Chapter 29

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'Without you this is me tonight. There's no more games and no more lies.'

-AJ Rafael-

Dia masih di dalam sana, terbaring dalam buaian dengan nyanyian surga yang dilantunkan Tuhan untuk orang-orang baik sepertinya. Terbujur bersama kenangan-kenangan indah yang dibawa namun tak dapat dilupakan. Kata orang, Tuhan memanggil manusia-manusia terbaik untuk kembali pada-Nya daripada terlalu lama berurusan dengan dunia yang penuh dengan orang-orang serakah. Lantas, apakah aku termasuk orang serakah itu? Selalu berharap pada-Nya sebuah keinginan besar untuk hidup bahagia lantas Dia bosan mendengar keluhanku?

Di bawah jejak jingga dengan angin sepoi-sepoi yang menerpa rambut dan membelai kulit, aku meletakkan dua buket bunga mawar merah di depan batu nisan bertuliskan George R. Khan dengan derai air mata. Mungkin kau akan lelah menghitung berapa banyak tangisan yang sudah keluar tapi ... hanya ini yang bisa kulakukan untuk meluapkan kerinduan yang terpendam selama bertahun-tahun sejak kepergiannya. Ibu memeluk dan mengelus lengan kiriku sambil berbisik bahwa George--suami sekaligus ayah tercinta kami akan bersedih jikalau kami berdua masih menangisi kepergiannya yang sudah berlalu. 

"Aku merindukanmu," ucapku getir. "Tidak ada hari dalam hidupku bisa melupakan Ayah. Aku ... sangat letih atas semua masalah yang terjadi tanpa henti. Kadang ..." 

Ucapanku berhenti begitu saja bersama desiran angin yang kembali datang saat potongan mimpi semalam kembali hadir. Senyum manis George yang berubah menjadi guratan khawatir di wajah tampannya saat aku berteriak dan mengadu bak anak kecil yang terjatuh dari sepeda. Aku mendongak, tertawa sumbang saat ibu ikut bergumam menumpahkan betapa pedih hatinya kehilangan lelaki terbaik di dunia meski memiliki William. 

"Hidup tidak akan selamanya berada di atas, Lizzie," kata ibu menghapus jejak kristal bening dengan kedua punggung tangan. "Ada kalanya kita harus benar-benar merasakan sakit sampai mati rasa sebelum mendapatkan kebahagiaan luar biasa."

Aku berpaling dengan kerutan kening memandang wajah ibu tak setuju. Di mana kebahagiaan itu? Kenapa dia sangat sulit untuk diraih? Sampai mati rasa? Tidak semua orang akan tahan dengan cobaan yang menghajar mental dan fisik secara bersamaan. Ah, mungkin dia tidak bisa merasakan apa yang kurasakan sebagai korban pemerkosaan dan kekerasan fisik oleh mantan suami keduanya itu. Dia tidak tahu kalau anaknya ini tidak pernah hidup tenang selama bertahun-tahun dan rasa gelisah bercampur ketakutan makin membekap saat Billy datang menyelinap di kota. 

"Maaf, Ibu memang tidak tahu apa yang kau rasakan selama ini," lanjutnya lagi menatap wajahku. Ada rasa bersalah dan penyesalan terdalam tersirat dari sorot mata yang semakin ditelan usia. "Ibu hanya ingin kau bahagia, Lizzie, tidak lebih. Ibu ingin kau hidup sesuai yang kau impikan, menemukan lelaki yang mencintaimu, dan--"

"Jangan bicarakan cinta, Bu, aku sudah tidak percaya!" sergahku dengan nada tinggi. 

Jika bukan di depan makam George, mungkin saja aku sudah membentaknya karena menyinggung tentang sesuatu yang sudah membuka paksa luka dalam hati. Mungkin luka itu akan sembuh lagi seiring berjalannya waktu, tapi kepercayaan? Menyebut kata itu saja mengingatkanku pada Andre yang dulu pernah berkoar-koar untuk membangun sebuah kepercayaan untukku. Nyatanya, dia tidak lebih dari seorang pembual bermulut manis. 

Kami terdiam cukup lama, tenggelam dalam pikiran masing-masing sampai akhirnya sebuah dering ponsel membuyarkannya. Buru-buru ibuku merogoh benda kotak itu dari dalam tas jinjing, menatapku sebentar lantas berjalan menjauh sambil menjawab panggilan. 

Aku memutar kepala mengamati punggung ibu dengan jutaan pertanyaan kenapa harus berbisik-bisik seperti ada rahasia besar yang sedang disembunyikan oleh perempuan itu. Beberapa menit, dia kembali dan berkata, 

"Kita harus pulang." 

"Pulanglah, aku masih ingin di sini, Bu," tolakku tanpa menatapnya. 

"Hari semakin gelap, Lizzie, kita sudah berada di sini cukup lama," kata ibu dengan sedikit memaksa. 

"Tidak sebanding dengan Ayah yang berada di dalam tanah! Tertidur tanpa tahu siapa yang membunuhnya, Bu!" geramku menunjuk batu nisan George. 

Tubuh kurus ibu membeku, mulutnya menganga lebar mendengar perkataan yang keluar dari bibir anaknya. Mendadak wajah tirus itu menjadi pucat seolah aku sudah melakukan hal yang sama dengan Andre. Membuka paksa luka yang sudah mengering dan menaburinya dengan garam. 

Masih jelas dalam ingatan bahwa George tidak pulang hampir seminggu sampai seseorang menemukan tubuhnya berada di sebuah gudang kosong yang berjarak cukup jauh dari kantornya. Walau ibu sempat melaporkannya sebagai orang hilang, nyatanya polisi tidak berhasil menemukan ayahku dalam keadaan hidup. Tidak bisa aku lupakan bagaimana bisa mobil yang dikendarai George mendadak terbakar sementara mayatnya utuh dalam sebuah drum besar yang diberi sampah dan pasir, kecuali bagian kepala. Aku tidak bisa menjelaskannya karena terlalu menakutkan. 

Aku membuang muka, berjalan cepat meninggalkan ibu menuju mobil tanpa berpamitan kepada George yang mungkin melihat pertengkaran kecil kami. Daripada terus berinteraksi dengan ibu, lebih baik aku berdiam diri dalam kamar seperti sebelum-sebelumnya.

###

Mesin mobil yang kami kendarai semakin lambat, tapi tidak dengan debaran dadaku yang tiba-tiba kencang saat menangkap sosok tinggi itu tengah berdiri di depan mobil mewahnya. Dia dengan setelan jas yang sudah sangat acak-acakan bertemu tatap sampai tanpa sadar aku berhenti bernapas. Kenapa dia bisa ada di sini? Untuk apa dia datang setelah apa yang dilakukannya padaku beberapa waktu lalu?

Sentuhan tangan ibu membuatku berjingkat kaget, namun dia kembali menarik tangan kiriku dan berkata, "Sebenarnya William menelepon tadi kalau seseorang datang ke rumah untuk menemuimu."

"Oleh karena itu Ibu menyuruhku pulang tadi?" 

"Kita harus menyelesaikan apa yang terjadi di antara kalian berdua, Lizzie," pintanya yang terkesan memerintah. 

"Tidak ada yang perlu diselesaikan bahkan tidak ada yang perlu diperbaiki lagi. Jika Ibu memaksaku, lebih baik aku pergi," ancamku. 

Sebenarnya kepada siapa ibu dan William berpihak? Tidak tahukah mereka kalau lelaki itu yang sudah membuat Elizabeth Khan gila? Tidak tahukah mereka kalau Andre adalah orang yang hampir membuatku mengakhiri hidup?

"Bukan seperti itu, Lizzie, Ibu--"

Aku keluar dari mobil, berjalan cepat masuk ke dalam rumah tanpa memedulikan panggilan Andre yang sedikit serak. Emosi seketika menguasai diriku saat dia berhasil menarik lengan kiri, refleks saja sebuah tamparan keras mendarat di pipinya hingga telapak tangan terasa panas. Dadaku naik-turun tak karuan, sepertinya oksigen di sini mendadak terserap oleh kekuatan ajaib hingga pikiranku kalut. Dia hendak mendekat dengan wajah memelas, tapi aku bergerak menjauh tuk membentengi diri bahwa memang tidak ada yang perlu kami selesaikan lagi. 

Semua berakhir. 

Aku pergi meninggalkannya berbarengan dengan suara ibu yang memanggil Andre dengan sebutan 'Mr. Jhonson'. Detik berikutnya, terdengar suara gamparan dan umpatan kasar yang dilontarkan ibuku. Aku tak mau menoleh ke arahnya, memilih menutup pintu dan kembali ke kamar. 

Sebuah tamparan tak akan cukup untuk membayar atas semua kesalahannya. 

"Dia--"

"Jangan bicara padaku, Will!" gertakku saat William berdiri dari sofa. "Kau tidak tahu apa-apa."

"Aku hanya ingin menengahi sebagai ayahmu, Elizabeth," ujarnya berusaha tidak tersulut emosi. 

"Kau? Jangan sebut dirimu sebagai ayahku!" Aku berjalan cepat menaiki tangga ke kamar dan berhenti saat William berteriak.

"Kau anakku dan aku tidak ingin hubungan kita makin runyam oleh masalahmu!"

"I don't fucking care!" teriakku tak mau kalah. "Kalian sama saja!"

###

"Sampai kapan dia akan di sana?" gumamku berdiri di balik jendela kamar mengawasinya tengah berdiri di depan rumah. 

Aku berpaling, melihat detak jarum jam yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Sudah hampir tujuh jam dia berlagak bak Romeo yang ingin memenangkan hati Juliet. Dia tak akan sanggup melawan panasnya cuaca di sini, ya meskipun di atasnya ada pohon yang menaungi Andre. 

Sesaat kemudian, dia mendongak ke arah kamarku dengan sorot mata yang dipenuhi oleh kekecewaan. Lampu penerangan jalan yang meneranginya tak mampu mengalahkan betapa suram wajah Andre. Dia menggeser badan, menunjukkan sebuah kertas bertuliskan sebuah ucapan yang mewakili hatinya setelah kejadian malam itu. 

Kugigit bibir bawah, merangkul lengan dan mengusapnya pelan. Lantas melihat perban yang membalut tangan kanan, kemudian aku menggeleng pelan. Ucapan maaf sangat mudah dilakukan, tapi menyembuhkan serpihan luka yang terlanjur dia goreskan di hati maupun pikiranku tak akan semudah itu. Seumur hidup, aku tak akan memaafkan Andre sekali pun dia bertekuk lutut dan memohon ampun. 

Pandanganku menyipit, saat dia menuliskan sesuatu lagi di atas kertas itu, selanjutnya dia menunjukkan padaku dengan gerakan bibir yang tidak bisa kuartikan. Tapi kuyakin bibir tipisnya sedang melafalkan apa yang dia ukir dengan spidol hitam di sana. 

Forgive me to hurt you. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro