Chapter 27

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'Hearts will break cause I made a stupid mistake. It can happen to anyone of us, say you will forgive me.'

– Gareth Gates-

Menggunakan rute pesawat tercepat yang membawaku dari New York ke Jacksonville--Florida memakan waktu hampir empat jam, dilanjut perjalanan dengan mobil selama kurang lebih enam jam. Selama itu pula air mataku masih tidak bisa berhenti mengalir sampai sembab seperti disengat lebah. Karena tak ingin menjadi perhatian publik, kacamata hitam dan maskerlah menjadi penyelamat walau saat pramugari menawari makanan, suaraku terdengar sangat serak. 

Melalui perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan, belum lagi harus pindah dari bus Greyhound ke taksi untuk bisa sampai di rumah yang terletak di distrik Kershaw. Penampakan bangunan itu tak banyak berubah semenjak aku kuliah empat tahun lalu, hanya saja pohon rindang yang menaungi halaman makin terasa sejuk. Pintu bercat hitam dengan dinding bata kecokelatan juga tak usang dimakan usia walau rumah yang kami tinggali adalah rumah tua. 

Keluar dari taksi, kulepas masker yang menutupi separuh wajah, menarik dalam-dalam udara panas sembari merasakan angin berhembus menggoyangkan dedaunan dan menyentuh kulit. Aku berjalan tertatih-tatih sampai di depan pintu dan mengetuknya pelan. Tak lama, pintu itu terbuka menampilkan sosok ibuku yang terkejut bukan main melihat kemunculan putrinya secara mendadak. Seketika itu pula, kurengkuh tubuh kurusnya dan tangisku kembali pecah. 

"Demi Tuhan, apa yang terjadi padamu, Lizzie? Kenapa tidak menelepon?"

Aku terdiam tidak bisa mengatakan apa-apa lagi kecuali isak tangis. Ibu menangkup wajahku, mencari-cari sesuatu yang sedang disembunyikan putrinya dibalik wajah menyedihkan ini. Aku berpaling, tak sanggup membalas tatapan iba darinya. Dia mendekapku lagi, mengelus punggungku seraya berbisik bahwa semuanya akan baik-baik saja. Oh, ibu ... hanya kau yang selalu tahu apa yang kupikirkan walau lidah ini tak bisa berucap. 

Hampir tiga hari aku tidak bisa tidur akibat setiap kali memejamkan mata bayangan wajah Andre dan suara Billy selalu menghantui. Selama itu pula, aku hanya mengurung diri di kamar sampai ibu memohon untuk bercerita apa yang terjadi sehingga anaknya kembali ke Jacksonville. Apalagi tidak ada satu makanan atau minuman pun yang masuk ke dalam mulut, menambah gelisah perempuan paruh baya itu. Bukannya tak mau, hanya saja aku merasa hidupku sudah tidak ada artinya lagi. 

Tubuh ini ... tangan ini ... semuanya sudah kotor dan dijamah oleh dua lelaki yang dulu kupercaya tapi malah berkhianat. Billy ... Andre ... ayah dan anak itu tidak jauh beda dan makin lama mirip dengan iblis yang siap menarik paksa manusia ke dalam neraka dengan segala buaiannya. Ah, mengingat malam itu, tubuhku kembali menggigil ketakutan. Bongkahan besar di paru-paruku seakan menyiksa hingga rasa sesak itu datang lagi sampai mata berkunang-kunang. 

"Mari kita lihat siapa yang lebih bajingan."

Ucapan Andre dan kalimat tak senonoh yang dilontarkan padaku malam itu kembali menyayat hati. Luka dalam dadaku tak akan bisa sembuh bahkan puluhan tahun akan berlalu. Bodohnya lagi kenapa harus terlena dalam semua bualan dan pesona si pria kopi. Pada akhirnya, dia tidak lebih bangsat dari ayahnya yang sudah menodai perempuan bak binatang.

Melirik ke arah jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi ketika sinar rembulan masih saja memantulkan cahaya. Kepalaku sangat pusing seperti ada seseorang yang memukul dengan palu dari belakang. Dari pantulan kaca jendela, samar-samar penampilanku benar-benar berantakan. Mata yang menyiratkan kelelahan dan kekecewaan, hidung memerah setelah berhari-hari menangis, dan tidak ada cahaya yang keluar seperti nenek sihir menyerap semua aura dalam tubuh. 

Aku berbalik, membaringkan diri di atas kasur lalu menatap langit-langit kamar lalu bangkit dan menjauhi kasur karena kilasan Andre menyetubuhiku datang. Akhirnya aku mendudukkan diri di atas lantai, merangkul kedua lutut sambil terisak dan membenturkan kepala ke dinding. Tuhan, tak bisakah Engkau menghapus ingatan buruk ini? Aku hanya minta kenangan buruk bersama Andre dan Billy hilang Tuhan, aku tidak meminta banyak. 

Apakah Tuhan akan mendengarkanku di atas sana? Apakah dia mau mendengarkan hamba-Nya yang sudah tak suci lagi? Walau aku bukanlah manusia taat, tapi aku berusaha menjadi manusia baik yang tidak pernah menyakiti orang lain. Apakah ini saja cukup? Tuhan ... apakah Engkau sedang menghukumku karena jarang menemuimu di gereja? Apa kau sedang memberiku teguran sekeras ini karena hamba-Mu ini manusia egois?

Semakin deras air mata ini, maka semakin pedih luka berserta kenangan bersama Andre. Jika pertemuan kami pada akhirnya membuatku kembali menderita harusnya aku tidak pernah menaruh harapan pada tempat itu. Bahkan ... tidak seharusnya aku jatuh hati padanya.

Kuatur napas yang terasa penuh lalu meraih bungkusan plastik berisi satu tablet obat yang diletakkan Ibu sejak sore kemarin dan menelannya. Obat penenang yang diberi dokter Margaretha setelah kemarin aku sempat diserang panic attack dan mengiris pergelangan nadi dengan pecahan gelas. Untungnya, William yang sedang libur kerja di salah satu rumah sakit yang berjarak dua puluh menit dari rumah, memberiku pertolongan pertama. Setidaknya ibu tak perlu membawa anaknya ke rumah sakit selama memiliki suami seorang perawat kamar operasi. 

"Daddy ... aku ingin bertemu denganmu, Dad," lirihku. "Aku ingin bertemu denganmu dan mengakhiri hidup ini, Dad. Aku lelah ...sungguh lelah..."

###

Mataku terbuka saat jejak-jejak matahari yang mungkin sudah meninggi di angkasa memaksaku bangun. Sekujur badan rasanya sakit sekali terutama di kedua pundak disertai pening. Ah, memang benar ada beban besar yang sedang dipikul sampai-sampai otot bahuku tegang. Sepertinya berendam air hangat dikelilingi aroma terapi adalah pilihan terbaik. Mendadak aku bangkit tersadar kalau semalam aku tertidur di lantai dan sekarang berada di atas kasur. 

Kepalaku berpaling ke arah sepiring sandwich dan segelas air putih serta beberapa butir obat berwarna putih dan kuning tersedia di atas nakas. Mungkin ibu yang dibantu William memindahkan tubuh lemah ini. Aroma bacon dan keju yang meleleh itu sungguh menggoda selera, perutku mengatakan hal yang sama dan memprotes kalau aku masih keras kepala maka kami akan mati nanti sore. 

Akhirnya, kupilih air putih dan tablet itu, seenak apa pun roti panggang buatan ibu, lidahku masih enggan untuk mengunyah. Aku mendongak tuk melihat jam, jarum jam yang masih setia berdetak di atas sana menunjukkan pukul sembilan pagi. 

Sebuah ketukan di balik pintu terdengar dan terbuka menampilkan sosok perempuan yang sudah merawat mentalku semenjak kecil. Dokter Margaretha berdiri di sana dan bertanya, "Apakah aku boleh masuk?"

Menganggukkan kepala lemah kemudian menatap lurus ke arah luar jendela. Cuaca sepertinya lebih cerah daripada kemarin, aku jadi merindukan kapan musim gugur akan datang. Aku rindu saat embusan angin yang mulai dingin menusuk tulang membelai kulit dan melihat taburan daun-daun merah kecokelatan yang berguguran dan menutupi jalanan. Pepohonan akan tampak gundul, bersiap-siap hibernasi menyambut musim dingin dan akan kembali memekarkan bunga-bunganya tahun depan. 

"Bagaimana perasaanmu, Lizzie?" suara dokter Margaretha berada di sisi kiri mengikuti arah pandangku, menunggu jawaban yang meluncur setelah berhari-hari bungkam kepada semua orang. "Sebenarnya apa yang terjadi?"

Aku masih bergeming, sibuk dengan isi kepalaku sendiri. Suara-suara dalam kepalaku langsung bermunculan dan bersahutan tapi aku sudah tidak memiliki tenaga untuk memedulikan mereka. 

"Hampir lima hari kau tidak berbicara padaku atau kepada Ibumu, Nak. Kami resah dengan apa yang menimpa dirimu sekarang," sambung dokter itu ingin menyentuh rambutku tapi urung dilakukannya sampai aku mengizinkan dia. 

"Kau pasti tidak teratur makan, Lizzie. Lihat dirimu begitu kurus sekali," katanya lagi, "kami tidak mau kau sakit, Sayang."

Aku menggeleng lemah mengisyaratkan bahwa aku baik-baik saja walau tanpa makanan meskipun ... asam lambungku sudah merangkak sejak kemarin. Di sisi lain, aku ingin tahu apakah dengan cara ini aku bisa menjemput George di sana dunia sudah tidak bisa memihak padaku lagi.

"Elizabeth ... hidup itu tidak selamanya berada di atas dan tak selamanya berada di bawah, Nak. Aku tahu mungkin ini titik terendah dalam hidupmu tapi ingatlah bahwa Ibu dan Ayahmu tidak menginginkan putri kesayangannya seperti ini," ujar sang dokter begitu keibuan. Dia memang seperti itu dan menganggapku sebagai putrinya sendiri. "Jika kau memiliki masalah, keluarkan apa yang ingin kau katakan pada kami, Sayang. Kami akan membantumu, kami tak kan marah."

Bibirku masih saja bungkam walau otak ini berusaha merangkai sebuah cerita panjang tentang malam itu, tentang teror Billy, dan betapa hancurnya aku sekarang. Tapi ... apakah dengan membagi kisah menyedihkan ini, Andre bisa mengembalikan harga diri dan perasaanku yang telah dihancurkannya? Aku tidak yakin. Dia adalah pembual ulung yang bisa menebar sejuta pesona kepada wanita. Entah wanita mana lagi yang sekarang dia pancing sampai bisa memuaskan hasratnya itu. 

"Jika kau sudah siap menceritakannya, aku akan kembali, oke," putus dokter Margaretha lalu pergi meninggalkan diriku.

Aku hanya bisa mengangguk bagai orang tak punya tujuan hidup tanpa memandang kembali dokter yang dengan sukarela membagi waktunya datang ke sini. Aku membalikkan badan saat dokter Margaretha berada di ujung pintu dan berkata lirih dengan getir, 

"I'm so tired, Doctor. I just wanna die right now."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro