempertaruhkan nyawanya demi aku? Benarkah dia lelaki yang kemarin begitu frustrasi karena serangan teror itu? Kenapa sekarang dia seperti kerasukan setan sampai aku tidak mengenali cara pandangnya padaku? Aku tidak dapat bergerak, tanganku dia pegang kuat sambil mati rasa sementara satu kakinya berada di antara kakiku. 

"Lepaskan aku bajingan!"

"Bajingan?" Dia mengulang kalimat itu seraya memicingkan mata lalu menyeringai dengan pandangan berkilat dan makin menggelap. "Mari kita lihat, siapa yang bajingan, Ms. Khan."

Dia membawa tubuhku di atas pundaknya, menelusuk masuk ke dalam kamarku tanpa permisi dan menguncinya rapat. Andre membanting tubuh ini ke kasur, sementara aku berusaha melarikan diri tahu ke mana arah tindakannya nanti. Sayang, dia mengungkung tubuhku di bawahnya  dan menarik kedua tangan ke atas kepala sembari mengeluarkan sebuah tali dari balik saku celana jeans yang dikenakan. Mataku membeliak, aku memohon padanya sambil menangis tapi tidak dihiraukan sampai dia berhasil mengikat tanganku di atas kepala kasur. 

Bibirnya kembali menyapa, menjamah tanpa ampun dengan kedua tangannya bergerilya ke setiap inci kulitku. Menyingkap kaus dan menunduk kembali meninggalkan banyak jejak di sana. Aku menahan napas kala dia berhasil membuka pintu pertahananku di sana, mengobrak-abrik apa yang selama ini aku jaga setelah kejadian empat belas tahun lalu. Menghancurkan harga diri seolah tubuh ini sudah tidak berguna di matanya serta semua janji-janji itu hanyalah mimpi belaka. 

"Kau menikmatinya?" suara Andre serak, membelai tubuh bawahku menciptakan gelenyar di antara rasa takut dan kenikmatan yang berbaur menjadi satu. "Kau menikmatinya tapi mulut angkuhmu selalu mengatakan tidak, Lizzie! Tubuhmu tidak bisa berbohong!"

Refleks aku meludahi wajahnya. "Bajingan!" 

Garis bibir itu merapat, Andre murka dan seketika membalikkan tubuhku hingga membelakanginya dan menurunkan celanaku paksa. Detik berikutnya, aku menerima serangan bertubi-tubi tanpa jeda, umpatan dalam kamar berganti dengan suara desau yang saling meneriakkan nama. Suara mesin pendingin terkalahkan dengan makian dan erangan. Suhu dingin yang seharusnya menetralkan ketegangan juga tak mampu mendinginkan emosinya sampai dia ambruk setelah melepaskan amarahnya padaku, mengirimkan sesuatu di dalam tubuh lantas mengembalikan posisiku tuk menghadapnya. 

Buru-buru Andre melepaskan ikatan itu dan berikutnya aku menampar keras wajahnya. Nyeri di pangkal pahaku tak seberapa sakit dibanding harga diri yang sudah dia injak-injak telah melakukan hal tak senonoh tanpa permisi. Dia mematung, menerima tamparan demi tamparan seolah setelah pelepasan itu dia kembali menjadi dirinya yang dulu. Si pria kopi. 

Aku mendorong tubuhnya hingga berguling di samping kanan, merapikan kembali pakaianku sambil sesenggukan. 

"Pergi..." usirku dengan rasa kecewa. 

"Lizzie ... aku ..."

"Pergi Andre!" jeritku menatap matanya. "Kau memperkosaku! Kau menodaiku! Kau ... kau ... menghancurkan kepercayaanku, Andre..."

Lelaki itu bangkit, berusaha mendekat tapi aku bergerak mundur seraya merangkul tubuh yang sudah disentuhnya. Badanku gemetaran, aku butuh obat penenang atau ... mungkin hidup ini sudah tidak ada gunanya lagi ketika mereka tidak menghargai masa lalu justru menorehkan luka baru di atas luka lama yang tak sembuh. Pedih. Aku bersumpah bahwa cukup sekali ini saja aku menginjakkan kaki di Manhattan!

Dia pun pergi tanpa berkata sepatah kata setelah menaikkan ritsleting celana, menutup pintu kamarku dengan langkah terseret seperti pejuang yang baru kalah di medan perang. Saat pintu utama benar-benar tertutup dan dia benar-benar hilang, tubuhku ambruk ke lantai. Aku menangis, menjerit, dan membenturkan kepala ke pintu lemari seraya merutuki diri kenapa harus ada kesialan seperti ini terjadi. 

Apa yang membuat Andre sampai tega melanggar ucapannya sendiri? Salah apa aku padanya sampai dia datang hanya untuk menggauliku?

Dengan sisa-sisa tenaga, kukeluarkan koper dari bawah kasur lalu mengemas pakaian-pakaianku. Aku akan pulang ke rumah dan tidak akan pernah kembali ke sini. Sudah cukup apa yang terjadi hari ini. Persetan dengan pekerjaan! Persetan dengan Andre! Tidak ada lelaki yang bisa dipercaya di dunia ini. 

Tuhan, bisakah Engkau cabut saja nyawaku daripada harus menderita seperti ini? Aku sudah tidak tahan, Tuhan. Kenapa mereka hanya ingin tubuh ini. Aku sudah rusak, Tuhan, mengapa Engkau tak kembalikan aku pada surga-Mu?

Menggeret koper keluar kamar dengan langkah gontai, pikiranku sudah tidak bisa jernih, bahkan tubuh ini rasanya sudah tidak berpijak pada bumi. Nyeri di antara pahaku masih belum hilang, tapi sakit di dada makin menjadi-jadi sampai kupukul dengan kepalan tangan berharap bongkahan batu besar yang ada di dalam keluar. 

Menaruh secarik kertas di atas meja ruang tamu, aku meninggalkan apartemen sembari mencari-cari secuil harga diri yang bisa kubawa sampai rumah. Manhattan dan segala kenangannya ... kota ini tidak lebih dari gundukan garam raksasa yang selalu membuat lukaku tak pernah sembuh. Kukira dengan berada di sini, kehidupan yang kuimpikan akan terwujud. Kukira cinta yang coba Andre tunjukan adalah sesuatu yang tulus tanpa mengharapkan pamrih, nyatanya ...

Aku mendongakkan kepala, menahan bulir air mata yang tidak ada habisnya terus berjatuhan. Seraya menutup pintu utama apartemen, bibirku tersenyum nanar berharap Emilia tidak perlu khawatir akan kepergianku sekarang. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro